My rating: 5 of 5 stars
Ketidakwarasan yang Waras
Judul: Pasung Jiwa
Penulis: Okky Madasari
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Halaman: 328 halaman
Terbitan: Mei 2013
Apakah kehendak bebas benar-benar ada?
Apakah manusia bebas benar-benar ada?
Okky Madasari mengemukakan pertanyaan-pertanyaan besar dari manusia dan kemanusiaan dalam novel ini.
Melalui dua tokoh utama, Sasana dan Jaka Wani, dihadirkan pergulatan manusia dalam mencari kebebasan dan melepaskan diri dari segala kungkungan. Mulai dari kungkungan tubuh dan pikiran, kungkungan tradisi dan keluarga, kungkungan norma dan agama, hingga dominasi ekonomi dan belenggu kekuasaan.
Review
Rating sebenarnya sih 4,5 bintang. Saya rasa Goodreads ini harus mulai mempertimbangkan penggunaan sistem setengah bintang pada sistem penilaiannya. Biar orang-orang yang galau karena suatu buku itu bagus banget, tapi juga gak sampai "it was amazing", bisa kasih bintang di antara 4 dan 5.
"Pasung Jiwa" bercerita tentang Sasana, seorang anak laki-laki yang merasa dirinya selalu terkekang. Dimulai dari orang tua yang memaksanya untuk bermain piano klasik (padahal dia lebih suka dangdut), hingga preman-preman di sekolahnya yang membuatnya babak belur tapi tidak dapat dihukum karena mereka anak pejabat.
Rasa terkekang itu terus dia bawa hingga dia dewasa dan berkuliah di Malang. Di sana dia bertemu dengan Cak Jek, seorang seniman jalanan (alias pengamen), yang menyadarkan dirinya akan Sasa, sisi feminin yang bersembunyi dalam dirinya selama ini.
Ya, saudara-saudari. Buku ini mengangkat tema transeksual. Kalau Anda perhatikan baik-baik kover buku ini, Anda pasti akan sadar kalau wanita yang jadi model sampul memiliki jakun.
Sasa dan Cak Jek serta Memed dan Leman, dua anak jalanan yang bergabung dengan mereka, kemudian membentuk sebuah kelompok musik dangdut dengan Sasa sebagai biduanitanya. Kehidupan mereka berjalan dengan cukup baik, sampai mereka memutuskan untuk menolong Cak Man, pemilik warung tempat Sasa dan Cak Jek bertemu, yang anaknya menghilang setelah menuntut kenaikan gaji di tempatnya bekerja.
Sebuah usaha protes yang mendapat perlawanan membuat formasi mereka pecah. Sasa terpaksa pulang ke rumah orang tuanya, sementara Cak Jek berakhir sebagai seorang buruh pabrik di Batam, lalu akhirnya menjadi pelaut.
Di rumah orang tuanya, Sasa berusaha untuk menjadi Sasana. Dia memasung Sasa dan berusaha untuk hidup senormal mungkin. Senormal yang lingkungannya inginkan. Sayangnya hal ini membuatnya tertekan hingga mengalami gangguan jiwa. Rumah Sakit Jiwa pun menjadi rumah baru bagi Sasana.
Sampai sini saya mengacungkan dua jempol untuk novel ini. Kenapa? Karena saya merasa semuanya berjalan dengan sangat alami. Mulai dari Sasana yang menjadi Sasa, kenapa dia semakin merasa jauh dari orang tuanya, kenapa dia bisa gila, sampai ke apa yang dia pikirkan dalam kegilaannya itu terasa masuk akal. Yup, kegilaan yang masuk akal. Menarik.
Saya jadi teringat sama buku The Bell Jar yang mengangkat tema sama. Ketidakwarasan yang waras. Cuma, kalau boleh jujur, menurutku buku ini lebih menarik ketimbang "The Bell Jar".
Cerita kemudian berlanjut dengan Cak Jek, yang kini bernama Jaka Wani, yang bergabung dengan sebuah Laskar, sebuah ormas yang bersikap penuh kekerasan dengan mengatasnamakan Allah. Terdengar familiar? You bet.
Jaka Wani yang semula merasa tertekan akan dirinya sendiri yang pengecut dan miskin mulai menemukan "jati dirinya" pada Laskar. Jaka Wani yang sempat "belajar" pada Laskar di Jakarta, dielu-elukan ketika dia pulang ke Malang. Orang-orang Laskar Malang menjadikannya pemimpin karena dia dianggap paling "berpengalaman" karena telah berguru pada Laskar Jakarta. Jaka Wani yang semula bukan siapa-siapa, kini memiliki dukungan massa, uang, dan pengaruh politik.
Sampai sini kembali saya acungi dua jempol. Lagi-lagi runutannya terasa masuk akal. Oke, tidak juga sih. Saya merasa bagian ini sebenarnya agak terlalu "lebay" untuk Jaka Wani, tapi setidaknya saya masih bisa terima perubahan yang terjadi pada Jaka Wani.
Pada suatu hari Jaka Wani melakukan pembersihan acara dangdut porno. Dia menghancurkan acara itu dan menangkap si biduanita karena menganggapnya telah menistakan agama. Jaka Wani yang telah menguatkan imannya, dan berkali-kali berkata pada dirinya sendiri bahwa dia melakukan ini untuk Allah, pada akhirnya tetap goyah ketika melihat amarah pada diri si biduanita. Amarah pada diri Sasa. Apalagi Jaka Wani adalah orang yang membangkitkan Sasa pada diri Sasana. Dialah "ayah" dari Sasa.
Tunggu, tadi si Sasa alias Sasana kan di RSJ. Kok bisa ada di dangdutan? Pada salah satu episode, ada bagian ketika Sasa dan para orang gila kabur dari RSJ dengan bantuan salah seorang dokter. Kenapa si dokter membantu pelarian itu? Bagaimana Sasa bisa tiba-tiba jadi bintang dangdut? Bisa baca sendiri deh.
Lalu apa yang terjadi? Hng... Baca sendiri aja yah X3
Secara keseluruhan saya puas dengan buku ini. Cuma akhir ceritanya yang agak kurang greget buat saya dan membuat bintang buku ini turun setengah.
Membaca buku ini membuat saya ingin membaca karya Okky Madasari yang lainnya. Khususnya "Maryam" yang memenangkan Khatulistiwa Literature Award 2012.
Buku ini untuk tantangan:
- 2013 New Authors Reading Challenge
- 2013 Monthly Key Words Reading Challenge
View all my reviews
Wah menarik nih keliatannya. Jadi pengen baca. hehe
ReplyDeleteiya, bagus loh. coba baca deh *ngompor :D
ReplyDeleteIya benar, akhirnya kentang banget. Seperti sengaja dibuat begitu agar ada sekuelnya. Masih penasaran apa yang terjadi sama mereka berdua setelah kabur dari penjara, terutama Cak Jek.
ReplyDeletesma akhir dari buku ini cman gtu doang krang asyik pokokx, pdahal dari awal hingga pertengahan dah TOP bngat
ReplyDelete