My rating: 1 of 5 stars
Kayaknya saya orang pertama yang kasih rating 1 di Goodreads buat buku "Biru Indigo" ini yah.
Sudah lama ngeliat buku ini dan sempat pengen beli pas acara Festival Buku Murahnya Gramedia beberapa bulan lalu, tapi niat itu saya urungkan. Jadinya malah beli 3 buku serial The Mediator-nya Meg Cabot :))
Pas ke tempat sewa buku tadi, mbak penjaganya bilang ada novel "baru". Walau "baru"nya mereka rata-rata novel lama yang dibeli pas diskonan, saya sih ho oh aja minta ditunjukin bukunya Eh, ternyata "Biru Indigo". Ya udah, saya pinjam.
Sinopsisnya sendiri mungkin saya copas dari blurbnya:
Tiga pribadi istimewa bertemu dalam sebuah tabrakan mobil. Elang, sang sopir taksi, melihat tubuh pemuda yang muncul tiba-tiba itu sebelum menghantam kaca mobilnya sebelum terlempar ke aspal. Amelia, sang penumpang, turun dari taksi dan menolong si pemuda. Sang pemuda yang tertabrak dan dipulihkan, Rikko, pun langsung bangun dan berlari, meskipun benaknya dipenuhi wajah perempuan yang menolongnya tadi.
Semenjak hari itu, hidup ketiganya tak sama lagi, peristiwa-peristiwa aneh datang silih berganti. Takdir pun kembali melintas dan mempertemukan mereka dalam situasi berbeda. Apakah mereka masih pribadi yang sama?
Dengan kecepatan maksimum, novel ini akan membuat Anda tak berkedip saat melaju menelusuri jejak ketiganya dan menemukan intrik, pembunuhan, kelompok rahasia, dunia paralel, dan aksi-aksi seru yang mengancam nyawa.
Dengan kecepatan maksimum, mungkin novel ini memang akan membuat saya tak berkedip. Tapi masalahnya kecepatan novel ini kayak cuma 10 km/jam. Lambat abis.
Masalahnya ada di multiple POV yang dikembangkan penulis. Ada terlalu banyak kejadian atau deskripsi yang diulang-ulang. Misalkan pada adegan pembuka ketika terjadi tabrakan. Adegan itu diceritakan dari 3 sudut pandang. Elang, si supir taksi, Amelia, sang penumpang yang punya kemampuan seorang healer, dan juga Rikko, si korban yang punya tubuh tahan banting.
Sebenarnya cukup menarik sih untuk melihat kejadian itu dari 3 POV yang terlibat langsung, cuma lama-lama gaya ini membuat saya bosan dan merasa pergerakan ceritanya lambat sekali. Ini faktor yang benar-benar jadi penghilang napsu (membaca) buat saya.
Selain itu adegan pembukanya juga rada bikin garuk-garuk kelapa. Jadi, taksi si Elang ini nabrak Rikko, yang tiba-tiba muncul di depan mobilnya. Ternyata tabrakan itu tidak terlalu berefek bagi Rikko. Ya, dia kena pecahan kaca. Ya, kakinya patah. Tapi dia, menurut pengakuan Rikko dan didukung narasi, nggak apa-apa. Amelia kemudian "membetulkan" kaki Rikko dan mengobati luka-luka Rikko dengan kemampuan penyembuhannya. Rikko yang sudah pulih lalu berdiri dan segera meninggalkan tempat itu. Orang-orang yang melihat kejadian itu pun kembali pada kesibukan masing-masing.
Hello, setelah menyaksikan tabrakan, seorang anak dengan ketahanan tubuh bak Superman, dan seorang gadis berkekuatan sihir, orang-orang yang melihat kejadian itu hanya melenggang pergi??? Gak ada kehebohan sama sekali? Ataukah kejadian seperti itu memang sudah jadi makanan sehari-hari orang-orang di daerah itu? Mengherankan.
Menyerah baca novel ini di sekitar halaman 100. I just don't have the patience to finish it.
View all my reviews
0 comments :
Post a Comment