My rating: 4 of 5 stars
Judul: Jangan Ucapkan Cinta & Bukan Cinta Sesaat
Penulis: Mira W.
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Halaman: 560 halaman
Terbitan: September 2015
Jangan Ucapkan Cinta mengungkapkan dua naluri dasar manusia, cinta dan benci, yang hidup berdampingan seperti dua sisi mata uang. Ketika cinta kilat yang lahir hanya dari daya tarik fisik menjelma menjadi pengkhianatan, cinta pun bermetamorfosis menjadi kebencian.
Depresi menyeretnya ke ruang kerja seorang psikiater. Tetapi psikoterapi tidak menyembuhkan depresinya. Justru mengubahnya menjadi pribadi yang sama sekali berbeda. Sosok kejam yang siap membalas dendam.
Namun tiga belas tahun kemudian, tatkala dia berhasil menghancurkan karier suaminya dan menyeret perempuan yang menggodanya ke rumah sakit jiwa, muncul orang keempat yang tidak disangka-sangka.
Ternyata kelainan jiwa bukan hanya milik pasien....
Bukan Cinta Sesaat mengisahkan dua anak manusia yang berasal dari dua kultur yang berbeda. Tetapi dilahirkan di bumi yang sama. Dibesarkan di tanah air yang satu.
Dua puluh tujuh tahun mereka menjalin cinta, menantang berbagai kendala yang merintangi.
Guru, orangtua, bahkan lingkungan menentang cinta mereka. Akhirnya maut pun ikut membayang-bayangi dalam dua kali percobaan pembunuhan yang misterius.
Masihkah cinta mereka abadi? Bukan hanya cinta sesaat?
Review
Satu buku yang terdiri atas dua novel karya Mira W.. Yang pertama adalah 'Jangan Ucapkan Cinta' (1998). Yang kedua adalah 'Bukan Cinta Sesaat' (1995).
'Jangan Ucapkan Cinta' bercerita tentang Niken, seorang suster yang bekerja pada Dokter Eko. Di tempat kerjanya itulah dia bertemu dengan Aldi, kakak Eko yang adalah seorang playboy dan penakluk hati wanita. Pertemuan itu membuat Niken membatalkan pertunangannya dan memilih menikahi pria itu, padahal Eko sudah memperingatkan sifat buruk kakaknya.
Pernikahan yang awalnya berjalan manis tiba-tiba berubah jadi bencana saat Aldi kawin lari dengan wanita lain. Niken terpaksa berjuang sendiri untuk menghidupi dirinya serta bayi dalam kandungannya.
'Bukan Cinta Sesaat' bercerita tentang Nina, seorang gadis keturunan Tionghoa; serta Rio, seorang anak laki-laki keturunan Batak. Pertemanan mereka sejak SD melalui perjalanan bertahun-tahun hingga mereka tumbuh menjadi remaja. Namun, saat mereka mulai sadar akan arti cinta, hubungan mereka justru ditentang oleh kedua pihak orang tua.
Puluhan tahun kemudian, kisah mereka berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam dan kelam. Sebuah cinta yang dibayangi oleh pembunuhan dan rasa bersalah.
Saat bicara tentang novel percintaan, hal-hal apa yang akan muncul di kepala orang? Mungkin segala sesuatu yang manis, yang mampu membuat jantung berdebar-debar. Hal-hal yang mampu memesona dengan tokoh-tokoh yang memenuhi seluruh daftar keinginan si pembaca secara fisik dan mental.
Tapi, ada sisi lain cinta yang tidak seindah itu. Ada sisi yang dipenuhi kebencian, pengkhianatan, sakit hati, cemburu, dan rasa kecewa. Sisi cinta inilah yang diperlihatkan oleh Mira W. dalam kedua novelnya.
Mira W. memperlihatkan bagaimana sesuatu yang dimulai atas nama cinta, justru bisa menjadi bumerang yang menyakiti diri sendiri.
"Saya mencintainya, Dok." Niken menunduk dengan paras memerah.
"Cinta!" cetus eko dengan suara melengking. "Kamu baru sebulan mengenalnya."
"Saya jatuh cinta sejak pertama kali melihatnya, Dok," desah Niken terus terang. "Setelah hari itu, saya terus-terusan memikirkannya."
[...]
"Kamu akan menyesal!" desisnya (Eko) seorang diri ketika Niken telah meninggalkan kamar praktiknya. "Air matamu akan runtuh sebanyak tetes-tetes cintamu! Suatu hari, akan kamu kutuki hari pertemuanmu dengan dia!" (hal. 48-49)
Atau bagaimana waktu dapat mengubah cinta yang sederhana dan polos menjadi rumit dengan berbagai motif latar belakang.
Jika masalah ini muncul sepuluh tahun yang lalu, pemecahannya pasti berbeda. Rio tidak akan sulit menentukan pilihannya.
Tetapi kini, dia tengah menuju proses kematangan. Dan seorang laki-laki dewasa yang matang, membutuhkan pertimbangan lain selain cinta yang membuta tuli. Dia membutuhkan pengakuan lingkungan untuk bereksistensi. (hal. 472)
Melihat penderitaan dan perjuangan panjang para tokoh di kedua novel ini, kadang saya berpikir, untuk apa mereka berjuang sejauh itu? Tidak bisakah mereka matikan saja rasa cinta itu? Mungkin memang tidak bisa.
"Cinta bukan TV yang bisa kamu matikan kalau kamu sedang tidak ingin menikmatinya, Rio!" (hal. 338)
Atau mungkin seperti yang sering Ti Pat Kay (Zhu Baije) katakan di film Kera Sakti, "Cinta, penderitaannya sungguh tiada akhir."
Secara keseluruhan, saya suka dengan buku ini. Kedua cerita yang Mira W. tampilkan mungkin terasa lebih gelap dan nyata dibandingkan novel roman pada umumnya, tapi tetap enak diikuti.
Buku ini untuk tantangan baca:
- 2015 Read Big Reading Challenge
View all my reviews