Rss Feed
  1. The Tokyo Zodiac Murders - Pembunuhan Zodiak TokyoThe Tokyo Zodiac Murders - Pembunuhan Zodiak Tokyo by Sōji Shimada
    My rating: 3 of 5 stars

    Fuh, akhirnya selesai baca Tokyo Zodiac Murder juga. Sebenarnya beli bukunya sendiri sudah lama. Mungkin sudah dari bulan Agustus, tapi baru bacanya bulan Oktober. Yeah, pelan tapi pasti tumpukan buku yang saya beli mulai berkurang.

    Ceritanya sendiri mengenai sebuah kasus pembunuhan yang dikenal dengan nama Pembunuhan Zodiak Tokyo. Kiyoshi Mitarai, seorang detektif, bersama dengan sahabatnya, Kazumi Ishioka, memperoleh petunjuk baru akan kasus ini. Menerima tantangan dari seorang anggota kepolisian, mereka berdua berusaha memecahkan kasus pembunuhan misterius selama 40 tahun hanya dalam waktu 1 minggu.

    Secara karakter, bisa kubilang ini kisah detektif konvensional. Si detektif jenius dengan kepribadian eksentrik dan si sidekick yang terlihat lebih rajin untuk memecahkan kasus dan merupakan tokoh penghubung antara kasus yang terjadi dengan pembaca. Yeah, klasik.

    Sebenarnya cara penceritaannya cukup baik buat saya. Bukan tipikal gaya bercerita "tell" seperti kebanyakan novel Jepang yang saya baca. Trik pembunuhannya juga oke. Penjelasannya juga bisa dipercaya. Masalahnya hanya satu. Saya kena spoiler pas baca novel ini. Dua kali!

    Btw ke bawah ini mungkin mengandung spoiler, jadi silahkan baca dengan risiko ditanggung sendiri.

    Ketika mulai membaca novel ini, saya sebenarnya sudah kepikiran sama suatu cerita detektif lainnya yang kasusnya mengadopsi cara membunuh yang serupa. Pas saya tidak sengaja baca reviewnya Mbak Primadonna Angela tentang novel ini, saya memperoleh satu kata kunci yang langsung menguatkan dugaan saya tentang cerita dan trik yang dipakai di sini.

    Dugaan ini semakin kuat ketika saya posting di FB tentang buku ini dan dibalas salah seorang teman saya dengan: "Saya sudah selesai baca. Triknya sama dengan anu."

    Beh, 100% yakin deh sama apa yang akan terjadi. Tapi, yah, tanpa 2 spoiler ini pun saya sudah ada feeling sih...

    Lumayanlah. Tiga bintang untuk novel yang (tampaknya) menjadi inspirasi cerita detektif yang saya bilang mirip dengan buku ini.

    View all my reviews

  2. International Giveaway

    Tuesday, October 23, 2012

    So, I found an interesting international giveaway today. It came from evie-bookish.blogspot. Evie who is currently doing her spring cleaning found out that she has too many books on her shelf. She decided to make an international giveaway for her books and I have to admit, I'm impressed by this giveaway.

    For more info about her giveaway and for your chance to win a LOT of books, check out her post.

  3.  Seorang pengemis duduk di atas hamparan tanah berumput di taman kota. Ada tanda “Dilarang duduk di atas rumput” tidak jauh darinya, tapi dia tidak peduli. Dia tetap bergeming pada tempatnya, walau dia sadar akan keberadaan tanda larangan itu. Lagipula, toh tidak akan ada orang yang peduli apakah dia duduk di atas rumput sat ini atau tidak.
                
    Matanya memandang lurus ke depan, mengamati orang-orang yang ada di taman itu. Dia melihat seorang ibu yang tengah berusaha mendiamkan anaknya yang rewel. Ah, kasihan ibu itu. Dia tampak kerepotan. Si pengemis itu lalu teringat pada ibunya sendiri. Sudah berapa lama dia tidak melihat ibunya? Mungkin sudah lebih dari 30 tahun yang lalu.
                
    Ibunya wanita yang begitu baik, berusaha keras membesarkannya dan kedua adiknya sejak ayahnya meninggal. Sayang wanita sebaik itu begitu cepat Tuhan panggil pulang. Ibunya meninggal ketika dia berada di awal usia 20-an. Mengingat ibunya, sang pengemis merasa rindu sekaligus sedih. Dia sedih memikirkan bagaimana ibunya pasti akan menangis kalau melihat dirinya saat ini.
                
    Dia memandang kaki kirinya yang kini hanya tersisa lutut ke atas. Dia lalu menoleh pada tangan kanannya yang kini hanya tersisa separuh dan mulai menangis. Air mata bahagia mengalir dari matanya.
                
    Dia bahagia karena apa yang begitu menyiksanya di dunia ini kini akan segera berakhir.
                
    “Kamu sudah siap? Mari kita pergi,” kata sebuah suara.
                
    Sang pengemis mengangguk. “Ya, Pak Malaikat. Mari kita pergi.”

  4. Satu Mata Hati

    Monday, October 22, 2012

    Aku berjalan lambat-lambat melewati bagian depan Museum Fatahillah. Sambil mengamati sosok bangunan yang telah berdiri selama ratusan tahun itu, pikiranku mundur ke puluhan tahun yang lalu. Mundur pada tahun ketika aku kehilangan sepasang mata hatiku.

    Puluhan tahun yang lalu, apakah bangunan ini pun masih tetap sama seperti dulu? Ataukah sudah banyak tersentuh oleh tangan-tangan perbaikan? Betapa aku juga ingin kembali menjadi diriku yang dulu, atau setidaknya disentuh oleh tangan-tangan yang mampu membuatku menjadi lebih baik.

    Kenapa aku bisa berdiri di tempatku saat ini? Dalam hidupku, di sebelah manakah aku salah berbelok? Kalau aku melihat ke belakang, aku akan melihat bahwa yang ada di balik punggungku adalah liku-liku labirin yang menyesatkan. Yang panjang dan membingungkan dan aku telah tersesat di dalamnya.

    Terdengar suara telepon genggamku berbunyi, menandakan adanya panggilan masuk.

    “Halo? Ada apa?” jawabku.

    Terdengar suara di sebelah sana yang menanyakan beberapa perkara yang tidak ingin kupikirkan saat ini. 

    “Dokumennya minta saja pada Jaksa Ramdan. Saya akan mengurus sisanya besok.”

    Sambungan kuputus dan aku menarik napas panjang. Pekerjaan. Betapa melelahkannya. Tiba-tiba telepon genggamku kembali berbunyi. Kali ini dengan nada yang berbeda, menandakan adanya pesan yang masuk. Aku menekan tombol ‘baca’ dan sebuah pesan tampil di layar.

    “Apelnya sudah saya kirim. Mohon koordinasi selanjutnya.”

    Aku tidak membalas pesan itu dan segera memasukkan kembali telepon genggamku ke dalam kantong. Aku sadar, bahwa mungkin sebenarnya kedua mata hatiku tidak pernah hilang. Mereka berada dalam diriku, hanya saja tidak pernah kugunakan.

    Aku dapat merasakan bahwa salah satunya telah lama tertutup, menyisakan sebelahnya yang masih terbuka. Dapat kurasakan pula bahwa perlahan ada kabut putih yang menutupi mata itu, menutup seluruh pandangannya. Di mana aku bisa melakukan operasi katarak mata hati?

  5. Lapis Lazuli

    Sunday, October 21, 2012

    Soo... Teman saya Fenny Wong ini kelihatannya salah satu penulis super produktif di Indonesia. Bayangkan, dalam setahun ini saja dia langsung meluncurkan 3 buah buku. Fleur, Hanami, dan yang akan segera terbit, Lapis Lazuli.

    Untuk Fleur sendiri saya sudah baca. Bisa cek reviewnya kalau mau. Hanami, hmmm.. Nanti dulu yah. Lagi kejar skripsi nih @_@

    Nah, buat yang kepengen ngedapetin Lapis Lazuli secara gratis, bisa cek langsung entrinya di blog Fenny.

    Btw, inilah penampakan cover Lapis Lazuli. Sejauh ini cover-covernya Fenny emang bagus-bagus.




  6. Aku melihat cowok itu untuk pertama kalinya pada hari Kamis dua minggu yang lalu. Yang dapat kuingat hanyalah matanya yang berwarna baby blue, rambutnya yang keemasan, dan juga senyumnya yang menawan.
                
    “Aku mengantarkan majalah minggu ini,” katanya saat itu.
               
    Melihat wajahnya aku bahkan lupa kalau dia sedang bicara padaku.
               
    “Eh, Miss?”
               
    “Oh, ya. Maaf. Eh, majalah ya? Itu pasti punya Mom. Biar kuterima.”
               
    Dia menyerahkan majalah itu padaku dan menyentuh ujung lidah topinya dan berkata, “Terima kasih. Terus berlangganan majalah kami ya. Minggu depan akan ada edisi khusus tentang Paris Fashion Week.”
              
    Aku mengangguk tanpa mampu berkata apa-apa. Lidahku terasa begitu kelu.
                
    Sejak hari itulah aku selalu memimpikannya. Pikiranku selalu tidak tenang. Aku ingin bertemu lagi dengannya, tapi bagaimana caranya?
                
    Aku coba menelepon agen distributor majalah itu dan menanyakan siapa yang biasanya mengantarkan majalah di daerah ini.
                
    “Maaf, tapi kalau boleh tahu untuk urusan apa yah?” kata orang yang mengangkat telepon.
                
    “Ada barang milik orang itu yang terjatuh. Aku ingin mengembalikannya,” kataku berbohong.
                
    “Untuk majalah ‘Glam Up’? Yang mengantar di daerah itu namanya Paul Smith.”
                
    Oh, kumohon. Kenapa namanya kampungan sekali? Pasti akan susah menemukan Paul Smith yang tepat di Google.
                
    “Maaf, bolehkah aku tahu alamatnya? Aku ingin mengembalikan sapu tangannya yang terjatuh.”
                
    Cowok muda sekarang masih bawa sapu tangan gak sih?
                
    “Maaf, Miss. Kami tidak bisa memberi tahu data pribadi karyawan kami. Kalau memang ingin mengembalikannya, bisa dibawa ke kantor kami. Kami akan memberikannya langsung pada orangnya.”
                
    Wanita di ujung sambungan itu lalu memberikan alamat agen distributor itu. Aku berterima kasih, lalu menutup teleponnya. Ah, selain namanya, aku tidak bisa mendapatkan informasi lainnya. Dan benar saja dugaanku. Mengetikkan ‘Paul Smith’ di Google menghasilkan 307 juta hasil pencarian.
                
    Dengan semua kesulitan mendapatkan informasi, aku hanya bisa berharap Kamis segera datang. Aku berdoa dan berdoa agar hari-hari segera berlalu dan Kamis segera tiba.
                
    Hari-hari berlalu dengan lambat bagiku. Betapa bahagianya hatiku ketika Rabu tiba. Malamnya aku segera tidur dengan harapan Kamis tiba begitu aku bangun.
                
    Keesokan harinya aku bangun dan menunggu si cowok pengantar majalah datang. Aku menunggunya seharian, tapi dia sama sekali tidak menunjukkan batang hidungnya hari itu.
                
    “Mom, pengantar majalah ‘Glam Up’ tidak datang yah hari ini?” aku membuat suaraku senatural mungkin, berusaha untuk tidak memancing kecurigaan Mom.
                
    “Sudah kok. Kamu mau baca majalahnya? Ada di kamar tuh.”
               
    Bohong. Aku sudah menanti seharian.
               
    “Tapi, aku dari tadi duduk di depan dan tidak ada orang yang datang.”
                
    “Dia sudah datang kemarin kok,” kata Mom. Dia mulai memandangku dengan curiga. “Sini bentar deh.”
               
    Aku berjalan ke arah Mom dan duduk di sampingnya. Mom meraba bagian belakang leherku dan menyentuh suatu bagian di sana hingga terdengar bunyi ‘klik’ yang keras. Setelah itu segalanya menjadi hitam bagiku.
                
    * * *

    “Pagi, Sweety. Mau pie apel?” tanya Mom.
               
    “Mau. Ngomong-ngomong, ini hari apa Mom?”
                
    “Sabtu. Kenapa sayang?”
               
    “Gak apa-apa kok.”
                
    Aneh, rasanya di dalam diriku ada suatu perasaan gelisah. Dalam kepalaku aku merasa terus memohon agar Kamis segera tiba. Suatu perasaan putus asa, seolah-olah aku mengemis datangnya Kamis. Entah kenapa.

  7. Review Buku: Lapangan Tanah Merah

    Saturday, October 20, 2012


    Lapangan Tanah MerahLapangan Tanah Merah by Juliana Wina Rome
    My rating: 4 of 5 stars

    Lapangan Tanah Merah adalah kumpulan antologi flash fiction yang dipilih dari lomba flash fiction Cinta Untuk Semesta. Di dalamnya dipilih 16 FF dari para peserta lomba dan tambahan 4 FF dari keempat Peri Penulis.

    Mari kita mulai reviewnya. Semuanya pendapat pribadi btw :)

    Lapangan Tanah Merah
    Karya yang menjadi juara 1 pada lomba FF Cinta Untuk Semesta. Cerita yang bagus. Ah, ceritanya bagus. Tentang kehidupan anak-anak jalanan. Cuma endingnya bukan tipe ending favoritku sih.

    Perempuan Tua di Sudut Kamar
    Saya suka dengan kejutan kecil di endingnya. You got me there. Saya juga suka dengan ceritanya yang rapi.

    Hati yang Sempurna
    Anj**t! Cerita ini bagus banget. Suer.

    Abaikan. Ini cerita yang saya tulis dan jadi juara 3 di FF CUS. Kesan pesannya nanti paling belakang sendiri aja yah :')


    Suatu Malam di IGD
    Cerita drama RS lainnya dari Bu (Peri) Dokter Stephie Anindita. Dan sekali lagi, saya suka dengan ceritanya yang simpel tapi punya rasa kemanusiaan yang kuat. I think this kind of hospital drama is her power. Kalau misal ybs nulis novel dengan tema drama di RS, saya rasanya bisa jadi salah satu target pembelinya.

    Sebuah Janji di Bumi Sriwijaya
    Kalau saya jadi Ami, mungkin hal pertama yang muncul di pikiran saya bukan, "malam-malam begini sedang apa orang asing itu (di sana)?". Hal pertama yang lewat di kepala pasti, "buset! Tuh orang malam-malam pakai kacamata hitam," lalu mungkin berpikir bahwa orang itu sebenarnya buta.

    Saya suka dengan ending ceritanya. Hanya saja, mungkin lebih baik diselesaikan di bagian monolog Ami. Tidak perlu ditambahkan ke bagian setelah itu yang ada lirik lagu "Sally Sendiri". Efek kejutannya jadi kurang membekas di saya karena tambahan di bagian akhirnya itu.

    Maafkan Kakak Agam!
    Saya bisa ngerti ke mana pengarang mau membawa ceritanya. Hanya apa yah, saya kurang bisa menangkap emosi yang ingin disajikan. Apakah dengan membuat si adik mati di akhir cerita akan membuat jadi lebih sedih? Mungkin juga malah bikin jadi klise. Duh, bingung.

    Penujum dari Karimata
    Buat saya, cerita dengan purple prose hanya memiliki dua kemungkinan (buat saya yang baca). Membuat saya demen banget sama ceritanya (dan pengarangnya) atau membuat saya gak demen banget sama ceritanya (tapi bukan berarti gak suka sama penulisnya loh ya). Di luar purple prose biasanya saya masih punya zona netral.

    Dan untuk kali ini, saya kurang suka dengan purple prose yang disajikan. Rasanya kurang gigit dan beberapa kalimat susah untuk masuk di otak. Khususnya di bagian percakapan.

    Misalnya di kalimat: "[...] Mereka tak berhak bilang dengan menuduh aku berselingkuh, bukan? Aku tak pernah berbuat dan tak pernah berselingkuh."

    Atau di kalimat: "Aku takut Ririn menangis disebabkan dari kelakuan Mas Rizki yang selalu pulang malam."

    Rasanya agak terlalu ditarik-tarik kalimatnya, walau memang jadinya ada feel yang sama dengan keseluruhan ceritanya sih.

    Menjadi Dua Dalam Satu Atap
    Cerita yang bagus. Dan mengingatkan saya pada percakapan "standar" emak dan saya.

    Emak: Duh, pusing. Kalian (anak-anak) cepat-cepat besar dan keluar dari rumah deh.

    Saya: Ntar kita keluar semua baru merasa kehilangan loh.

    Biasanya percakapan ini terjadi kalau emak pusing dengan "kekacauan" yang terjadi di rumah (rumah kecil tapi diisi bertujuh sih. Hehehehe)

    Here I'am...
    Cerita yang cukup menarik, walau perhatian saya lebih tertarik ke dua hal minor dalam cerita sih. Yang pertama nama Hiyu yang selalu mengingatkan saya pada



    Dan Na Na Na yang, karena efek meme, selalu berbunyi sebagai Theme Song Batman di kepala saya.

    Bintang Untuk Bintang
    Saya cukup bisa terhubung ke cerita ini karena salah satu teman mempunyai kisah yang mirip. Kalau tidak salah ingat dulu waktu dia di kandungan, dokter juga bilang lebih baik dia dikuret keluar karena membahayakan ibunya. Ibunya menolak dan akhirnya teman saya itu bisa lahir dengan selamat dan sekarang bahkan udah kerja di Jakarta.

    Satu, Dua, Tiga, Sayang Semuanya
    Ah, pembantu. Walau bukan sepenuhnya pembantu sih di cerita ini. Tapi yah, patut diingat bahwa jabatan mereka itu "pembantu". Tugasnya membantu. Bukannya "babu" atau "budak". jadi perlakukanlah para pembantu secara manusiawi.

    Hadiah Senyum Terakhir
    Kayaknya saya tahu kenapa saya kurang bisa nangkep rasa sedih di akhir cerita ini. Keeratan hubungan kekeluargaannya mereka kurang ditunjukkan. Kurang ada interaksi lewat dialog atau tindakan, selain adegan kejutan ultah di bagian depan. Akibatnya saya kurang bisa merasakan kesedihan yang karakter utama rasakan, soalnya saya kurang tertarik masuk ke dalam keluarga itu.

    GatotkacaOtot Kawat Tulang Besi
    Untuk yang ini juga saya kurang bisa menangkap emosi ceritanya. Kayaknya karena terlalu pendek. Atau itu sebenarnya udah mepet pada syarat maksimum kata? Apakah para Peri Penulis juga menulis dengan batasan kata?

    Cinta Capella
    Saya sampai googling di cerita ini. Agak bingung pas baca bagian awalnya yang "Aku adalah Capella. Anna dan Ann. Tidak banyak yang tahu, sesungguhnya Capella terdiri dari dua bintang yang terikat dalam satu gravitasi."

    Dari situ saya bisa nangkap bahwa sistem yang penulis maksudkan adalah sistem binary star, hanya agak bingung karena dari yang saya baca, saya nangkapnya yang kembar itu Anna dan Capella. Terus Ann siapa? Baru ngeh setelah baca tentang bintang Capella.

    Oalah, gitu toh. Duh, saya loading lambat banget sih. Ceritanya sendiri cukup memorable. Good job for the writer.

    You're Smile Is My Passion
    Dari segi judul, saya sudah langsung stop sebentar. Ini "you're" apa "your" nih? Beda loh. Kayaknya yang bener sih "your", tapi mungkin penulis punya alasan lain untuk memakai "you're"?

    Sebenarnya cukup suka dengan cerita ini. Hanya kurang ngerti dengan maksud "Move on" di akhir cerita. Kesannya agak kontradiktif dengan apa yang sudah ditulis.

    Selain itu masih ada masalah penulisan di+kata tempat yang disambung. Semisal disamping (di samping), disaat (di saat). Anehya ada kata 'di sekujur' yang penulisannya tepat.

    Kita dan Semesta
    Ini temanya CLBK yah? Kayaknya agak terlalu pendek. Rasanya lebih oke kalau ditulis format cerpen supaya apa yang terjadi di antara kedua karakter jadi lebih jelas.

    Rumah Nomor Sembilan
    KDRT! Saya suka dengan karakter utamanya yang tidak cuma pasrah, tapi berani mengambil tindakan. Btw ini ide ceritanya sebenarnya mirip dengan ide awal saya untuk FF CUS. Lebih lanjut di belakang yah :)

    Sulaman Cinta Untuk Genie
    Kayaknya agak lack of drama. Fokus saya malah lebih ke perbedaan usia karakter utama dan suaminya, ketimbang soal pekerjaan orang tua si karakter utama.

    Sahabatku dari Antah Berantah
    Ini juga salah satu cerita yang catchy. Saya suka dengan permasalahan yang ada dan pemecahan apa yang disajikan.

    Definisi "Kita"
    Cerita pendek yang sederhana, tapi cukup menarik. Saya rasa peletakannya sebagai penutup antologi cukup tepat.

    Kesan-Kesan
    Nah, sekarang mengenai kesan-kesan saya mengikuti event FF CUS. Sebenarnya saya tidak menyangka bisa jadi juara 3. Ceritanya sendiri saya tulis cukup tergesa-gesa karena mau pergi ke Jogja, sementara kalau sudah di sana otomatis saya sudah tidak bisa nulis lagi.

    Cerita yang ditampilkan di buku ini adalah cerita ke-3 dan usaha ke-5 saya menulis FF untuk diikutsertakan. Cerita pertama yang saya tulis memiliki ide yang sama dengan "Rumah Nomor Sembilan". Cerita tentang dua orang saudara yang pergi melarikan diri (walau mereka lari untuk alasan yang berbeda). Hanya saja jadinya terlalu panjang dan setelah saya coba kurangi jumlah katanya, jadinya malah aneh. Cerita itu pun urung saya kirimkan.

    Cerita kedua yang saya tulis memiliki mood yang sama dengan cerita di antologi ini. Tentang seorang pria yang menemukan mantan pacarnya yang tertidur (you read it right, tertidur) di atas salju. Hanya saja saya tidak bisa mencapai konklusi yang saya inginkan. Batal lagi deh.

    Cerita ke-3, sekaligus yang menjadi cerita di buku ini, bisa dibilang merupakan evolusi dari cerita ke-2. Sama-sama memiliki tone cerita yang agak suram dan sedikit melankolis.

    Sebenarnya untuk cerita ini saya terinspirasi dari orang-orang yang suka gagal move on dan merasa hatinya masih tertinggal di mantannya. Saya pikir, "Duh, tuh mantan juga, kok gak balikin hati anak orang sih?"

    Dari sanalah cerita ini lahir dan setelah direvisi 2 kali (awalnya saya menulis sedikit soal peri dan salju, tapi lalu saya hapus), akhirnya cerita ini saya kirim sebagai entri saya.

    Pas tahu cerita ini dipilih sebagai salah satu pemenang, rasanya tidak percaya. Soalnya memang tidak terlalu merasa punya kans. Gak terlalu punya feel bahwa "ini sebuah cerita yang bagus". Tapi, untunglah para Peri Penulis suka dengan cerita ini.

    Terima kasih buat para Peri Penulis yang sudah memberi kesempatan karya saya mejeng di buku antoogi ini. Sukses terus untuk ke depannya. Lain kali ajak saya berkolaborasi sebagai penulis tamu dong. Hihihihi *ditimpuk


    View all my reviews



  8. Kata orang bijak (orang bijak yang mana gak tahu deh), kita harus bersyukur akan hal-hal yang tidak dapat kita kendalikan. Hal-hal yang tuhan berikan pada kita, seperti: orang tua, suku, ras, dan wajah kita. Oke, yang terakhir saat ini mungkin sudah tidak begitu relevan, karena itu faktor yang “sudah dapat dikontrol” oleh manusia (operasi plastik anyone?).
                
    Tapi, sungguh. Kadang aku tidak dapat bersyukur pada wajah yang Tuhan berikan padaku. Bukan karena wajahku jelek atau bagaimana. Wajahku sebenarnya lumayan kok. Minimal enak dilihatlah. Hanya saja wajahku ini memang sering menimbulkan kesalahpahaman.
               
    “Ya ampun, Cindy Cenora? Mbak Cindy Cenora kan?”
                
    Aku menoleh ke sumber suara itu. Oh, mulai lagi.
               
    “Bukan, Mbak. Saya bukan Cindy Cenora.”
               
    “Ah, masa sih. Bo’ong ah. Wajahnya mirip banget sama Cindy Cenora waktu kecil. Pipinya gembul-gembul gitu. Ngegemesin deh.”
                
    Gak sekalian bilang kalau aku ini Tina Toon?
                
    “Bukan Mbak. Suer. Saya bukan Cindy Cenora. Nih, KTP saya. Namanya Ratih Wijaya kan.”
               
    “Ah, masa sih? Jangan-jangan Cindy Cenora itu nama panggung yah? Nama aslinya Ratih Wijaya?”
               
    Dieng.
                
    “Duh, bukan Mbak. Ah, permisi dulu ya, Mbak. Lagi sibuk nih.”
               
    Cepat-cepat kuambil kembali KTP-ku dan segera ngacir dari tempat itu. Masih sempat kudengar perempuan tadi berseru padaku, “Sibuk syuting ya, Mbak? Sukses ya! Aku tunggu lagu barunya.”
               
    Emang Cindy Cenora masih eksis ya sekarang?
                
    Nah, kamu sudah tahu kan, kenapa aku suka kesal dengan wajahku sendiri. Kejadian seperti itu bukan hanya terjadi sekali-dua kali. Heran, kenapa juga orang-orang itu bisa menganggapku Cindy Cenora? Terakhir dia terkenal kan sewaktu dia masih jadi penyanyi cilik, bagaimana mereka bisa tahu wajahnya seperti apa kalau besar?
                
    Aku pernah menceritakan hal ini pada ayahku dan ayah hanya terbahak-bahak.
               
    “Tapi kalau dilihat-lihat kamu memang mirip dia versi dewasa loh,” kata ayah waktu itu.
                
    “Ayah, jangan ikut-ikutan deh.”
                
    “Tapi bener loh. Mungkin kalian di surga sebenarnya saudara kembar.”
               
    Hah, teori macam apa itu? Memang hanya ayahku yang bisa kepikiran teori-teori aneh macam begitu.
               
    Siang itu aku pergi ke salah satu toko buku favoritku untuk mencari sebuah novel keluaran terbaru. Saat aku sedang asyik menyusuri deretan rak sambil melihat-lihat buku-buku lain, aku menyadari bahwa ada seorang laki-laki yang terus menatapku.
                
    Aku pindah ke deretan lain. Diam-diam kulirikkan mataku ke arahnya dan kudapati dia juga sedang mencuri pandang kepadaku. Laki-laki itu mungkin sedikit lebih tua dariku. Badannya tinggi dan tegap dengan garis wajah yang kuat dan mata yang besar. Alis matanya tebal, hidungnya mancung. Oke, secara fisik, dia cocok menjadi ayah anak-anakku.
               
    Kulihat laki-laki itu berjalan mendekatiku. Dapat kurasakan jantungku berdetak tidak karuan. Dia tersenyum padaku dan berkata, “Mbak Cindy Cenora ya?”
               
    Arghhh!!
               
    “Bukan! Aku bukan Cindy Cenora!”
               
    Cepat-cepat aku lari dari toko itu. Kuputuskan untuk membeli novel yang kuidamkan itu lain hari saja. Kesaaaaaaalllll!!
                 


  9. The Accidental TouristThe Accidental Tourist by Anne Tyler
    My rating: 2 of 5 stars

    The Accidental Tourist bercerita tentang Macon, seorang penulis buku panduan perjalanan, yang baru saja kehilangan anak satu-satunya. Kesedihannya semakin bertambah saat Sarah, istrinya, memutuskan untuk berpisah darinya.

    Setelah mengalami kecelakaan yang menyebabkan kakinya harus digips, Macon pindah ke rumah saudara-saudaranya. Dia tinggal bersama kedua saudaranya dan seorang saudarinya. Masalah timbul di rumah itu ketika Edward, anjing peninggalan anak Macon, mulai bertingkah liar. Lingkungan baru dan fakta bahwa anjing itu tidak pernah dilatih membuat Macon tidak dapat mengendalikan Edward.

    Untuk menyelesaikan masalah Edward, Macon memanggil Muriel, seorang gadis pelatih anjing, untuk melatih Edward. Muriel yang sembrono dan periang ternyata mampu menarik perhaian Macon yang rapi dan perfeksionis. Hubungan mereka mulai berkembang melebihi hubungan kerja, tapi apa yang terjadi saat Sarah memutuskan untuk masuk kembali ke dalam kehidupan Macon?

    Buku yang saya beli bersamaan dengan Blessings. Rasanya pernah dengar judul buku ini sebelumnya, makanya saya membeli buku ini juga. Mumpung harganya murah. Second hand sih :D

    Membaca awal-awal ceritanya, saya mendapatkan kesan romans komedi yang kuat ala film-film Sandra Bullock. Si cowok yang kaku dan si cewek yang serampangan (yang entah kenapa saya selalu membayangkan si Muriel bicara dengan logat Southern).

    Saya sebenarnya lumayan suka pada Macon. Sifatnya yang perfeksionis digambarkan dengan baik bahkan lucu oleh Anne Tyler. Muriel juga cukupkuat penggambarannya. Saya juga cukup suka padanya. Ceritanya sendiri lumayan bagus. Antara drama, romansa, dan komedinya dipadukan dengan apik.

    Terus, kok cuma 2 bintang? Di pertengahan, buku ini terasa lambat dan membosankan buat saya. Di sekitar halaman 150an ke atas itu cukup banyak yang saya skim saking bosannya. Lalu bagian ending cerita ini juga kurang saya sukai. Dua faktor inilah yang membuat saya hanya memberi 2 bintang untuk buku ini.

    View all my reviews


  10. BlessingsBlessings by Anna Quindlen
    My rating: 3 of 5 stars

    Blessings bercerita mengenai kehidupan di kediaman Blessings yang megah. Lydia Blessings, si pemilik rumah, hanya tinggal seorang diri bersama pembantu dan pengurus rumah. Suatu hari, salah seorang pengurus rumah, Skip Cuddy, menemukan sebuah karton berisi seorang bayi perempuan. Skip memutuskan untuk menjaga anak itu hingga akhirnya Lydia mengetahui hal ini. Kedatangan bayi ini lantas membawa perubahan bagi kedua orang dengan masa lalu yang menyedihkan ini.

    Ini novel yang saya beli setelah baca sedikit tentang novel ini di buku Characters, Emotion & Viewpoint: Techniques and exercises for crafting dynamic characters and effective viewpoints. Untung nemu yang jual buku ini second hand di internet. Harga buku yang baru mahal bo. Hampir 200 ribu x_X

    Saya suka dengan ceritanya, tapi ketimbang ceritanya itu sendiri, sebenarnya yang lebih menonjol adalah karakter-karakter dalam novel ini. Lydia, seorang wanita 80 tahun, digambarkan sebagai pemuja masa lalu. Dia lebih menyukai aturan-aturan lama dan benci akan perubahan-perubahan yang terjadi. Dia sendiri memiliki masa lalu yang cukup rumit. Salah satunya adalah masalah kehamilannya di luar nikah dan fakta bahwa bahkan setelah dia menikah, dia sebenarnya mencintai seorang pria lain.

    Skip Cuddy juga memiliki masa lalu yang cukup hitam. Dia pernah masuk penjara karena tuduhan membantu perampokan, walau sebenarnya itu bukan salahnya. Dia kebetulan berada di tempat dan waktu yang salah. Skip sendiri tidak memiliki hubungan yang baik dengan keluarganya. Hal inilah yang tampaknya mendorong Skip untuk merawat anak yang dia temukan. Dia ingin memiliki keluarganya sendiri, sesuatu yang dia rasa tidak dia miliki selama ini.

    Permasalahan yang saya temui saat membaca novel ini adalah banyaknya karakter yang diperkenalkan. Nama-namanya kurang membekas buat saya, sehingga walau karakter itu sudah pernah muncul, saya tetap suka bingung ini siapa.

    Pemilihan nama juga agak bermasalh buat saya. Nama semisal Blessings, Carton, Cuddy, terdengar aneh buat saya. Gak tahu deh apa ini memang nama yang umum dipakai di barat atau bagaimana. Nama Skip sendiri sempat saya kritik, tapi ternyata itu cuma nama panggilan. Nama aslinya sendiri adalah Charles Cuddy. Jadi kritik nama Skip saya tarik deh :D

    Overall, crita yang bagus, penokohan karakter utama yang menarik. Sayang karakter-karakter lainnya susah membekas di kepala saya.

    View all my reviews


  11. Utukki: Sayap Para DewaUtukki: Sayap Para Dewa by Clara Ng
    My rating: 1 of 5 stars

    Utukki bercerita tentang kisah cinta terlarang antara Enka, seorang pendeta di daerah Mesopotamia beberapa ribu tahun sebelum Masehi, dengan Nannia, anak pasangan Dewa Anu dan Dewi Antu. Kisah cinta mereka harus menjalani ujian waktu dan berlanjut di kehidupan selanjutnya.

    Thomas dan Celia adalah reinkarnasi Nannia dan Enka. Cinta di antara mereka kemudian memperoleh ujian dengan keberadaan Dewi Ishtar yang menginginkan cinta Enka. Sanggupkah mereka bertahan dari ujian sang dewi?

    Review

    Yah, ini dia, kemungkinan bukan review yang populer. Ide cerita Utukki tentang cinta antara seorang manusia dengan seorang monster (yeah, si Nannia itu monster) yang harus menghadapi ujian waktu sebenarnya bagus. Tambah lagi dengan mengangkat mitologi Babylonia, Clara Ng membawa warna tersendiri dalam novelnya kali ini.

    Masalahnya, saya gak demen sama eksekusinya.

    Ada beberapa terjengkang moment yang saya alami. Yang pertama soal Thomas yang tiba-tiba digambarkan mengeluarkan tenaga dalam sewaktu Celia diculik oleh Ishtar.

    Melihat si Thomas bisa memakai tenaga dalam, saya hanya bisa bereaksi...


      Photobucket


    Ini anak kenapa bisa tenaga dalam!? Baca ke belakang dikit... Oooh... Dia emang latihan tenaga dalam dengan Suhu-nya toh... Ngomong dong. Habis di depan dibilangnya bela diri sih. Saya kan pikirnya semacam karate gitu, gak ada hubungan sama bisa ilmu tenaga dalam.

    Terjengkang moment nomor 2 datang dari Nannia, yang hidup sekian ribu tahun sebelum masehi, settingnya di daerah Mesopotamia, dan dia bicara dengan gaya ABG zaman sekarang... Eh...

      Photobucket


    Itu tuh rasanya kelempar dari setting geto deh, tahu gak sih lo?

    Sebenarnya sih penggunaan bahasa ala ABG itu mungkin dimaksudkan sebagai penanda gaya Nannia, tapi gimana yah. Settingnya itu loh, gak klop dengan bahasanya. Jadi untuk saya rasanya aneh aja.

    Soal bahasa gaul ini saya juga sempat kejengkang (lagi) pas Dewa Ea bicara menggunakan Inglish (Indonesia-English) pada Dewi Ishtar. Itu terasa OOC banget. Apalagi dia digambarkan sebagai dewa yang berbicara dengan gaya formal. Apakah mungkin disengaja untuk efek komedi? Entahlah.

    Untuk POV, Mbak Clara Ng mengambil POV omnipresent. Dia bergerak bebas dari satu tokoh ke tokoh lain, dari satu waktu ke waktu lain. Gaya ini diolah dengan cukup baik di tangan penulis. Perubahan antar karakter jelas dan saya bisa mengikuti tiap alurnya dengan baik. Cuma saya rada bingung dengan keberadaan tokoh Adam dan Naeva.

    Adam dan Naeva buat saya tokoh yang sebenarnya tidak perlu ada. Mereka toh cuma dijadikan sumber informasi tentang mitologi Babilonia bagi pembaca. Informasi itu sebenarnya bisa dimasukkan lewat tokoh Thomas yang, di bagian dua, memegang gelar Master of Arts sejarah di bidang Myth and Folklore.

    Saya juga bingung dengan Dewa Ea dan Marduk. Alasan mereka menolong Celia sebenarnya apa? Saya kurang bisa menangkap motifnya.

    Marduk kemungkinan hanya karena dia senang melanggar aturan. Itu pun alasan yang sebenarnya bikin saya kurang sreg. Saya lebih suka kalau dia punya agenda pribadi selain hanya karena ingin iseng dan membuat ulah.

    Lalu Dewa Ea, ini dewa kebijaksanaan ngapain lagi ikut campur? Hanya karena dia dewa yang suka mendengar keluh kesah manusia dan mendampingi mereka? Karena dia tidak suka dengan tindakan Ishtar? Kok gak lapor ke Dewa Anu saja? Kalau Dewa Anu sebagai Raja Dunia-Atas tidak ikut campur, berarti sebenarnya tindakan Ishtar masih dalam tahap diperbolehkan. Terus kenapa Ea ikut campur? Tidak bijaksana kan ikut campur masalah Thomas-Celia-Ishtar. Tuh kan, mati karena ikut campur.

    Oh well, hal positif yang ada dalam novel ini sih humornya. Ada cukup banyak humor yang menghibur di sepanjang novel. Tapi bahkan dengan banyaknya humor itu, saya tetap kurang sreg sama novel ini.

    Sorry, cuma bisa ngasih 1 bintang. Saya masih lebih suka bukunya Clara Ng yang Malaikat Jatuh dan Cerita-Cerita Lainnya ketimbang novel ini.

    View all my reviews



  12. Grave Secret (Harper Connelly, #4)Grave Secret by Charlaine Harris
    My rating: 3 of 5 stars

    Grave Secret bercerita tentang Harper Connelly, seorang wanita yang dapat menemukan mayat dan melihat sesaat kondisi sebelum mayat itu meninggal. Dia memenuhi kebutuhan hidupnya dengan kekuatannya ini dengan saudara tirinya, Tolliver, sebagai partnernya.

    Hubungan Harper dan Tolliver bukan hanya sekedar saudara tiri. Mereka juga adalah sepasang kekasih yang memutuskan untuk menikah. Hubungan mereka tidak mendapat sambutan hangat dari anggota keluarga yang lain. Suasana menjadi lebih keruh saat ayah Tolliver keluar dari penjara dan satu per satu rahasia masa lalu terungkap.

    Buku yang saya beli karena didiskon habis-habisan sama Periplus :p Pas beli saya gak tahu kalau ini buku berseri. Mana buku terakhir lagi. Tapi untungnya, Charlaine Harris mampu mengolah cerita ini sehingga gap informasi yang saya miliki sebesar 3 buku sebelumnya mampu tertutupi.

    Saya suka dengan alur ceritanya yang cukup menegangkan. Ada cukup banyak drama dan misteri yang mampu membuat saya membaca selesai buku ini dalam 5 jam. Rekor tersendiri sebenarnya untuk ukuran buku berbahasa Inggris.

    Penyelesaiannya juga cukup masuk akal, sayangnya terlihat agak dipermudah oleh si penulis. Kualitas bagian akhirnya terasa jomplang dengan bagian depan dan pertengahan buku ini.

    Walau begitu, secara keseluruhan kubilang novel ini tetap menarik dan patut untuk dibaca, bahkan kalau kamu belum membaca 3 buku sebelumnya sekali pun.

    View all my reviews


  13. Aku mengencangkan ikatan celemek di punggungku. Kurapikan rambutku di cermin dan kuamati apakah penampilanku sudah oke saat itu. Setelah yakin semuanya tampak rapi, aku segera turun ke lantai bawah.
                
    Begitu lampu kunyalakan, deretan meja dan kursi yang sengaja diletakkan terbalik di atas meja segera menyambutku. Aku menarik napas panjang. Mari kita mulai, batinku.
                
    Kutuangkan biji kopi ke dalam mesin pembuat kopi, lalu setelah kutuangkan air ke dalamnya dan menyalakan mesin itu, aku lalu menurunkan kursi-kursi dari atas meja.
               
    Setelah beberapa saat bau kopi mulai menyeruak ke udara. Aku menghirup keharuman itu dalam-dalam. Betapa aku menyukai apa yang kuhirup itu. Bagiku aroma kopi adalah aroma kebebasan.
                
    Dua tahun yang lalu, aku tidak pernah bisa membayangkan diriku berada di tempat seperti ini. Tempat yang kumiliki sendiri dengan aroma kopi yang tidak membuatku takut karena menandakan datangnya hari baru. Datangnya satu hari lagi mimpi buruk.
                
    Tanpa sadar tanganku menyentuh lengan kiriku. Ketika kuselusupkan tanganku ke dalam lengan bajuku dan dapat kurasakan bekas jahitan di sana. Sebuah kenang-kenangan dari masa lalu. Sebuah harga untuk kebebasan.
               
    Aku masih ingat bagaimana Albert pulang malam itu dalam keadaan mabuk. Dari tubuh pria yang enggan kusebut suamiku itu, aku dapat mencium bau parfum perempuan. Itu bukan yang pertama kalinya aku mencium wangi itu. Biasanya aku menahan diri untuk tidak menanyakanya karena aku takut akan apa yang dapat dia perbuat, tapi hari itu aku sudah tidak tahan lagi. Semuanya keluar begitu saja dari dalam hatiku.
                
    “Lalu memangnya kenapa kalau aku ada main dengan wanita lain!?” seru Albert berang. “Aku yang mencari uang untuk menghidupimu, kalau sekali-sekali aku bersenang-senang di luar sana, kamu mau apa hah?”
                
    “Tapi aku istrimu, Mas. Apa kamu sudah tidak menghargai aku lagi? Sudah tidak menghargai rumah tangga ini lagi?”
               
    Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Aku jatuh bersimpuh di atas lantai saking kerasnya tamparan itu. Satu tendangan mendarat di perutku, membuatku jatuh terlentang. Pria keparat itu lalu menginjak dadaku kuat-kuat hingga aku memekik kesakitan.
                
    “Heh, ingat, aku menikahimu bukan karena aku mau. Kalau dulu ayah tidak mengancam akan menghapus bagian warisanku, aku tidak akan menikahimu.”
               
    Air mata mengalir di pipiku. Dadaku dipenuhi amarah dan seluruh duniaku terasa begitu gelap. Aku sudah tidak tahan lagi. Hal berikutnya yang kusadari, pria itu telah tergeletak di lantai dengan kepala berdarah dan pecahan vas bunga di tanganku.
               
    Napasku tersengal-sengal. Oh, Tuhan. Apa yang kulakukan? Kuperiksa tubuh itu, tapi aku tidak merasakan detak jantungnya.
                
    Aku tidak bersalah. Pria ini, dia mendapatkan apa yang pantas baginya. Cepat-cepat aku pergi ke dapur dan mengambil sebilah pisau. Kugenggamkan pisau itu di tangan Albert dan kutorehkan pisau itu kuat-kuat ke tangan kiriku. Aku menjerit.
               
    Pemeriksaan polisi akhirnya menyatakan bahwa aku membunuh pria itu dalam usahaku membela diri. Dari uang peninggalan pria itu jugalah, aku akhirnya dapat membuka café ini. Tempat yang menjadi surgaku saat ini.
                
    Aku membuka pintu café dan kurasakan angin hangat berhembus di pipiku. Salju sudah mulai mencair dan kehidupan kembali bangkit dari dalam bumi. Aku bisa mendengar Maret bersenandung di telingaku. 

  14. Selembar Kain Batik

    Thursday, October 18, 2012


    Aku mendororong pegangan kayuhku ke depan. Perlahan perahu yang kunaiki semakin bergerak ke tengah danau. Langit sore tampak membara di atas kepalaku. Warnanya yang keemasan terpantul di air danau, membuatku seolah-olah mendayung di atas lautan emas.
               
    Dulu, sewaktu aku masih 8 atau 9 tahun, aku pernah datang ke tempat ini bersama ibu. Pemandangan sore itu sama persis dengan hari ini. Bagi diriku yang tinggal di kampung batik dan sehari-hari hanya melihat kusamnya tanah dan debu serta menghirup bau lilin batik,  pemandangan hari itu adalah sebuah keindahan tiada tara yang membuat hatiku berdebar-debar. Aku merasa seperti berada di sebuah dunia yang begitu berbeda.
                
    “Ibu, surgakah ini?” tanyaku padanya.
               
    “Bukan, Nak. Ini bukan surga.”
                
    “Tapi tempat ini begitu indah. Tidak ada yang seperti ini di kampung kita.”
                
    “Memang benar, tapi masih banyak tempat lain yang seindah ini di berbagai tempat di bumi ini.”
                
    Desaku adalah sebuah desa tempat para pengrajin dan pedagang batik berkumpul. Batik-batik yang dibuat di sana seratus persen buatan tangan. Ibuku sendiri adalah salah seorang wanita pekerja yang tugasnya membuat pola batik dan menegaskan pola-pola yang dia gambar. Dia juga bertugas untuk menutup bagian kain yang tidak akan diwarnai sebelum menyerahkan pada bagian pencelupan.
               
    Aku selalu berpikir untuk menjadi seperti orang-orang di kampungku, tetapi ibu selalu melarang.
                
    “Tidak, Nak. Ibu akan mengelarkanmu dari sini.”
               
    “Tapi kenapa? Aku suka di sini.”
                
    “Tidakkah kamu ingin melihat tempat seperti danau itu lagi?”
                
    Aku mengangguk.
                
    “Kalau kamu terus berada di sini, kamu tidak akan dapat menemukan tempat seperti itu.”
               
    Aku terdiam.
                
    Ibu bekerja siang-malam membanting tulang, mengumpulkan uang sedikit demi sedikit. Ketika aku lulus dari SMA, ibu mengirimku ke sebuah universitas di kota. Aku mengambil jurusan Ekonomi. Di saat yang sama, aku juga mengenal dunia fotografi dari salah seorang temanku di kampus.
               
    Aku langsung jatuh cinta pada fotografi ketika pertama kali berkenalan dengannya. Lewat fotografi, keindahan-keindahan yang ada di alam dapat kuabadikan. Butuh waktu 2 tahun berkerja dan menabung sebelum akhirnya aku bisa membeli kamera bekas milik salah seorang kenalanku. Aku kemudian memperdalam ilmuku di bidang itu dan setelah bertahun-tahun berkerja keras, aku akhirnya dapat menyebut diriku seorang fotografer profesional dan juga seorang sarjana.
                
    Aku kemudian berkelana ke berbagai tempat untuk mendapatkan gambar-gambar terindah, tapi tidak satu pun yang dapat menandingi kemegahan danau sore itu. Aku teringat akan sore itu dan juga pada ibuku. Ya, ibuku. Sudah berapa lama aku tidak bertemu dengannya?
                
    Aku kemudian pulang kembali ke kampungku dan kudapati tempat itu masih sama seperti dahulu. Masih tetap tanah yang sama, debu yang sama. Hanya saja kini aku sadar betapa reotnya rumah-rumah di desa itu dan betapa lelahnya orang-orang di sana. Tidak bisa kutangkap kehidupan pada mata mereka.
                
    “Karena itulah, aku menyuruhmu pergi dari sini,” kata ibuku saat aku menceritakan pengamatanku padanya.
                
    Ah, ibuku. Betapa aku sayang padanya. Dialah berkat dalam hidupku. Aku mengambil selembar kain batik yang merupakan kain favoritnya. Aku membuka ikatan pada kain itu dan mengambil sebuah guci kecil dari dalamnya.
                
    Aku membuka tutup guci itu dan perlahan kutaburkan abu dari dalamnya. Air mata turun dari kedua mataku.


  15. Tahu, tahu, Desember memang masih lama, tapi tulis surat ke Santa dari sekarang juga boleh kan? Nah, kali ini saya mau tulis surat ke Santa untuk minta hadiah karena, well, I've been a good boy all year long.

    Dear Santa, hmmm.... Aku minta buku-buku ini dong. Boleh ya...
    1. Prey (Mangsa) - Michael Crichton
    2. Sphere (Bola Asing) - Michael Crichton

    Itu totalannya cuma 120 ribu kok. Suer. Masing-masing 60ribu soalnya.

    Terus dari sekian banyak buku bertebaran di toko buku offline dan online, kenapa saya memilih 2 buku itu? Sederhana, karena Michael Crichton is like, my brand new hero. Saya suka dengan science fiction dan setelah tahu bahwa Jurrasic Park ternyata ditulis oleh Mbah Crichton, saya langsung coba cari buku-bukunya yang lain.

    Eh, ternyata buku-bukunya Michael Crichton pas lagi diterbitkan oleh Gramedia. Jadilah saya ambil Congo sebagai sampel bacaan saya (saya ambil karena tertarik sama gambar gorilla di kovernya btw). Dan pengen punya buku-bukunya yang lain. Jadi, begitulah. Lumayan kan kalau bisa dapat bukunya Mbah Crichton secara cuma-cuma. Hehehe...

    Btw, post ini saya tulis sebagai entri giveaway Tell Me Your Wish Oktober. Yang penasaran itu apaan, langsung aja cek ke TKP.

  16. Sekarang udah bulan Oktober yah? Hee... Saatnya ngebut menyelesaikan skripsi :))

    Nah, merayakan datangnya Oktober, saya kembali mengadakan giveaway. Kali ini novel giveawaynya adalah novel A Place Called Here - Ada di Sini karya Cecelia Ahern si penulis novel terkenal, P.S. I Love You, yang sudah difilmkan itu.

    Ada di Sini adalah novel ke-4 karya Ahern. Melanjutkan sukses P.S. I Love You, Ahern terus menelurkan karya-karya yang diterima baik oleh masyarakat dan para kritikus. Majalah Glamour menyebut novel ini sebagai 'a beautifully written love story'. Majalah Marie Claire menyebut novel ini 'warm and cosy', sementara para reviewer Goodreads memberi rating rata-rata 3,58 dengan total 8.847 orang yang memberi nilai (data 10 Oktober 2012). Buku yang menggoda bukan?

    Mau buku ini? Gampang. Isi aja form Rafflecopter di bawah ini :D


    a Rafflecopter giveaway


    Catatan: novel yang akan didapat nantinya novel yang sudah tidak terbungkus plastik dari percetakan, tapi kovernya sudah dibungkus plastik dan kondisi bukunya juga masih oke :)

    Aturan giveaway:



  17. Peserta berdomisili di wilayah Indonesia.




  18. Silahkan mengisi kolom rafflecopter di atas.




  19. Giveaway berlangsung sampai tanggal 11 November 2012.




  20. Pemenang saya pilih berdasarkan kelengkapan mengisi rafflecopter dan jawaban akan pertanyaan kuis. Keputusan pemenang tidak dapat diganggu gugat.




  21. Bila dalam 48 jam tidak ada respon dari si pemenang, maka saya akan memilih seorang pemenang baru.