Pages

Wednesday, October 19, 2016

Review Kumpulan Puisi: Sayembara Tebu - Jamil Massa

Sayembara TebuSayembara Tebu by Jamil Massa
My rating: 4 of 5 stars

Judul: Sayembara Tebu
Penulis: Jamil Massa
Penerbit: Ganding Pustaka
Halaman: 85 halaman
Terbitan: April 2016

Sebuah buku kumpulan puisi yang ditulis Jamil Massa. Memuat 57 puisi yang beberapa di antaranya pernah terbit sebagai tulisan lepas di sejumlah media massa seperti Riau Pos, Media Indonesia, Indopos, Koran Tempo, Kompas, dan Jurnal Sajak.

Puisi-puisi dalam buku ini mengambil tema besar tentang manusia masa kini yang menatap dan mengidentifikasi dirinya lewat pelbagai kilatan masa lalu, lingkungan hidup, hubungan sosial dan perjalanan asmara. Jamil Massa berusaha mengetengahkan tema-tema yang kental akan aroma Sulawesi yang merupakan bagian inheren dalam dirinya. Dalam buku puisi ini Jamil Massa menyuguhkan pemberontakan sekaligus permainan kecil dengan bahasa, seni, dongeng-dongeng lokal, absurditas manusia perkotaan dan pahit manis cinta


Review

Sebuah kumpulan puisi yang mewah dengan berbagai nilai kedaerahan. Jamil Massa tampak mengambil banyak inspirasi dari Gorontalo, tempatnya lahir dan tumbuh. Berbagai daerah, permainan, cerita, hingga jenis ikan dan sayur dapat menjadi puisi di tangan sang penulis.


Diksi yang digunakan juga cukup "mewah". Dalam artian, saya rasa sebagian besar pembaca (termasuk saya) akan sering membuka kamus karena kayanya pilihan kata yang digunakan. Hal ini toh tidak mengganggu alur puisi yang ada. Kalau pun pembaca tidak tahu arti katanya dan tidak ingin membuka kamus, pembaca tetap akan disuguhi sebuah puisi yang mengalir dengan rima yang enak di telinga.

Di sini saya tuliskan satu puisi dari buku ini:

Pemanen Kangkung Air

Apakah air danau semakin surut
atau kegembiraan yang terlampau dangkal?

Di Tabumela, gerimis bukanlah ajaran yang mesti dibela.

Peradaban mengapung
dan lantai papan selalu bergetar
tak peduli apa pun musimnya.

Alap-alap kerap hinggap di puncak tonggak
mengincar geliat sidat di serabut akar tumbili
yang hitam silang sengkarut serupa nyali.

Ayunkan, Tuan. Ayunkan parangmu
tebaslah hijau kulit batangku.

Sebab kapan terakhir kali kau ke kota
dengan sepasang keranjang rotan
dan sepuhan karat pada rangka sepeda?

Tak pernah lagi kita menakar hakikat bawang putih
atau membuhul tulang panggul yang meretih-retih.

Barangkali, kota telah tak kuat menanggung beban
layu seperti batang-batang kangkung
yang berimpit dalam ikatan.

Atau mungkin kegembiraan saja yang terlampau dangkal?
Hasrat saja yang tak terhingga, selalu tak tersangkal.

Tuan yang memegang parang, kita sedang berada di Tabumela.
Di sini, matahari adalah cinta yang tak harus diberi jeda.

Gorontalo, 2014


View all my reviews

2 comments:

  1. Puisi yang dipilih keren sekali. Mungkin, saya menafsirkannya, kalau si pemanen kangkur air bekerja di wilayah panas, dan ada kegiatan ia harus menjualnya ke kota. Kerasa sekali sosok pemanen tadi melalui hidup yang melelahkan. Hehehe

    ReplyDelete
  2. Puisi yg membawa kita tenggelam di Tabumela

    ReplyDelete