Rss Feed
  1. Pertemuan di Sebuah MotelPertemuan di Sebuah Motel by V. Lestari

    My rating: 4 of 5 stars


    "Pertemuan di Sebuah Motel" menceritakan tentang dua orang wanita yang berasal dari latar belakang berbeda dan daerah yang berbeda bertamu di Motel Marlin dengan satu tujuan yang sama. Untuk mengakhiri hidup mereka masing-masing.

    Delia adalah seorang janda yang baru saja ditinggal mati oleh anak dan suaminya. Bukannya menerima sikap simpatik atas kematian kedua orang yang sangat disayanginya itu, Delia malah memperoleh perlakuan sinis dari Ratna, mertuanya. Ratna senang dan mengatakan bahwa kematian anak dan cucunya itu karena kutukan yang dia jatuhkan pada mereka yang telah berani membangkangnya.

    Yasmin adalah seorang wanita yang memilii problem seksual dalam rumah tangganya. Setelah melakukan hubungan seksual untuk pertama kalinya dengan Hendri, suaminya, bukan kepuasan yang Yasmin dapatkan tapi justru rasa sakit yang luar biasa di kelaminnya. Hendri sendiri tidak peduli dengan keluhan Yasmin. Dia malah mengatai Yasmin sebagai istri yang frigid dan cengeng.

    Di Motel Marlinlah, Delia dan Yasmin bertemu untuk pertama kalinya. Hubungan mereka semakin dekat setelah Delia menggagalkan usaha bunuh diri Yasmin. Mereka akhirnya saling bahu-membahu untuk menyelesaikan masalah masing-masing dibantu oleh Erwin dan Kosmas, kakak-beradik pemilik Motel Marlin.

    Sementara itu, Ratna  memperoleh kekuatan sihir yang lebih besar setelah dia menghamba pada iblis dan terus mengincar Delia yang menurutnya telah kurang ajar dengan membawa lari uang peninggalan suami Delia yang menurut Ratna, seharusnya menjadi miliknya. Mampukah Delia mematahkan ilmu sihir Ratna?

    Yang ke bawah ini agak SPOILER yah...


    Novel ini adalah novel ke-3 V. Lestari yang saya baca (Apartemen Lantai 7 adalah yang pertama, Bisikan adalah yang kedua) dan merupakan novel yang membutuhkan waktu tersingkat untuk saya selesaikan.

    Pada paroh pertama novel, ceritanya sangat menarik dan membuat saya tidak bisa berhenti membaca. Masalah yang dihadapi Delia dan Yasmin berhasil menjaga minat saya sepanjang malam dan Ratna sukses menjadi tokoh yang betul-betul memuakkan, khususnya setelah dia memperoleh lagi kemudaan dirinya berkuat kekuatan iblis.

    Sayangnya tensi yang berhasil dijaga di awal hingga pertengahan novel kurang berhasil dijaga di bagian akhir, khususnya setelah Delia pulang untuk memberikan uang "upeti" kepada Ratna.

    Tensi cerita kembali naik setelah Ratna bertemu dengan Hendri dan Hendri masuk ke dalam "perangkap" Ratna. Plot ini membuat saya bertanya-tanya apakah Yasmin akan masuk ke dalam masalah lagi dengan terjalinnya hubungan antara Ratna dengan suaminya?

    Sayangnya hal itu tidak pernah terjadi. Setelah masalah jampi-jampi yang Ratna tinggalkan di Motel Marlin selesai, tidak pernah ada kejadian "menarik" lainnya yang menimpa Delia maupun Yasmin, sehingga membuat cerita terasa datar.

    Selain itu endingnya tidak terasa klimaks. Saya berharap endingnya akan memperlihatkan "pertarungan seru" antara Delia dan Ratna (karena sejak awal memang merekalah yang berkonflik, mungkin bisa ditambahkan Yasmin ke dalam "pertarungan akhir" ini). Tetapi hal ini tidak terjadi dan endingnya terasa datar tanpa gejolak yang berarti.

    Secara keseluruhan buku ini nilainya 5 bintang hingga pertengahan cerita. Memasuki akhir, nilainya turun menjadi 4 bintang.

    View all my reviews

  2. Sejuta Cinta di SydneySejuta Cinta di Sydney by Dewi Fitri Lestari

    My rating: 2 of 5 stars


    Sejuta Cinta di Sydney berkisah tentang Joop, seorang pria Indonesia berwajah Arab yang memutuskan untuk bersekolah di Australia karena ingin membuktikan bahwa dirinya mampu bersaing di negeri orang kepada teman chattingnya, Jake.


    Dalam pengambilan keputusannya ini, Joop terpaksa harus meninggalkan Yulian, pacarnya yang berbeda ras dan agama. Yulian sendiri tidak mau ditinggal dan akhirnya menyusul ke Australia.

    Di Australia, Joop tinggal dengan keluarga Jake dan merasakan keramahan keluarga tersebut. Awalnya semua berjalan baik, sampai tiba-tiba kejadian Bom Bali yang menewaskan ratusan warga Aussie mengakibatkan penindasan rasial terhadap Joop yang memiliki wajah Arab dan beragama Islam.

    Secara keseluruhan saya rasa ide ceritanya bagus sekali. Kedua pengarang menggali efek Bom Bali dari sudut pandang rasial dan agama di negeri orang. Sayangnya penokohan karakternya sama sekali tidak kuat. Joop tidak terasa memiliki kedalaman sebagai seorang tokoh utama, begitu pula dengan karakter-karakter pendukung lainnya.

    Selain itu hubungan antara Joop dan Yulian tidak digali lebih dalam. Yulian yang seharusnya cinta mati sama Joop malah terasa anteng saja sesudah dia menyusul ke Australia. Joop yang juga (katanya) tidak rela meninggalkan Yulian malah terlihat santai dan tidak melakukan apapun untuk memperdalam hubungan mereka. Akhir hubungan mereka juga terasa mengambang.

    Saya tadinya mau memberikan 3 bintang kepada buku ini, tapi gara-gara banyaknya halaman buku yang tergabung (yang mengakibatkan saya harus berhenti membaca beberap kali untuk menggunting halaman yang tersambung itu), maka saya menurunkan jumlah bintang yang saya berikan menjadi 2.

    View all my reviews

  3. DO (Drop Out)DO by Arry Risaf Arisandi

    My rating: 4 of 5 stars


    Sejak halaman pertama buku ini sudah berhasil membuat saya ketawa. Banyak humor-humor segar di dalamnya yang berhasil mengocok perut. Humornya sendiri berhasil menyatu dengan jalan cerita dan tidak mengacaukan isinya.

    Ada beberapa momen yang terasa turun ketukannya, tapi secara keseluruhan buku ini sangat baik dan direkomendasikan bagi pecinta novel roman komedi.

    View all my reviews

  4. Menikahlah Denganku

    Thursday, January 26, 2012

       Pagi itu cuaca tampak mendung. Awan kelabu menutupi seluruh langit kota Surabaya. Angin yang bertiup kencang seolah-olah mengantarkan datangnya hujan lebat yang beberapa hari terakhir terus mengguyur kota Surabaya.

        Di tengah suasana mendung itu, kediaman keluarga Suraatmadja tampak sibuk. Beberapa orang tampak berlarian menyiapkan ini dan itu. Ada juga beberapa orang yang tampak keluar masuk dari sebuah kamar. Dan di dalam kamar itu, seorang gadis cantik tengah duduk dalam sebuah busana pengantin indah berwarna gading. Rambutnya telah dibuat bergelombang oleh penata rambutnya dan wajahnya telah dipolesi foundation, bedak, lalu perona pipi. Bibirnya diwarnai tipis dengan gincu berwarna merah.

        “Nah, bagaimana? Sudah oke kan, Mba Ayu?” tanya seorang pria feminin yang merupakan pimpinan tim penata rias.

        Gadis bernama Ayu itu mematut dirinya di cermin, lalu mengangguk. “Ia. Sudah oke kok.”

        “Itu bedaknya agak tidak rata di sebelah kanan.” timpal seorang wanita gemuk yang adalah ibu Ayu.

        “Mana coba saya lihat?” pria itu menolehkan wajah Ayu sehingga pipi kanan Ayu menghadap ke arahnya. Dia lalu memoleskan sedikit bedak lagi ke pipi Ayu. “Sekarang oke kan?”

        Ibu Ayu mengamati pipi anaknya itu. “Sudah oke sekarang.”

        “Nah, kalau begitu sekarang kita permisi dulu yah Bu. Ayo anak-anak. Cepat selesaikan beres-beresnya.” kata pria itu menepuk tangannya memberikan komando. Dalam sekejap suasana ramai kamar itu mendadak jadi sepi sesudah tim rias meninggalkan tempat itu.

        “Nah, Ayu. Kamu tunggu di sini dulu ya. Ibu masih mau mengurus keperluan lain di depan.”

        “Iya, Bu.”

        Ibunda Ayu lantas keluar dari kamar rias, meninggalkan Ayu duduk seorang diri di depan cermin. Ayu melihat wajahnya dan merasa bahwa dia cantik sekali. Dia sendiri bukanlah tipe pesolek sehingga jarang dia merasa dirinya cantik dan feminin. Tapi pernah sekali, dia merasa dirinya jauh lebih cantik dari saat ini.

        Pikirannya melayang kepada Dino, seorang pria yang membuatnya mampu merasa jauh lebih cantik daripada saat ini. Padahal waktu bersama Dino, Ayu biasanya hanya mengenakan T-Shirt belel dan celana jeans yang warnanya mulai memudar. Rambutnya pun dibiarkan apa adanya dan tidak ada bedak satu pun yang menempel di kulit wajahnya. Tapi dalam kondisi seperti itulah, bersama Dino, Ayu merasa cantik.

        Telepon genggamnya berbunyi dan Ayu merogoh ke dalam tasnya untuk mengambil telepon genggam itu. Dia membuka pesan yang masuk.

        Aku masih terus menunggumu Ayu.

        Deg!

        Pesan dari Dino.

        Ayu menghapus pesan itu. Tangannya menggenggam erat telepon genggamnya. Dia berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. Tiba-tiba telepon genggamnya kembali berbunyi. Sebuah SMS masuk.

        Aku masih cinta padamu Ayu.

        Lagi-lagi pesan dari Dino.

        “Tidak bisa, Dino.” bisik Ayu lirih. “Kau tidak boleh cinta lagi padaku.”

        Kembali telepon genggamnya berbunyi.

        Ayu, tinggalkanlah dia. Aku cinta padamu Ayu. Menikahlah denganku

        Ayu merasa jam di dinding berhenti berdetak ketika dia membaca pesan itu. Dia menimbang-nimbang teleponnya, lalu menulis sebuah pesan sebagai balasan.

        Lupakan aku, Dino. Kau terlambat 5 tahun untuk mengucapkan kalimat itu.

        Ayu menekan tombol kirim, lalu dia mematikan telepon genggamnya.

        “Ayu, sudah waktunya.” kata Ibu Ayu.

        Ayu berdiri dan melangkah menuju pintu.

        Selamat tinggal Dino. Terima kasih karena kau pernah membuatku merasa cantik.

  5.     Pernikahan adalah satu hari yang dijalani oleh hampir semua wanita. Ada yang memasukinya dengan pemikiran kekanak-kanakan bahwa pernikahan adalah pintu menuju kebahagiaan selama-lamanya seperti akhir cerita dongeng anak-anak. Ada pula yang memasuki pernikahan karena “terpaksa”, entah karena faktor usia, paksaan orang tua, atau karena “kecelakaan”. Ada lagi jenis ketiga yang menikah karena memang telah merasa siap untuk masuk ke jenjang ini bersama dengan pria yang dicintainya. Lalu bagaimana dengan aku sendiri? Kenapa aku mau menjalani hari pernikahan itu?

        Aku bertemu dengan Randy, calon suamiku, 6 tahun yang lalu di sebuah café. Waktu itu dia meminta pelayan untuk mengantarkan kue coklat ke mejaku, lalu mengajakku berkenalan sesudahnya. Aku masih ingat apa yang dikatakannya waktu itu.

        “Kamu manis. Bolehkah aku berkenalan denganmu?” begitu katanya.

        Aku masih ingat dengan jelas seluruh kejadian 6 tahun yang lalu itu seolah-olah baru saja terjadi kemarin. Sesudah perkenalan itu, kami bertemu di café itu beberapa kali sebelum akhirnya Randy “menembakku” 5 bulan setelah pertemuan pertama kami.

        “Jelita, kamu sedang apa?”

        Pintu kamarku terbuka dan Ibu masuk ke dalam kamar.

        “Lagi tiduran aja.” jawabku

        “Tegang menghadapi pernikahan kamu besok?” Ibu tersenyum menggoda.

        “Tegang sedikit wajar kan. Memangnya Ibu tidak tegang waktu Ibu mau menikah dulu?”

        Ibu berpindah dan duduk di sisi ranjang.

        “Dulu Ibu juga tegang sedikit kok.” kata Ibu sambil menepuk kakiku. “Tapi semuanya berjalan baik-baik saja. Kamu enggak usah terlalu tegang, ok?”

        Aku mengangguk.

        “Ya sudah. Kamu tidur sana. Besok harus bangun pagi-pagi buat di-make up.” kata Ibu.

        Aku lantas memeluk ibu sebelum dia bangkit berdiri.

        Kurasakan setitik air mata jatuh ke bahuku. “Rasanya kamu itu masih Ibu timang dalam pelukan kemarin, tahu-tahu sekarang kamu sudah mau jadi istri orang.”

        “Terima kasih yah, Bu. Sudah ngejagain Jelita dari kecil sampai sekarang.”

         “Sudah, enggak usah pakai acara sentimentil begini. Kamu tidur deh. Jangan nangis lagi. Nanti mata kamu bengkak besok. Matamu jangan kamu kucek, nanti merah.”

        Ibu lantas mengecup keningku, lalu meninggalkanku duduk sendiri di dalam kamar.

        Besoknya aku bangun pagi-pagi sekali dan memulai ritual make up pengantin wanita. Rambutku dibenahi, kuku-kuku dibersihkan dan dipoles, wajahku diberi make up sehingga aku tampak lebih jelita daripada Jelita biasanya. Di tengah semua ritual itu, hatiku tetap merasa gelisah.

        Setelah diriku selesai dirias, aku menunggu dengan perasaan gelisah.

        “Jelita.” panggil Ibu mengejutkanku. “Sudah waktunya.”

        Aku bangkit berdiri dan berjalan di belakang Ibu. Kami berdua masuk ke dalam ruangan tempat ijab kabul akan dilangsungkan. Di sana Randy telah menungguku dengan sebuah senyum lebar.

        “Kau sudah siap?” bisiknya padaku.

        Aku hanya mengangguk pelan.

        Acara ijab kabul pun dimulai.

       “Saya nikahkan engkau, Randy Wijaya bin Hendra Wijaya, dengan putri saya, Jelita binti Remi dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang tunai sejumlah Rp 1.550.000 dibayar tunai.”

       “Saya terima nikahnya, Jelita binti Remi dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”

       “Sah?”

       “Sah!” jawab para saksi.

       Aku tersenyum, lalu berpikir, aku bukanlah gadis yang berpikir bahwa pernikahan adalah akhir sebuah dongeng. Aku juga tidak menikah karena terpaksa. Kurasa aku menikah karena memang telah merasa siap untuk masuk ke jenjang ini bersama dengan pria yang kucintai.

    p.s: Cerita ini merupakan lanjutan dari kisah "Kamu Manis, Kataku."

  6. Review: Siluet Diva - Mariam Arianto

    Wednesday, January 25, 2012

    Siluet DivaSiluet Diva by Mariam Arianto

    My rating: 2 of 5 stars


    Alur ceritanya terasa datar. Tidak ada letupan peristiwa yang terjadi. Isinya tidak sebaik yang sinopsisnya janjikan. Cocok untuk bacaan ringan.


    View all my reviews

  7. Hari itu langit malam tidak berawan sehingga bulan purnama dapat menunjukkan sinar penuhnya yang indah kepada manusia malam itu. Di dalam siraman cahaya bulan itu, jalanan tampak ramai dipenuhi orang-orang yang bermalam minggu. Suasana terasa hingar-bingar dengan kendaraan yang lalu lalang di jalanan.

    Ramainya jalanan bertolak belakang dengan suasana restoran “Bintang Lima” tempatku sedang duduk malam itu. Restoran yang mengusung konsep romantis ini smemang merupakan pilihan utama pasangan-pasangan yang hendak menghabiskan malam minggunya berduaan dalam suasana yang romantis. Suasanaya tenang dengan cahaya penerangan yang agak remang-remang. Sebuah band memainkan lagu romantis berirama Spanyol yang tidak kuketahui namanya. Malam itu aku sedang duduk bersama seorang wanita.

    Wanita yang duduk di hadapanku tampak menawan dengan rambut panjang yang dibiarkannya terurai dan make up tipis yang dikenakannya. Gaun merah yang dikenakannya tampak sangat cocok dengan badannya. Memperlihatkan lekuk-lekuk indah tubuhnya. Wanita itu bernama April, dan dia adalah kekasihku.

    “Thanks yah sayang. Sudah ngajakin aku kencan ke sini.” kata April.

    Aku mengangguk. “Kamu suka dengan tempat ini?”

    “Suka sekali. Tempatnya betul-betul romantis. Aku selalu ingin menghabiskan satu malam di tempat yang romantis seperti ini dengan orang yang spesial bagiku.”

    “Dan apakah orang yang spesial itu aku?” godaku.

    April tersenyum malu-malu, lalu dia mengangguk. “Ya. Orang yang spesial itu adalah aku.”

    Aku meraih tangan kanannya, lalu menciumnya. “Kamu cantik sekali malam ini, April.”

    Dia kembali tersipu malu. “Thanks. Kamu juga cakep malam ini.”

    Alunan irama Spanyol telah selesai bersenandung dari live band restoran itu dan telah berganti ke salah satu lagu Indonesia lama yang bertemakan cinta.

    “Kamu sering ke sini sebelumnya?” tanya April.

    “Tidak juga. Aku memang pernah ke sini beberapa kali sebelunya.”

    “Dengan pacarmu?” tanyanya. Dia terdengar ragu-ragu mengucapkan kata yang terakhir.

    “Dengan mantan pacarku. Sudahlah. Itu tidak penting. Yang penting adalah kamu dan aku saat ini.”

    Aku mengisi gelas April dan gelasku yang telah kosong dengan wine merah, lalu mengangkat gelasku ke udara.

    “Untuk kita berdua.”

    April mengangkat gelasnya, lalu menyentuhkan pelan gelasnya pada gelasku.

    “Untuk kita berdua.”

    Kami lalu meminum isi gelas itu sampai habis. Setelah meletakkan gelas, aku menggenggam kedua tangan April, lalu melihat ke dalam matanya.

    “Aku cinta padamu April.”

    Wajahya memerah. “Aku juga cinta padamu, Mas.”

    Lantunan lagu Indonesia yang dimainkan live band telah usai.

    “Ini bukan judul terakhir yang akan kami bawakan malam ini.” kata si vokalis. “Masih ada banyak tembang romantis yang akan kami bawakan. Jadi nikmati malam Anda. Rayakanlah cinta Anda pada malam hari ini bersama kami.” Sesudah itu band tersebut mulai membawakan lagu “I Will Always Love You” yang dipopulerkan oleh Whitney Houston.

    Aku tersenyum dan berusaha untuk tidak menarik nafas panjang. Aku berharap band itu dapat segera menyelesaikan lagu mereka dan aku dapat pulang membawa April ke tempatku. Aku ingin memastikan bahwa malam ini adalah malam terindah bagi April. Malam ketika dia lepas dari seluruh masalah dan kesusahan di dunia ini. Selamanya.

  8. Kalau Odol Jatuh Cinta

    Tuesday, January 24, 2012

        Nama gadis itu Arini. Dia adalah seorang remaja berusia 17 dengan wajah imut-imut yang terlihat seperti anak berumur 7 tahun. Dia terkenal dan aku tahu bahwa dia memiliki banyak penggemar. Aku adalah salah satu dari para penggemarnya.

        Berbeda dengan penggemar-penggemarnya yang lain, aku sering menghabiskan waktu di tempat yang intim dengan Arini, di kamar mandi. Aku selalu mengamatinya di pagi hari ketika dia baru saja bangun dan di malam hari sesaat sebelum dia tidur. Akulah yang paling tahu tentang kecantikan alami Arini. Saat aku bertemu dengannya, wajahnya selalu terlihat polos tanpa polesan make up, rambutnya berjingkrak-jingkrak ke berbagai arah, dan terkadang di pagi hari wajahnya terlihat masih mengantuk dan berantakan. Tetapi walau dalam keadaan “sekacau” itu pun, Arini masih terlihat cantik dan menawan bagiku.

        “Selamat pagi Arini.” begitu sapaku ketika melihatnya pagi ini.

        Arini tidak membalas sapaanku. Tentu saja. Tidak mungkin dia bisa mendengar sapaanku. Dengan lembut dia mengambil tubuhku dari dalam sebuah gelas, kemudian dengan lembut dia memencet tubuhku dan mengeluarkan isiku ke atas bulu-bulu sikat gigi. Ya, sekarang kau tahu apa aku ini. Aku adalah sebuah odol. Sebuah pasta gigi!

        Kuamati ketika Arini mulai menyikat gigi-giginya. Aku dapat merasakan saat-saat yang paling membahagiakan dalam hidupku itu. Saat-saat sebagian dari diriku masuk ke dalam Arini dan bersatu dengannya. Membersihkan gigi-gigi dan bagian dalam mulutnya. Aku merasa bagaikan di Nirwana pada saat-saat seperti itu. Kulihat Arini telah selesai menyikat gigi dan berkumur. Dia mengamat-amati gigi-giginya di cermin dan tersenyum puas melihat barisan warna putih sebagai mutiara senyumnya.

        Ah, Arini. Betapa bahagianya kalau aku bisa terus bersama denganmu.

        “Jangan mimpi kamu Dol.” kata sebuah suara membuyarkan lamunanku. “Kamu itu Cuma odol. Mana mungkin si Arini bisa membalas cintamu.”

        “Duh, kamu ini gangguin lamunanku aja.” kataku marah pada si Gelas.

        “Gini yah, Odol,   kamu itu cuma sebuah pasta gigi biasa. Bagi Arini, kamu itu Cuma sebuah benda mati. Benda yang tidak bergerak dan tidak mampu melakukan apa-apa. Berbicara tidak bisa, bergerak tidak bisa, apalagi bercinta. Sudah, lupakan saja mimpi di siang bolongmu itu.”

        “Aku memang tidak bisa bergerak, tapi aku bisa bercinta. Aku memiliki perasaan dan aku jatuh cinta padanya. Itu fakta! Lagipula aku bisa berbicara. Buktinya aku kini sedang berbicara padamu. Arini saja yang belum mampu mendengarkan suaraku.”

        “Kamu itu ya. Kalau dibilangin malah ngeyel. Si Arini itu tidak bisa dan tidak akan pernah bisa mendengarkan suaramu. Manusia tidak akan mampu mendengarkan suara kita yang begitu kecil dan halus.”

        “Tidak. Kau bohong! Aku yakin kelak Arini akan bisa mendengarkanku!”

        Gelas hanya diam. Dia malas melanjutkan pembicaraan ini.

        Malamnya kembali Arini masuk ke kamar mandi dan bersiap-siap untuk melakukan ritualnya sebelum tidur. Aku bahagia karena tahu saat-saat intimku dengannya akan kembali terjadi. Dia mengambilku dari dalam gelas dan mengamatiku.

        “Ma! Mama! Ini odolnya sudah habis! Bagaimana nih?”

        “Buang saja, lalu tolong bawa kantong sampah dari kamar mandi keluar. Sekalian Mama mau buang sampah!” seru Mamanya dari luar.

        Apa? Membuangku? Jangan! Arini, aku cinta padamu! Dengarkanlah aku!

        Arini tidak mengacuhkanku dan dengan satu gerakan, tubuhku telah meluncur ke dalam kantong sampah.

  9. BisikanBisikan by V. Lestari

    My rating: 4 of 5 stars


    "Bisikan" adalah buku ke-2 karya V. Lestari yang saya baca. Buku sebelumnya, "Apartemen Lantai 7", cukup mengecewakan. Tapi saya pikir tidak ada salahnya mencoba untuk membaca 1 lagi buku karya V. Lestari dan pilihan saya akhirnya jatuh pada "Bisikan".

    "Bisikan" bercerita tentang keluarga Haryono yang memiliki hubungan cukup kompleks. Haryono adalah seorang pria yang menikah 2 kali dalam hidupnya. Pernikahannya yang pertama dengan Olivia memberikannya seorang anak laki-laki, yaitu Andre. Setelah bercerai dari Olivia, Haryono menikahi Emma, seorang janda beranak 1. Emma memperoleh seorang anak perempuan dari pernikahan pertamanya dan memberi anak itu nama Marisa.

    Hubungan Marisa dengan ayah tirinya, Haryono, berlangsung baik dan akrab. Malah terlalu akrab sehingga Haryono menelantarkan Emma dan mencurahkan seluruh perhatiannya pada Marisa. Hal ini membuat Emma menjadi cemburu dan meregangkan hubungannya dengan Marisa.

    Suatu hari banjir menyerang daerah tempat keluarga Haryono tinggal. Di saat banjir itulah, Haryono ditemukan meninggal karena tersetrum pengering rambut yang ditemukan dalam keadaan menyala.

    Misteri pun meliputi kematian Haryono ketika Olivia, mantan istri Haryono, melihat arwah Haryono pada upacara pemakamannya. Pada saat yang sama, Emma, Andre, dan Marisa bergiliran jatuh pingsan setelah mendengar suara bisikan arwah Haryono, "Aku arwah penasaran!"

    Semua sependapat bahwa kematian Haryono tidak wajar. Ada apa di balik kematian Haryono?

    Di bagian bawah sini agak SPOILER, jadi kalau gak mau baca, jangan dilanjutkan yah..

    SPOILER ALERT



    "Bisikan" jelas merupakan suatu "perbaikan" imej saya terhadap V. Lestari. Setelah kecewa akan "Apartemen Lantai 7", "Bisikan" berhasil mengobati rasa kecewa saya itu.

    Saya suka dengan skandal kotor yang Haryono miliki. Skandal ini menjaga saya jauh dari rasa bosan halaman demi halamannya. Selain itu penuturan V. Lestari di buku ini lebih baik ketimbang buku yang saya baca sebelumnya. Sangat disayangkan bahwa "Apartemen Lantai 7" keluar justru sesudah "Bisikan".

    Awalnya saya cukup terombang-ambing pada apakah ini kecelakaan ataukah pembunuhan. Mengingat genre V. Lestari yang terkenal ke arah genre detektif, saya pun berpikir bahwa ini adalah pembunuhan. Eh, gak tahunya ini kecelakaan dan genre semula yang saya perkirakan sebagai cerita detektif beralih ke cerita horor ala Stephen King.

    Haryono sungguh menjijikkan sebagai seorang pria pedofil yang memanfaatkan statusnya dan kepolosan Marisa untuk mendekati dan bahkan "mencuri-curi kesempatan" dari Marisa. Yah, salah si Marisa juga sih yang mau memberikan kesempatan dan rada-rada "jablay".

    Buku ini jelas sedikit "kotor" tetapi patut untuk dibaca bagi penggemar kisah horor :D



    View all my reviews

  10. Merindukanmu Itu Seru

    Monday, January 23, 2012

        Siang itu terasa terik. Matahari menyengat dengan hebatnya dan hawa terasa panas. Orang-orang akan lebih memilih untuk berteduh di rumah sambil mengipasi diri mereka daripada bersibuk-sibuk di luar rumah. Tetapi keadaan di pelataran Royal Palace justru terlihat hiruk pikuk dengan segala kesibukannya. Tampak Perdana Mentri Savi sibuk mondar-mandir mengatur barisan prajurit yang mengenakan pakaian tempur lengkap yang terlihat berat dan sangat panas, khuusnya ketika dipakai di hari seterik ini. Seorang pria tampan dalam jubah kebesaran anggota kerajaan berjalan mendekati Perdana Mentri Savi.

        “Bagaimana persiapannya, Perdana Mentri?” tanya pria itu.

        “Ah, Pangeran Harvard. Persiapannya sudah hampir selesai. Seluruh pasukan telah terkoordinasi. Persiapan kita telah selesai.”

        Sang Pangeran mengangguk. “Bagus. Dengan begini kita dapat segera menuju Istana Foscor dan membebaskan Putri Gerilda.”

        “Pangeran, maafkan hamba kalau hamba terdengar lancang. Tapi apakah menurut Pangeran serangan langsung seperti ini adalah jalan terbaik? Penyihir hitam Foscor pasti akan menyadari serangan ini dan dengan cepat mematahkannya.”

        Pangeran terdiam sejenak, lalu berkata. “Kita harus mencoba, Perdana Mentri. Semakin lama kita menunggu, semakin besar pula penderitaan yang Putri Gerilda tanggung. Istana Foscor bukanlah tempat yang tepat bagi Putri Gerilda si Pemegang Cahaya. Kegelapan istana itu pasti akan mencoba merasuki diri Putri sedikit demi sedikit dan kalau kegelapan berhasil menguasai diri Putri sepenuhnya,” Pangeran Harvard bergidik membayangkannya. “Itu berarti akhir dari umat manusia.”

        “Dan aku akan memastikan bahwa inilah akhir dari manusia!”

        Sebuah suara mengejutkan semua orang di pelataran Royal Palace. Sebuah kabut hitam bergulung-gulung membentuk siluet manusia dan dari dalamnya, muncullah Penyihir Foscor.

        “Foscor!” seru Pangeran Harvard. “Mau apa kau kemari? Cepat bebaskan Putri Gerilda!”

        “Lihat siapa yang berbicara. Salam hormat bagimu, Pangeran Harvard.” Penyihir Foscor lalu berpura-pura memberikan hormat dengan gestur dan mimik yang mengejek. “Sayangnya, kali ini aku tidak bisa memenuhi permintaan Pangeran. Aku juga memiliki keperluan dengan sang Putri.” katanya tersenyum licik.

         Seluruh pasukan membentuk formasi pertahanan yang rapat, melindungi sang Pangeran dan Perdana Mentri. Mereka mengacungkan tombak mereka, siap menyerang kapan saja.

        “Kau tidak akan bisa merasuki sang Putri! Cahaya dalam dirinya akan mengusir kegelapanmu keluar!”

        Sang penyihir tertawa. Tawanya membahana ke seluruh penjuru istana.

        “Begitukah pikirmu, Pangeran? Kau terlalu yakin. Aku memiliki caraku sendiri. Tinggal sedikit lagi dan persiapanku akan lengkap. Apakah kau sanggup menghentikanku pangeran?” kembali tawa sang penyihir membahana di seluruh penjuru istana.

        Kabut hitam menyelimuti tubuh si penyihir dan si penyihir pun menghilang dari tempat itu. Pangeran Harvard mengepalkan tangannya erat-erat.

        Tunggulah, Putri Gerilda. Aku pasti akan datang dan menyelamatkanmu!

        Aku menyimpan file tulisanku, lalu menarik nafas panjang. Sedikit lagi, tulisanku akan selesai. Aku akan mempersembahkan tulisan ini untukmu kalau kita bertemu nanti. Tahukah kamu bahwa aku rindu setengah mati dan seluruh tulisanku ini adalah bentuk rinduku padamu? Tahukah kau, sayangku, bahwa merindukanmu itu seru?

  11. RainwaterRainwater by Sandra Brown

    My rating: 4 of 5 stars


    I enjoyed the book. The opening was a bit slow, but the pace got faster through the end. I felt the drama, the heartbreak, and the romance. However, I couldn't really reach the characters, especially Mr. Rainwater.



    View all my reviews

  12. Tentangmu Yang Selalu Manis

    Sunday, January 22, 2012

         Nama gadis itu Marina. Wajahnya oval, rambutnya panjang terurai dan indah, matanya terlihat besar untuk ukuran orang Indonesia, dan dia memiliki hidung yang mancung. Kurasa dia peranakan campuran antara Indonesia dengan (menurut dugaanku) Belanda.  Aku bertemu dengannya di awal tahun 90-an di kota Makassar, waktu itu namanya masih Ujung Pandang.

        Waktu itu aku dikirim oleh kantor kami di Manado untuk mengikuti pelatihan di sana dan Marina juga adalah salah seorang peserta pelatihan.

        “Hai, namaku. Marina.”

        “A.. Aku Wilson.” kataku tergagap. Aku menjabat tangan gadis itu.

        Marina adalah seorang gadis yang bersemangat. Wajahnya selalu terlihat ceria dan dia begitu bersemangat mengikuti rangkaian acara pelatihan yang diadakan di Ujung Pandang. Dia adalah gadis yang supel dan dengan cepat dapat berteman dengan seluruh anggota kelompok.

        “Marina, kau mau pergi jalan-jalan?” kataku mencoba mengajaknya keluar.

        Waktu itu adalah malam bebas, sehingga memungkinkan kami untuk keluar jalan-jalan, melepaskan rasa lelah atau penat setelah mengikuti pelatihan penuh selama beberapa hari.

        “Boleh. Kemana?”

        “Kita pergi makan pisang epe. Kau mau?”

         Pisang epe adalah makanan khas daerah Ujung Pandang berupa pisang yang dibakar, dipipihkan, lalu disajikan dengan lelehan campuran gula merah dan durian. Aku sendiri tidak tahu rasanya karena belum pernah mencoba makanan itu, tapi kata salah seorang temanku yang berasal dari Ujung Pandang, makanan ini patut dicoba kalau kita datang ke kota ini.

        “Boleh. Kau tahu tempatnya?”

        “Aku sudah bertanya pada pegawai hotel. Dia sudah memberi tahu tempatnya. Tidak jauh dari sini kok.”

       “Kalau begitu ayo kita pergi.”

       Kami pun menyusuri jalanan kota Ujung Pandang. Malam itu terasa dingin.

      “Bagaimana pelatihannya tadi?” kataku mencoba membuka percakapan.

      “Membosankan.” jawabnya jujur. “Menurutmu?”

      “Menurutku juga begitu. Aku mengantuk tadi ketika pembicaranya menerangkan.”

      Marina tertawa. Tawanya begitu indah.

      “Kau asli Manado?”

      “Ya. Aku lahir di sana. Kau asli Palu?”

      Dia menggeleng. “Tidak. Keluargaku asli Jakarta. Kami semua pindah ke Palu ketika aku masih 6 tahun.”

      “Kau berapa bersaudara?” tanyaku.

      “Dua. Aku yang bungsu. Kau?”

      “Tiga. Aku yang paling tua.”

      “Kalau begitu kurasa kita cocok.” katanya sambil tertawa.”Kau lebih sabar, sementara aku bisa bermanja-manja padamu.”

      Hatiku berdebar mendengar kata-katanya. Wajahku terasa kaku karena aku menahan agar wajahku tidak memerah.

      "Aku cuma bercanda. Tidak usah seserius itu.” katanya menyadari perubahan di wajahku.

      “Ah, tidak. Eh, ini tempatnya.” kataku mencoba mengalihkan perhatiannya. Kami berdua lalu menghabiskan malam itu dengan menceritakan tentang diri masing-masing. Malam itu benar-benar indah bagiku.

      Pagi itu aku bangun dengan perasaan berdebar-debar. Pendekatanku semalam dengan Marina berjalan sangat baik. Aku tidak sabar untuk bertemu lagi dengannya. Kurasa aku sudah jatuh cinta padanya.

      Kulihat beberapa orang berlari di depanku dengan wajah panik. Aku mencoba bertanya pada seorang pria yang berlari di sebelahku. “Pak, ada apa?”

      Wajah pria itu tampak panik. “Itu. Lift-nya jatuh. Kabelnya putus ketika sedang beroperasi.”

      Tiba-tiba saja perasaan tidak enak menghinggapiku.

      “Apa ada korban jiwa?”

      “Iya. Dua orang pria dan seorang gadis bernama Marina tewas seketika. Loh, Dek? Hei!”

      Aku tidak ingat apa yang terjadi setelahnya karena aku jatuh pingsan. Tapi sampai hari ini pun aku masih mengingatnya. Marina, aku terus ingat tentangmu yang selalu manis di dalam ingatanku.

  13. Manusia Setengah SalmonManusia Setengah Salmon by Raditya Dika

    My rating: 3 of 5 stars


    Raditya Dika is back! However, he doesn't come back with a vengeance. Buku "Manusia Setengah Salmon"nya kali ini terasa lebih berat (baca: kurang lucu) dari buku-buku sebelumnya. Entah apakah ini faktor usia Radit yang sudah tidak muda lagi sehingga pemikirannya menjadi lebih serius (baca:galau), ataukah kesibukannya yang membuatnya kurang waktu menulis sehingga hasil tulisannya kurang semenggigit biasanya. Entahlah. 



    Isi bukunya sendiri cukup naik turun. Ada cerita yang menarik, seperti "Jomblonology", "Mencari Rumah Sempurna", dan "Manusia Setengah Salmon", tapi ada beberapa cerita yang terasa "gak banget" seperti "Ledakan Paling Merdu" dan "Interview With The Hantus".



    Secara keseluruhan, saya rasa Raditya Dika sedang berada dalam masa transisinya. Bukan, bukan jenis kelaminnya yang bertransisi, tetapi kehidupannya. Hal ini tercermin dari buku ini yang terasa lebih galau daripada buku-buku sebelumnya.



    Yang terakhir, saya mendoakan semoga Mas Radit cepat sembuh dari penyakit kulit yang dideritanya sebagaimana yang terlihat di cover buku ini.



    View all my reviews

  14.     Kapan kamu akan datang? Aku bertanya-tanya.

        Sebentar lagi. Itulah jawabanmu.

        Kapan sebentar lagi itu? Aku kembali bertanya.

        Aku pun tidak yakin. Tetapi yang kuyakini, waktunya sudah tidak lama lagi. Jawabmu.

        Aku menunggumu. Aku pasti akan menunggumu.

        Aku pun menunggumu dengan perasaan tidak sabar. Ingin rasanya aku cepat-cepat bertemu denganmu. Penantianku sudah terlalu lama dan melelahkan. Ada banyak saat dalam penantianku ketika aku merasa terlalu lelah untuk menunggu. Tetapi aku tidak bisa apa-apa. Yang dapat kulakukan hanyalah menunggu dan menunggu.

        Aku selalu tersenyum ketika membayangkanmu. Membayangkan bentuk wajahmu, matamu, hidung, dan juga jari-jarimu. Uuuh... Tidak sabar rasanya. Aku ingin segera bertemu dan memelukmu.

        Ada banyak cerita yang ingin kubagikan padamu. Tahukah kamu bahwa aku sudah lebih mahir menjahit sekarang. Aku sudah dapat membuat pakaian dengan pola sederhana saat ini. Tidak sabar rasanya aku melihat kamu mengenakan baju dan celana buatanku. Kamu ingat dengan semak mawar yang tidak mau berbunga itu? Minggu lalu kuncup-kuncup mawarnya mulai bermunculan. Aku tidak sabar memperlihatkannya padamu.

        “Tania, kamu sedang apa?”

        “Oh, Ibu. Tidak sedang apa-apa kok." kedatangan ibu membuyarkan lamunanku. "Hanya tiduran saja.”

        Ibu tersenyum. “Kau sudah tidak sabar dengan kedatangannya yah?”

        Aku tersipu. “Tentu saja, Bu. Aku tidak sabar. Sudah lama aku menantinya.”

        “Ya sudah. Kamu tidur deh. Sudah malam. Tidak baik buat kesehatanmu kalau tidur terlalu malam.”

        Aku mengangguk. “Iya Bu. Ibu juga tidur deh. Selamat malam Ibu. Mimpi indah.”

        Ibuku mengangguk. “Iya. Selamat malam.” katanya lalu menutup pintu.

        Kupejamkan mataku dan perlahan-lahan aku terbuai menuju pulau mimpi. Di sana aku bertemu denganmu. Wajahmu terlihat begitu tampan. Aku memeluk erat dirimu dengan perasaan yang bahagia. Kuberikan senyumku yang terbaik padamu. Sebuah senyum yang dipenuhi kebahagiaan. Kebahagiaan yang muncul sebagai jawaban atas sebuah penantian panjang. Kau pun tersenyum padaku, memuaskan dahagaku yang telah lama menanti kedatanganmu. Wajahmu bukan hanya terlihat tampan, wajahmu juga terlihat lucu. Ya, lucu. Sebuah wajah yang selalu terbayang-bayang di pikiranku. Suaramu terdengar begitu menawan di telingaku. Suara yang selalu ingin kudengar. Kudekatkan wajahku padamu, hendak menciummu, tetapi tiba-tiba saja aku terbangun dan mimpi indahku itu buyar sudah. Ah, padahal sedikit lagi bibirku akan menyentuh pipimu.

        Aku duduk bersandarkan sebuah bantal, lalu mengelus perutku yang membesar.

        “Cepatlah datang anak manis. Ibu menunggumu di sini.”

        Dan kalau kau datang, aku akan memberikan sebuah senyum untukmu yang lucu.

  15. 30 Days Song Challenge: Day 21-25

    Friday, January 20, 2012

    Melanjutkan post 30 Days Song Challenge kemarin, hari ini saya akan menjawab tantangan hari 21 hingga hari 25. Here we go :)

    day 21 - a song that you listen to when you’re happy
    Walking On Sunshine - Katrina & The Waves. Lagunya upbeat dan membuat suasana senang bertambah senang :)



    day 22 - a song that you listen to when you’re sad
    Just Dance - Lady Gaga. Cocok untuk memperbaiki mood yang sedih :)



    day 23 - a song that you want to play at your wedding
    Endless Love - Diana Ross feat. Lionel Richie. A very romantic song...



    day 24 - a song that you want to play at your funeral
    Thank You For Being A Friend - Andrew Gold. Pertama dengar lagunya pas nonton "Golden Girl" di VisionComedy. Love the song and the show :). Sayang Andrew Gold meninggal di 2011 :(



    day 25 - a song that makes you laugh
     Jangan Ganggu Banci - Project Pop. Saya selalu suka sama Project Pop. Lagunya lucu-lucu :))


  16.     Hendra kenal Nikita lewat salah seorang temannya. Saat itu dia adalah mahasiswa baru di universitasny, sementara Niki adalah mahasiswi baru di universitas lain. Mereka bertemu di pesta ulang tahun teman Hendra itu. Hendra langsung jatuh cinta pada pandangan pertama pada Niki.

        Setelah pertemuan itu, Hendra gencar mendekati Niki. Pria itu rajin meng-SMS dan mengajak Niki bertemu. Setelah 8 bulan penuh pendekatan, Hendra memberanikan diri untuk meminta Niki menjadi pacarnya dan Niki menerima permintaan itu.

        Hendra bahagia dapat menjadikan Niki sebagai pacarnya. Bukan saja karena Niki sangat cantik dan diincar oleh banyak lelaki, tetapi karena Hendra merasakan banyaknya persamaan di antara mereka. Misalkan saja hobi mereka di bidang sejarah. Keduanya sama-sama tertarik pada era Victoria di Inggris. Hendra tertarik pada bangunan-bangunannya yang bergaya gothic, sementara Niki lebih tertarik pada “romantisme” masa tersebut. Hendra tidak pernah mengerti apa yang Niki maksud dengan “romantisme” era itu.

        Semuanya terasa indah bagi Hendra, sampai dia mendengar gosip bahwa Niki diam-diam jalan dengan cowok lain. Cowok itu adalah Rudi, anak tungal pemilik PT. Major Food, perusahaan besar yang memproduksi berbagai jenis biskuit, makanan ringan, dan makanan siap saji. Hendra tidak percaya akan gosip ini, sampai dia melihatnya sendiri tadi sore.

        Tidak sengaja Hendra melihat Niki dan Rudi berjalan bergandengan tangan di sebuah pusat perbelanjaan. Niki tertawa-tawa senang sambil bergelayut manja di lengan Rudi. Hendra shock melihat hal ini, apalagi Niki tadi beralasan bahwa dia sedang masuk angin ketika Hendra mengajaknya jalan-jalan.

        Hendra berlari ke arah mereka dan memanggil Niki dari kejauhan.

        “Niki, tunggu!”

        Niki berbalik dan melihat ke arah Hendra yang berlari ke arahnya.

        “Niki, apa artinya ini?”

        “Nik, dia siapa?” tanya Rudi.

        “Gak tahu Mas.”

        “Niki, kamu kenapa? Ini aku, Hendra, pacarmu!”

        “Pria lusuh ini pacarmu?” tanya Rudi sambil mengamat-amati penampilan Hendra yang cenderung lusuh. Hendra sendiri memang bukan orang yang berada.

        “Bukan. Aku enggak kenal dia.”

        “Niki,” Hendra berusaha menarik tangan Niki.

        “Lepasin!” Niki menumpahkan gelas plastik berisi ice lemon tea yang sedang diminumnya ke kepala Hendra. “Aku gak kenal sama kamu! Ayo Mas, kita pergi.” katanya sambil menggandeng Rudi menjauh.

        Hendra hanya dapat terpaku menerima perlakuan seperti itu. Hatinya sakit. Gadis yang begitu dicintainya memperlakukannya seperti ini di hadapan orang banyak. Dengan kepala tertunduk Hendra pergi dari tempat itu.

        Hujan mulai turun ketika gelapnya malam mulai menguasai langit. Hendra berjalan gontai dengan mata yang lesu tanpa cahaya, seperti mata orang mati. Dia melangkahkan kakinya menyusuri jalanan yang sepi menuju rumah Niki. Ketika sampai di dekat rumah Niki, dia melihat gadis itu baru saja hendak membuka pagar rumahnya.

        “Nik, Niki.”

        Niki menoleh, lalu menjerit.

        “Niki, inilah aku tanpamu. Jangan tinggalkan aku.”

        “Tidak! Kau, kau sudah mati! Jangan mendekat!” Niki gemetar melihat Hendra yang wajahnya hancur dan perutnya menganga terbuka. Kakinya terasa lemas melihat Hendra yang didengarnya meninggal 1 jam yang lalu karena tertabrak truk kini berjalan ke arahnya.

        “Jangan tinggalkan aku..”

        “Maafkan aku! Maafkan aku!”

        “Kau tega Niki! Kau harus ikut denganku!” Hendra melompat maju menerjang Niki, lalu menggigit lehernya.

        “Tidaaaaakkk!!!!!”

    Sebuah lolongan panjang yang mengerikan terdengar bercampur dengan pekikan hujan pada malam itu.

  17. 30 Days Song Challenge

    Thursday, January 19, 2012

    Pas iseng lihat posting lama saya di blog ini, saya ketemu sama program 30 Days Song Challenge yang pernah kuikuti. Kayaknya sih waktu itu sudah berhasil menyelesaikan program ini, tapi di postingan blog saya hanya ada sampai hari ke-16 saja. Jadi, setelah lewat hampir 8 bulan, saya memutuskan untuk kembali melanjutkan program ini. Mungkin agak kejar tayang sih. Jadi tidak 1 hari 1 lagu, tapi langsung beberapa lagu dalam 1 hari. :))

    Kita lanjut yah...

    day 17 - a song that you hear often on the radio
    Hm... Berhubung saya tidak bisa ingat kapan terakhir kali saya mendengar radio, maka untuk yang satu ini saya tidak punya jawabannya :)

    day 18 - a song that you wish you heard on the radio
    Kalau yang ini, pilihan saya jatuh ke lagu "Super Bass" dari Nicki Minaj. Love the song, not really into Minaj's hair though..




    day 19 - a song from your favorite album
    Break Away dari album berjudul sama oleh penyanyi Kelly Clarkson :)) (salah satu album terfavorit sepanjang masa bagi saya)



    day 20 - a song that you listen to when you’re angry
    Er... Saya pilih lagu ini. It explains it all :))



    Sisanya dilanjutin besok yah :)

  18. 17 Januari 2012

        Lala memeluk erat tubuh lelaki yang tidur di sampingnya. Kedua lengannya melingkari pinggang lelaki itu dengan erat. Mentari pagi mulai menyusup masuk lewat celah-celah gorden, menusuk-nusuk mata Lala dengan sinarnya. Perlahan kedua matanya mulai membuka karena merasakan silaunya mentari.

        Dalam pandangan yang masih kabur, Lala tersenyum ketika melihat lelaki yang tidur di sampingnya. Dia mengecup pelan bibir lelaki itu dan perlahan lelaki itu membuka matanya.

        “Selamat pagi.” kata Lala sambl tersenyum.

        “Pagi sayang.” kata lelaki itu sambil mengecup kening Lala.

        Lala merapatkan pelukannya pada lelaki itu.

        “Hm.. Pagi-pagi sudah manja.” kata lelaki itu sambil membelai rambut Lala.

        “Memangnya Mas Yanto gak suka kalau aku manja?”

        Lelaki bernama Yanto itu tersenyum. “Suka dong.” katanya lalu kembali mengecup kening Lala.

        Yanto kemudian melepaskan pelukannya, lalu berjalan ke arah jendela dan membuka gorden yang sedari tadi menutup jendela kamar. Dia meregangkan tubuh-tubuhnya yang terasa kaku sehabis tidur.

        “Mas siap-siap ke kantor deh. Sudah setengah tujuh tuh.”

        Yanto mengangguk lalu berjalan menuju pintu kamar. Sebelum mencapai pintu, dia berhenti lalu mengecup lembut bibir Lala.

        “Aku akan rindu padamu sepanjang hari ini.” kata Yanto.

        Lala tersenyum. “Gombal. Sana siap-siap.” katanya sambil tersenyum.

    18 Januari 2012

        Lala terbangun karena mendengar suara pintu dibuka. Malas-malasan dia turun dari ranjang dan berjalan ke arah sumber keributan.

        “Selamat pagi! Kau sudah bangun rupanya.”

        “Duh... Mas Harry ini pagi-pagi udah bikin ribut deh.”

        Harry tersenyum. “Sorry, sorry. Aku semangat banget hari ini. Soalnya mau ada presentasi dengan seorang klien besar dan aku yakin bisa memenangkan tender dari klien itu. Kalau aku menang nanti, aku bakal traktir kamu di restoran Itali favoritmu.”

        Lala hanya dapat geleng-geleng melihat ulah Harry yang sibuk sendiri. “Iya, janji yah. Tapi sebelum pergi, itu dasinya miring.” Lala kemudian memperbaiki letak dasi Harry yang tidak sempurna.

        “Thanks yah, Say. Aku pergi dulu” Harry lantas mengecup pipi Lala, kemudian pergi bekerja dengan langkah bersemangat. Lala hanya dapat tersenyum melihat ulahnya.

    19 Januari 2012

        “Ayo bangun! Dasar perempuan malas!”

        Lala terkejut ketika tubuhnya ditarik bangun dari ranjang dengan kasar. Matanya masih setengah terpejam dan pikirannya belum terfokus benar.

        “Mas, apa-apan ini?”

        Sebuah tamparan mengenai pipinya sebagai jawaban.

        “Pemalas! Suaminya sudah bangun, bukannya bangun dan menyiapkan sarapan lalu melepas suami pergi, malah enak-enakan tidur. Dasar pemalas!” kembali sebuah tamparan melayang di pipi Lala. Keseimbangan gadis itu goyah dan dia jatuh terduduk di lantai. Pipinya memerah dan terasa pedas.

        “Mas Didi, kamu ini apa-apaan!?”

        “Diam! Pokoknya aku mau rumah ini sudah bersih dan makanan telah siap ketika aku pulang kerja nanti. Paham!?” Didi kemudian pergi dengan membanting pintu keras-keras.

        “Aku benci kamu hari ini, Mas!”

        Lala menangis sambil memegangi pipinya yang terasa sakit. Inilah resikonya menikahi seorang pria berkepribadian ganda. Satu hari dia dapat menjadi Yanto yang lembut. Di hari lain dia adalah Harry yang bersemangat. Di waktu berikutnya dia menjadi Didi yang keras dan otoriter. Masih banyak lagi wajah pria yang dinikahinya 3 tahun yang lalu itu. Lala hanya berharap hari ini segera berakhir dan besok dia dapat terbangun dengan salah satu kepribadian suaminya yang dia sukai.

  19. Sepucuk Surat (Bukan) Dariku

    Wednesday, January 18, 2012

       Anwar membolak-balikkan amplop di tangannya. Dia bingung bagaimana amplop itu bisa berada di dalam tasnya. Sebuah amplop putih yang di atasnya tertulis “Untuk Anwar.”. Tidak ada apa-apa lagi yang tertulis di amplop itu, nama pengirimnya saja tidak ada. Anwar membuka amplop itu dan membuka lipatan kertas yang ada di dalamnya.

        Untuk Anwar,
        Sudah lama aku melihatmu dari jauh, Semakin lama rasa di dalam dadaku ini tidak dapat terbendung lagi. Setiap kali aku melihatmu, dadaku selalu terasa berdebar-debar. Aku tidak dapat menahannya lagi. Aku ingin bilang bahwa selama ini sebenarnya aku suka padamu. Kuharap kau tidak marah karena aku diam-diam memasukkan surat ini ke dalam tasmu.


        Anwar hanya bisa bengong membaca surat itu.
    --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
        “Ada yang masukin surat cinta ke dalam tasmu?” kata Sandi, teman kuliah Anwar.

        Anwar mengangguk. “Iya. Aku kaget tiba-tiba saja surat itu sudah ada dalam tasku.”

        “Kau banyak fans juga ternyata.”

        “Aku heran, siapa sih yang masukin surat itu? Bikin penasaran aja.”

        “Si Belladonna kali yang ngirim surat itu.” kata Sandi sambil tertawa. Belladonna adalah nama hantu penunggu kampus.

        “Hus! Ngaco!”

        “Mana suratnya? Coba kulihat.” kata Chika yang dari tadi diam saja.

        Chika mengambil surat itu dari dalam amplop lalu mulai membacanya.

        “Tunggu.” Chika lalu mulai mencium bau surat itu. “Kayaknya aku kenal baunya. Oh iya, ini kan bau parfum jasmine yang sering dipakai sama si Rina.”

        “Rina? Teman kamu itu? Yang beken itu?” kata Anwar tidak percaya.

        “Iya. Rina yang itu.”

        Pucuk dicinta ulam pun tiba! Anwar sebenarnya sudah lama suka pada Rina. Hanya saja Rina begitu populer di kampus, dia jadi takut untuk mendekatinya. Apalagi yang mendekatinya banyak dan dari golongan “kelas berat”. Dari si Reyhan yang ketua senat, sampai si Imran yang anak pejabat. Anwar yang cuma anak penjual bakso itu merasa bukan tandingan mereka.

        “Kamu yakin ini punya Rina?” tanya Anwar lagi.

        “Yakin! Wong dia sering pakai parfum ini ke kampus kok.”

        “Wah... Selamat ya War,” kata Sandi sambil menepuk punggung Anwar. “Kamu mesti traktir kita-kita kalau udah jadian sama si Rina.”

        Anwar tersipu malu. Rina, Rina, mestinya kamu bilang langsung sama aku. Aku juga suka sama kamu kok.   
     
        Besoknya Anwar menunggui Rina selesai kuliah. Waktu telah menunjukkan pukul 19.30 ketika akhirnya kelas Rina bubar.

        “Rin, boleh bicara sebentar?”

        “Eh, Anwar.. Mau bicara apa?”

        Suasana terasa sepi. Teman-teman Rina sudah buru-buru pulang, meninggalkan mereka berdua di depan kelas.

        “Aku sudah baca suratmu Rin. Aku juga su...”

        “Surat? Surat apa?”

        “Eng, surat itu...”

        “Surat itu apa? Kamu bicara apa sih War?”

        “Surat ini.”

        Rina mengambil surat yang Anwar berikan, lalu membacanya. Keningnya berkerut. “Ini bukan aku yang tulis kok. Lagian kan gak ada nama pengirimnya. Kok kamu bisa pikir ini aku yang kirim sih? Sepucuk surat ini bukan dariku.”

        Anwar merasakan wajahnya memerah. “Kalau bukan kamu, siapa dong?”

        “Aku yang menulisnya.”

        “Oh jadi ka... Waaaa!!!”

        “Kyaaa!!!”

        Anwar dan Rina lari terpontang-panting ketika melihat sumber suara itu.

        “Be... Belladonna!!!”

        “Anwar! Tunggu!”

        Keduanya lari tanpa mempedulikan panggilan hantu penunggu kampus yang mukanya hancur sebelah itu. Di belakang mereka terdengar tangisan pilu Belladonna yang terus-terusan memanggil nama Anwar.

  20. Apartemen Lantai 7Apartemen Lantai 7 by V. Lestari

    My rating: 2 of 5 stars


    Pas baca sinopsisnya, saya langsung berpikir, "Wah, kelihatannya buku ini menjanjikan." Ide ceritanya sendiri sudah bagus. Cerita khas detektif ala Agatha Christie. Tapi sayang, penuturan V.Lestari kurang menggigit dan membuat saya bosan di tengah jalan. Rasanya terlalu bertele-tele dan malah membuat bingung. Akhirnya, baru memasuki halaman 300an, saya menyerah dan langsung baca bab penyelesaiannya :))



    SUDAH GITU.... penyelesaiannya terasa GAK BANGET (baca pake irama lebay). Poin utama kekurangannya terletak di motif. Motif si pelaku tidak jelas dan usaha terbaik menjelaskan motif si pelaku hanyalah karena masalah dorongan semata. What the... Big big minus.



    Secara keseluruhan, novel ini memiliki awal yang cukup menarik, hanya saja menjadi berbelit-belit di tengah dan ditutup dengan payah..









    View all my reviews

  21.     Benar. Itu kau! Berjalan sambil menggandeng seorang wanita yang tertawa mendengarkan hal lucu apa pun yang baru saja keluar dari bibirmu. Kulihat kalian berdua begitu bahagia, berjalan tertawa-tawa sambil bergandengan tangan. Kukepalkan erat kedua tanganku, berusaha untuk menahan rasa kesal. Kupukul kuat-kuat pegangan besi pembatas itu dengan rasa marah yang berkecamuk di dalam hati. Orang-orang di sekitarku sampai kaget dan mencuri-curi lihat ke arahku, tapi aku tidak perduli.

        Kuikuti kalian berdua turun dengan eskalator. Kujaga jarakku sejauh mungkin,  sehingga keberadaanku tidak kalian sadari. Mereka berbelok ke salah satu sudut dan aku menunggu beberapa saat sebelum aku ikut berbelok di sudut itu. Kulihat kalian masuk ke salah satu toko dengan kebahagiaan terlukis di wajah wanita itu.

        Aku mendekat ke sebuah stand roti yang berada di dekat toko yang baru saja kalian masuki dan berpura-pura memilih roti sambil mencuri lihat ke dalam toko itu. Ternyata yang kalian masuki adalah sebuah toko perhiasan. Kulihat kau memasangkan sebuah cincin di jari manis wanita itu, lalu mengalungkan sebuah kalung emas yang indah di lehernya, dan wanita itu pun sumringah. Wanita berambut panjang itu lalu mengecup pipimu.

        Jalang! batinku. Menjauh darinya! Dia milikku!

        Rasa marah di dalam hatiku memuncak. Aku berjalan ke arah toko itu, hendak mendamprat si jalang yang kini bergelayut mesra di lenganmu. Lengan priaku! Semeter, sisa semeter lagi dan aku akan bisa mendamprat si jalang itu. Menarik rambutnya hingga rontok semua dan menjadikannya pelajaran agar dia tidak pernah mendekatimu lagi.

        Kemudian aku melihat ke dalam matamu, dan langkahku terhenti. Benar. Ada dia di  matamu. Selama ini pun begitu kan? Selalu ada dia di matamu. Perlahan aku mundur dari tempatku berdiri.

        Kalau saja, kalau saja aku punya hak untuk mendamprat wanita jalang itu. Tidak, bukan dia. Aku, akulah yang jalang. Selama ini kau bukanlah milikku. Tidak pernah milikku. Aku pun berjalan menjauh dari tempat itu.

        Orang bilang bahwa kita tidak boleh menyesali apa pun dalam hidup kita, tapi aku tidak bisa begitu. Ada 2 hal yang kusesali di dalam hidupku. Yang pertama, aku bukanlah orang yang dilahirkan dari tulang rusukmu. Aku tidak dilahirkan untuk menjadi pasanganmu. Yang kedua, aku menyesal bahwa aku juga dilahirkan sebagai seorang pria. Sama seperti dirimu.

  22. Jadilah Milikku, Mau?

    Monday, January 16, 2012

        Aku selalu melihat anak laki-laki itu melintas di depan toko pada waktu yang sama. Pukul 4 sore, setiap hari Senin-Jumat. Tidak pernah sekali pun dia absen lewat di depan tokoku. Dia selalu mengenakan sebuah kemeja lengan pendek dan celana panjang serta memanggul sebuah tas di punggungnya. Terkadang dia juga lewat di depan tokoku pada akhir pekan. Pada akhir pekan dia akan mengenakan pakaian yang lebih santai. Biasanya sebuah T-shirt dengan celana pendek dan sendal. Hanya sebatas itu saja yang kuketahui tentang dia. Aku tidak tahu siapa namanya, berapa umurnya, atau di mana tempat tinggalnya. Hubunganku dengannya hanyalah sebatas melihat dan dilihat lewat sebuah etalase toko yang transparan.

        Dia tahu tentang keberadaanku. Sore itu dia berjalan di emperan pertokoan seperti biasanya. Dia berhenti sejenak di depan tokoku untuk mengikat tali sepatunya. Setelah selesai, dia menoleh ke dalam toko dan matanya bertemu dengan mataku. Tatapan kami beradu selama beberapa saat dan dia tersenyum padaku. Dalam waktu yang singkat itulah, dia telah menguasai pikiranku. Selalu berada di dalam benakku. Aku selalu ingin bertemu dengannya. Sejak itu pukul 4 sore selalu menjadi waktu yang kunanti-nantikan.

        Sejak kontak mata yang terjadi di antara kami beberapa bulan yang lalu itu, hampir setiap hari dia berhenti di depan tokoku. Dia akan berhenti dan berdiri diam di depan toko, menatapku, lalu tersenyum. Ah, kenapa kau tersenyum padaku? Apakah senyum itu memang untukku? Ataukah aku terlalu Ge-eR sampai mengira senyuman itu kau berikan padaku, padahal sebenarnya bukan?

        Beberapa kali aku mengundangmu masuk ke dalam toko, tapi kamu selalu hanya menjawabnya dengan sebuah senyuman manis, lalu berlalu. Hatiku selalu merasa kecewa. Kenapa kamu tidak mau masuk barang sebentar saja? Padahal aku ingin melihatmu lebih dekat. Menghilangkan etalase yang berada di antara kita berdua.

        Hari ini sama seperti hari-hari sebelumnya. Dengan setia aku menunggumu lewat di depan toko. Jam kukuk di toko telah berbunyi 4 kali. Sebentar lagi kamu akan lewat. Aku menantikanmu dengan perasaan berdebar dan tidak sabar. Tidak sedetik pun kualihkan mataku dari jalanan di depan toko, menantikan bayanganmu.

        Setengah jam telah berlalu. Kenapa kamu belum lewat juga? Ah, mungkin kamu ada urusan sehingga pulang sedikit lebih lambat. Kembali aku menunggumu sambil melamun, melihat hujan yang mulai turun. Satu jam, dua jam, bahkan tiga jam telah berlalu. Langit telah gelap dan lampu-lampu jalan telah dinyalakan. Tidak ada tanda-tanda kehadiranmu sama sekali. Ada apa? Kenapa hari ini kamu tidak lewat di depan toko? Aku menjadi gelisah ketika toko ditutup dan aku tidak melihatmu sama sekali hari ini.

        Keesokan harinya aku kembali menunggumu dengan sabar. Berharap waktu berputar lebih cepat dan jam 4 segera datang. Tetapi hari ini pun kamu tidak lewat. Kenapa? Apa yang terjadi? Kamu baik-baik saja kan?

        Satu minggu telah berlalu dan kau sama sekali tidak lewat. Aku menjadi sedih dan merasa putus asa. Mungkinkah aku tidak dapat bertemu denganmu lagi? Aku terkejut ketika pintu toko terbuka dan kulihat kamu berjalan masuk. Kamu berbicara sebentar dengan si kasir, lalu berjalan ke arahku.

        “Jadilah milikku, mau?”

        Aku menggonggong bahagia dan melompat ke dalam pelukanmu.

  23. Aku Maunya Kamu. Titik!

    Sunday, January 15, 2012

        Kalau ada yang melihat kondisi Sunny saat ini, maka sudah pasti dia akan diklaim gila. Rambutnya acak-acakan, wajahnya terlihat lusuh, dan sudah hampir setengah jam dia putar-putar mengelilingi kamarnya. Tapi Sunny tidak gila. Dia hanya sedang pusing memikirkan suatu persoalan saja. 

        Persoalannya sederhana saja. Ulang tahun Gita, kekasihnya, sudah semakin mendekat, dan kado yang diminta oleh Gita sebagai hadiah ulang tahunnya dirasa Sunny terlalu berat untuk dipenuhinya.

        “Duh... Gita, Gita. Minta hadiah kok susah amat sih untuk kupenuhi.” keluh Sunny.

        Pintu kamar tiba-tiba terbuka dan Nando, sahabat Sunny, masuk tanpa permisi.

        “Hey Bro. Kenapa lo? Mukanya kusut amat.”

        “Duh, Nando, kamu ini bener-bener slonong boy deh. Masuk ke kamarku itu ketuk pintu dulu kek, main nyelonong masuk aja.”

        “He he he. Sorry Bro. Kebiasaan.”

        “Nyelonong masuk kamar orang kok dibiasain.” cibir Sunny.

        “Udah deh. Daripada itu, lo kenapa sih? Mukanya kusut amat?”

        “Aku lagi pusing nih. Mikirin kado yang diminta sama Gita. Mana ulang tahunnya besok lagi.”

        “Huakakakakaka. Jadi soal itu?”

        “Ye... Malah ketawa. Ini serius, tahu.”

        “Iya, iya. Yah... Tinggal dikasih aja apa yang Gita minta. Beres kan?”

        “Ngomong seenak udelmu. Kamu kira yang Gita minta gampang apa?”

        Nando hanya tersenyum. “Kalau enggak coba kamu bicara lagi sama Gita. Siapa tahu dia berubah pikiran.”

        “Hm... Rasanya gak mungkin sih. Tapi nanti aku coba lagi deh bicara sama dia.” kata Sunny murung.

        “Nah, gitu dong Bro. Gak usah pakai acara galau kali.”

                                                                      * * *

         Keesokan harinya,

        “Gak mau! Pokoknya aku gak mau kalau yang lain!”

        Sunny hanya geleng-geleng kepala. Pacarnya yang satu ini memang keras kepala. Kalau sudah mau sesuatu, pasti dia tidak akan mau merubah pikirannya.

        “Duh... Git, please lah. Minta yang lain aja. Jangan yang itu. Masa kamu tega sih sama aku?”

        “Mas Sunny kan dulu bilang bakal kasih Gita apa aja yang Gita minta. Sekarang malah bilang kalau Mas enggak bisa. Mas Sunny enggak sayang sama Gita! Mas Sunny gak bener-bener cinta sama Gita!”

         Sunny kelabakan. “Duh, bukan gitu. Aku sayang sama kamu Git. Aku cinta sama kamu. Suer deh. Tapi kadonya jangan yang itu dong. Please... Aku kasih punya orang lain aja gimana?”

        “Gak mau! Aku maunya kamu! Titik! Kalau enggak lebih baik kita putus!”

         Sunny menundukkan kepalanya. Dia tidak mau putus dari Gita. Kalau sudah begini, tidak ada jalan lain. “Ya deh. Aku kasih punyaku.”

         “Bener, Mas?” tanya Gita riang. “Kalau gitu mana?”

          Sunny mencopot sebelah kakinya dan memberikannya kepada Gita.

          “Aduh, Mas Sunny. Makasih banyak. Gita sekarang yakin kalau Mas tuh beneran sayang sama Gita.” kata Gita lalu mengecup pipi Sunny. Kaki Sunny dipeluknya erat-erat.

          Sunny kembali menggeleng-gelengkan kepalanya.

          Duh, bisa-bisa heboh gara-gara ada pocong berkaki 1. Memang susah pacaran sama kuntilanak ababil!

  24. Kamu Manis, Kataku

    Saturday, January 14, 2012

        Pertama kali aku melihat gadis itu adalah pada hari Senin tanggal 9 Januari yang lalu. Dia sedang duduk di sudut café tempatku biasa nongkrong. Gadis itu memiliki rambut panjang yang dibiarkannya tergerai begitu saja, wajahnya oval, dan hidungnya mancung. Dia mengenakan sebuah T-shirt putih yang dipadukannya dengan celana jeans berwarna washed blue.

        Gadis itu duduk di sana selama 30 menit. Selama 30 menit itu jugalah aku berusaha mengumpulkan keberanianku untuk menyapanya, tetapi keberanianku tidak pernah berhasil terkumpul. Aku hanya dapat memandanginya keluar dari pintu café dengan perasaan marah pada diriku sendiri.

        Keesokan harinya aku kembali pada waktu yang sama, berharap gadis itu akan kembali duduk di sudut yang sama. Sayang, setelah lama kutunggu, gadis itu tidak pernah muncul. Aku pulang dan menyalahkan diriku sendiri. Kenapa aku tidak berusaha mengajaknya berkenalan waktu itu? Kini, belum tentu aku bisa bertemu lagi dengannya.

        Aku tidak putus harapan. Aku kembali ke café itu hari berikutnya dan hari berikutnya lagi. Terus begitu selama 5 hari berturut-turut sebelum akhirnya aku dapat melihatnya lagi.

        Dia masuk dan membuat bel pintu café berbunyi. Dia berjalan melewati mejaku dan memilih untuk duduk di sudut yang sama tempat pertama kali aku melihatnya. Hari ini dia terlihat begitu cantik dengan kaus garis-garis dan celana ¾ berwarna merah.

        “Mas, aku pesan cheese cake dan teh herbalnya 1 ya.”

        Ah, begitu merdu suaranya.

        Ayo Randy. Kamu bisa. Ajak dia bicara. Cukup katakan “Hai, kamu manis. Bolehkah aku berkenalan denganmu?”

        Kuseruput teh hijauku, berusaha menenangkan diri. Kulihat pelayan membawa pesanan gadis itu dan dia tersenyum berterima kasih. Senyumnya begitu menawan.

        Ayo Randy. Satu kalimat, satu kalimat saja.

        Kupanggil pelayan yang tadi melayani gadis itu dan kubisikkan permintaanku padanya. Dia mengangguk dan segera pergi untuk melakukan permintaanku.

        Gadis itu menoleh ke arahku ketika pelayan membawakan chocolate cake pesananku, lalu memberitahukan bahwa akulah yang mengirimkan kue itu padanya. Gadis itu tersenyum padaku.

        Dengan seluruh keberanianku, yang akhirnya berhasil kukumpulkan juga, aku berjalan ke mejanya.

        Ayo Randy, katakan. Katakan sekarang.

        Aku berdiri di samping mejanya dengan perasaan deg-degan dan mulai membuka mulutku.

       “Kamu manis,” kataku. “Bolehkah aku berkenalan denganmu?”

        Gadis itu tersenyum, dan aku menanti jawaban yang akan keluar dari bibirnya.


  25. Dag Dig Dug

    Friday, January 13, 2012

    Saskia menyeka peluh yang berada di keningnya lalu menoleh ke jam dinding besar yang berada di atas lemari es.

    Sudah pukul 5.

    Dia kembali mengaduk isi panci yang ada di hadapannya. Masakannya harus selesai sebelum suaminya sampai di rumah. Mas Tri, suaminya, tidak suka kalau makanan belum siap ketika dia sampai di rumah dan kalau sampai makanan belum terhidang, wah jangan tanya. Bisa-bisa tubuh Saskia lebam-lebam dan darah mengalir dari bibirnya. Pernah Saskia minta cerai dari suaminya, tapi dia malah dipukul dan disekap di rumah selama 3 hari. Sejak itu dia tidak berani lagi untuk membicarakan perceraian.

    Dag! Dig! Dug!

    Saskia menoleh ke kanan, kiri, lalu ke belakangnya, memastikan tidak ada yang melihatnya. Suatu hal yang tidak perlu sebenarnya karena dia saat ini sendirian di rumah dan dapurnya berada di tempat yang tidak mungkin dapat dilihat oleh orang dari luar rumah. Dia berjalan menuju lemari paling ujung kiri, membuka lemari yang berada di atas kepalanya, lalu berjinjit menggapai-gapaikan tangannya ke bagian terdalam lemari itu. Sebuah botol kaca ditariknya keluar dari dalam lemari itu. Dia memegang botol kaca itu dengan tangan gemetaran.

    Tangannya tidak dapat berhenti gemetar. Kembali dia celingukan untuk memastikan tidak ada orang yang melihatnya memegang benda itu. Saskia tahu persis apa isi botol kaca itu dan apa yang dapat diperbuat isinya. Isinya adalah potasium sianida dan dapat digunakannya untuk membunuh suaminya.

    Tuangkan saja isinya ke dalam sup itu Saskia, dan kau akan bebas. Bebas!

    Tapi dia suamiku.

    Apa orang yang sering memukul dan menyiksamu pantas kau sebut suamimu?


    Tapi ini dosa.

    Dosa? Dosa apa? Yang kau lakukan hanyalah merebut kembali kebebasanmu. Para pejuang Indonesia juga dulu membunuh para penjajah untuk memperoleh kebebasan negeri ini. Sama saja kan.

    Tapi ini berarti aku menghilangkan sebuah nyawa.

    Setiap hari ada ribuan bahkan jutaan nyawa yang hilang, Saskia. Kalau bertambah satu apalah artinya?

    Jadi aku harus membunuhnya?

    Bunuh! Bunuh dia Saskia!

    Baiklah. Aku akan membunuhnya.

    Tutup botol itu Saskia putar hingga terbuka. Dengan langkah bergetar didekatinya panci berisi sup ayam yang sedang dimasaknya. Semeter lagi. Semeter lagi menuju kebebasanku. Dituangkannya seluruh isi botol itu lalu diaduknya sup itu perlahan. Sebuah senyum terulas di wajahnya.

    Kriinnggg!!

    Saskia mengangkat telepon itu.

    “Halo, selamat sore.”

    “Sas, ini Mas Tri. Hari ini aku tidak pulang ke rumah yah. Tiba-tiba aku harus pergi ke Bandung karena pabrik di sana ada masalah. Aku baru pulang 3 hari lagi. Kamu jaga diri baik-baik yah.”

    Klik. Telepon diputus.

    Saskia menutup telepon. Dia termangu.

    Kau boleh bebas hari ini Triharjo Sunajaya. Tapi 3 hari lagi, 3 hari lagi kau pasti akan mati!

  26. Halo, Siapa Namamu?

    Thursday, January 12, 2012



    12 Januari 1991
     
                “Halo, siapa namamu?”
                Suara itu mengejutkanku. Aku menoleh ke sumber suara itu dan kulihat seorang anak laki-laki seumuranku tengah menatapku lekat-lekat dari pagar rumahnya. Aku tersenyum padanya dan membalas. “Namaku Nita Suprapto. Siapa namamu?”
                “Aku Andi Kusmana. Kamu penghuni baru rumah ini?”
                Aku mengangguk. Anak itu keluar dari pekarangan rumahnya dan berlari ke arahku.
                “Dan dia? Siapa namanya?” tanyanya menunjuk boneka beruang dalam dekapanku.
                “Neni. Namanya Neni.”
                “Halo Nita dan Neni. Senang berkenalan dengan kalian. Kalian mau pergi bermain di lapangan dekat sini?”
                Aku mengangguk dan segera berlari mengikutinya.

    18 Juli 2003

                “Halo, siapa namamu?”
                Suara berat itu membuyarkan lamunanku. Aku mendongak dan melihat sebuah wajah yang rasanya begitu aku kenal. “Andi? Kamu Andi kan?”
                Pria itu tersenyum dan duduk di kursi di depanku.
                “Syukurlah. Kamu ternyata masih ingat padaku, Nit.”
                Aku tersipu. Bagaimana mungkin aku bisa lupa padanya?
                “Sudah berapa lama kita tidak bertemu? Sepuluh tahun?” tanya Andi.
                “Tahun ini 12 tahun.”
                “Dua belas tahun!? Begitu cepat waktu berlalu. Bagaimana kabarmu dan Neni?”
                Ah, dia masih ingat pada Neni rupanya. “Aku baik. Neni sudah lama terbawa arus sungai di pedalaman Kalimantan.”
                Andi mengangguk. “Aku tidak pernah lupa padamu selama 12 tahun ini. Padahal aku mengenalmu hanya selama 7 bulan sebelum kamu pindah ikut Ayahmu ke Kalimantan.”
                Aku rasakan darah mengalir ke wajahku. Tujuh bulan yang penuh kebahagiaan

    19 Oktober 2008

                Kurasakan ranjang yang empuk beradu dengan punggungku. Aku tertawa bahagia. Hari ini adalah hari yang paling bahagia dalam hidupku. Aku tersenyum pada pria yang baru saja melemparkan diriku ke atas ranjang.
                “Halo, siapa namamu?” tanyanya.
                “Namaku Nita. Nita Kusmana.”
                Andi memberikan sebuah ciuman panjang yang hangat di bibirku dan mulai membelai rambutku. Malam ini adalah malam terindah dalam hidupku.

    11 April 2011

                “Dorong! Dorong terus, Bu!”
                “Fuh! Fuh! Ini sudah kudorong Dok. Nghhhh...”
                “Tarik nafas lalu dorong lagi Bu. Sedikit lagi. Ya, ya.”
                Oeeekkk!!!
                Ah, bunyi itu. Bunyi tangisan yang begitu indah. Musik terindah yang pernah kudengar.
                “Selamat, Bu. Bayinya laki-laki.”
                “Kemarikan bayinya, Dok. Aku ingin menggendongnya.”
                Kuterima bayi mungil itu dalam dekapanku. Betapa kecilnya. Betapa manis dan mempesonanya.
                “Terima kasih Nit. Kamu sudah berjuang keras.”
                Sebuah kecupan mendarat di keningku. Kupandangi Andi dan kulihat sinar kebahagiaan dalam matanya.
                “Halo anak manis, siapa namamu?”
                “Halo Ayah. Namaku Vincent Kusmana.”
                Dia tersenyum padaku dan kembali mengecup keningku, lalu kening anak kami.

    13 April 2070

                “Halo, siapa namamu?”
                Aku tersenyum pada lelaki yang duduk di atas kursi roda itu.
                “Namaku Nita Kusmana. Siapa namamu?”
                “Hai Nita. Aku Andi Kusmana. Kamu penghuni baru rumah ini?”
                Perlahan kurasakan air mata mengalir di pipiku. Kudekap kepala pria itu. Pria tampan yang telah mengarungi waktu bersamaku. Mengisi tawa dan tangisku.
                “Bukan. Aku bukan penghuni baru di rumah ini.”
                Dia tersenyum padaku dan satu per satu kenangan mulai berhamburan di dalam ingatanku.