Pages

Wednesday, October 8, 2014

Review Kumpulan Puisi: Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung - Joko Pinurbo

Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran SarungCelana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung by Joko Pinurbo
My rating: 3 of 5 stars

Judul: Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung
Penulis: Joko Pinurbo
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Halaman: 219 halaman
Terbitan: Mei 2007

Buku ini berisi sajak-sajak Joko Pinurbo yang pernah dimuat dalam "Celana", "Di Bawah Kibaran Sarung", dan "Pacarkecilku", trio kumpulan puisi yang telah memperkenalkan penyairnya sebagai salah satu ikon penting dunia perpuisian Indonesia modern. Niscaya buku ini merupakan dokumentasi karya yang sangat berharga dari penyair yang telah menerima berbagai penghargaan sastra ini.

Review

Nama Joko Pinurbo sebenarnya sudah pernah saya dengar beberapa kali dari pembicaraan tentang sastra Indonesia. Kebetulan karena nemu salah satu bukunya di perpustakaan, jadi saya pinjam.

Puisinya banyak yang lucu :)). Ada kesan humoris yang kuat dari puisi-puisinya Joko Pinurbo. Buat saya yang awam soal puisi, ini adalah sesuatu yang baru dan menyegarkan.

Jujur membaca bagian awal buku ini, saya merasa agak bosan. Entah kenapa, tema dan pemilihan katanya terkesan... repetitif. *lari ngumpet. Cuma semakin ke belakang, semakin bagus. Khususnya puisi-puisi tahun 2000-an. Saya suka banget.

Beberapa puisi yang saya suka:

Uban

Pasukan uban telah datang memasuki wilayah hitam.
Hitam merasa terancam dan segera merapatkan barisan.
"Putih lambang kematangan, hitam harus kita lumpuhkan."
"Hitam lambang kesuburan, putih harus kita enyahkan."

Tiap malam pasukan putih dan pasukan hitam bertempur
memperebutkan daerah kekuasaan sampai akhirnya
seluruh dataran kepala berhasil dikuasai masyarakat uban.
"Hore, kita menang. Kita penguasa masa depan."

Tapi uban jelek di lubang hidungmu memperingatkan:
"Jangan salah paham. Putih adalah hitam yang telah luluh
dalam derita dan lebur dalam pertobatan."

"Demikian sabda uban," sindir uban-uban pengecut
yang tiap hari minta didandani dengan semir hitam.

(1999)

Pengamen

Sepuluh orang pengamen menyerbu bus yang sedang lapar
karena hanya diisi seorang penumpang.
Ia orang bingung, duduk gelisah di pojok belakang
membaca peta yang sudah kumal dan penuh coretan.

Para pengamen yang tampak necis dan gagah bergiliran
memetik gitar dan menyanyi lantang kemudian
memungut uang dari penumpang lalu duduk berurutan.
Setelah semua mendapat bagian, gantian si penupang berdiri
di depan lantas bernyanyi dan bergoyang.

Bahkan para pengamen berwajah seram terheran-heran
lantas bertepuk tangan karena penumpang itu
ternyata dapat menyanyi lebih merdu dan menghanyutkan.
Selesai melantunkan beberapa tembang, ia memungut uang
dari para pengamen lalu berteriak stop kepada sopir kemudian
melompat turun sambil melepaskan pekik kemenagan:
"Hidup rakyat! Hidup penumpang!"

(2001)

Aku Tidur Berselimutkan Uang

Aku tidur berselimutkan uang.
Ketika bangun, tahu-tahu tubuhku sudah telanjang.

2002

Mampir

Tadi aku mampir ke tubuhmu
tapi tubuhmu sedang sepi
dan aku tidak berani mengetuk pintunya.
Jendela di luka lambungmu masih terbuka
dan aku tidak berani melongoknya.

(2002)

Tanpa Celana Aku Datang Menjemputmu

untuk Wibi

Empat puluh tahun yang lampau kutinggalkan kau
di kamar mandi, dan aku pun pergi merantau
di saat kau masih hijau.
Kau menangis: “Pergilah kau, kembalilah kau!”

Kini, tanpa celana, aku datang menjemputmu
di kamar mandi yang bertahun-tahun mengasuhmu.
Seperti pernah kaukatakan dalam suratmu:
“Jemputlah aku malam Minggu,
bawakan aku celana baru.”

Di kamar mandi yang remang-remang itu
kau masih suntuk membaca buku.
Kaulepas kacamatamu dan kau terpana
melihatku tanpa celana. Sebab celanaku tinggal satu
dan seluruhnya kurelakan untukmu.
“Hore, aku punya celana baru!” kau berseru.
Kupeluk tubuhmu yang penuh goresan waktu.

(2002)


View all my reviews

No comments:

Post a Comment