My rating: 3 of 5 stars
Judul: The Three-Cornered World
Penulis: Natsume Soseki
Penerbit: Tuttle Publishing
Halaman: 192 halaman
Terbitan: 2000
In The Three-Cornered World, an artist leaves city life to wander in the mountains on a quest to stimulate his artistic endeavors. When he finds himself staying at an almost deserted inn, he becomes obsessed with the beautiful and strange daughter of the innkeeper, who is rumored to have abandoned her husband and fallen in love with a priest at a nearby temple. Haunted by her aura of mystery and tragedy, he wants to paint her. As he struggles to complete his picture and sove the enigma of her life, his daily conversations with those at the inn and the village provide clues and inspiration toward solving the mysteries she presents.
Natsume Soseki examines each event and scene in this story in minute detail, creating balanced pictures in each small situation. Interspersed with philosophies of both the East and West, Soseki's writing blends two very different cultures and presents the unique world of an artist struggling with his craft and his environment. An evocative picture of the daily life in a mountain village of the times, The Three-Cornered World provokes thought and images equally.
Review
Bercerita tentang 'aku' (yang hingga akhir tidak diketahui namanya), seorang seniman yang pergi dari Tokyo ke sebuah gunung untuk mencari inspirasi. Di sana dia tinggal di sebuah penginapan dan mendengar kisah tentang anak gadis pemilik penginapan, Nami, yang menjadi buah bibir desa karena perceraiannya ketika suaminya jatuh miskin.
Atas permintaan gadis itu, 'aku' bermaksud untuk melukis Nami dengan gaya yang menyerupai lukisan Ophelia karya Millais. Hanya saja ada sesuatu yang "kurang" pada diri Nami yang membuatnya kesulitan menyelesaikan lukisannya.
Ophelia karya Sir John Everett Millais
I suppose you could say that an artist is a person who lives in the triangle which remains after the angle which we may call common sense has been removed from this four-cornered world. (pg. 48)
Saya tidak yakin apakah buku ini bisa dibilang sebagai novel atau tidak. Alih-alih fokus pada karakter atau plot, buku ini lebih banyak berfokus pada filosofi si tokoh utama akan seni. Hampir semua aspek dalam novel ini dikaitkan dengan seni oleh si 'aku'. Bahkan ngeliat kue aja masih dia hubungkan dengan seni.
Yang saya suka dari novel ini adalah interaksi antara 'aku' dan Nami, kisah antara Nami dan mantan suaminya, serta beberapa deskripsi dan pemikiran yang ada.
Membaca novel ini, saya yakin akan ada yang kurang suka karena deskripsinya yang panjang-panjang dan kurangnya cerita yang sebenarnya.
View all my reviews
0 comments :
Post a Comment