My rating: 2 of 5 stars
Judul: Simon vs The Homosapiens Agenda
Penulis: Becky Albertalli
Penerbit: Penerbit Spring
Halaman: 324 halaman
Terbitan: Januari 2017
Gara-gara lupa me-logout akun E-mailnya, Simon tiba-tiba mendapatkan sebuah ancaman. Dia harus membantu Martin, si badut kelas, mendekati sahabatnya, Abby. Jika tidak, fakta bahwa dia gay akan menjadi urusan seluruh sekolah.
Parahnya lagi, identitas Blue, teman yang dia kenal via E-mail akan menjadi taruhannya.
Tiba-tiba saja, kehidupan SMA Simon yang berpusat pada sahabat-sahabat dan keluarganya menjadi kacau balau.
Review
Simon vs The Homosapiens Agenda bercerita tentang Simon, seorang murid SMA yang merupakan closeted gay. Suatu hari, gara-gara lupa keluar dari akun surelnya, orientasi seksual Simon ini ketahuan oleh Martin, salah seorang teman sekelasnya. Martin mengancam akan membeberkan tentang Blue, teman surel Simon, kecuali kalau Simon membantunya untuk mendekati Abby, salah seorang sahabat Simon.
Salah satu buku yang saya beli dengan alasan yang "langka". Saya kebetulan sudah tahu tentang novel ini karena sempat melihatnya beberapa kali di lini masa Goodreads saya. Beberapa orang teman saya memberikan rating 4-5 bintang untuk novel ini, tapi saya belum tergerak untuk mencoba novel debut Becky Albertalli ini. Sampai Penerbit Spring memperlihatkan kovernya. Saya langsung jatuh hati dengan kover ini dan memutuskan untuk membelinya waktu ada diskon ulang tahun penerbitnya bulan Januari 2017 lalu. Jarang-jarang loh saya beli buku karena suka sama kovernya :').
Akan ada bocoran cerita, tapi saya tidak akan membeberkan identitas Blue.
Ceritanya sendiri sangat manis. Khas novel remaja yang berkisah tentang tumbuh dewasa. Tokoh-tokohnya juga sangat normal. Tidak berlebihan dan tindakan-tindakannya bisa dimengerti. Saya suka dengan pertukaran surelnya Blue dan Simon. Manis dan mengingatkan pengalaman PDKT saya sendiri :)).
Sudah pasti menyebalkan karena heteroseks (dan kulit putih, ada kaitannya juga) adalah apa yang dianggap default. Dan juga hanya karena orang-orang yang meragukan identitas mereka--yang tidak cocok dengan cetakan standar--saja yang harus memikirkan hal itu. Orang heteroseks juga seharusnya mengumumkan orientasi seksual mereka, dan semakin canggung semakin baik. Kecanggungan harus menjadi syarat. -surel dari Blue (hal. 158)
Sayangnya, walau suka dengan para tokohnya, saya hanya bisa memberikan dua bintang untuk STHA. Masalahnya, novel ini sangat membosankan buat saya. Ceritanya terasa trivial dan lama sekali bergeraknya. Saya bahkan baru mulai tertarik setelah Blue melakukan interaksi dunia nyata kepada Simon (dan ini baru terjadi pada 70%-an novel).
Blurb-nya kurang mengena inti cerita. Ya, memang kejadiannya persis seperti di blurb, tapi ceritanya meleset jauh dari dugaan kalau novel ini akan bercerita tentang upaya Simon mendekatkan Abby dengan Martin. Simon bahkan tidak terasa berusaha untuk melakukan hal ini.
Bahkan di saat orientasi seksual Simon terkuak dan dia mengalami penindasan di sekolah, saya masih merasa datar-datar saja. Apa, ya? Rasanya bagian ini tidak meninggalkan kesan apa-apa. Tapi saya senang dengan teman-teman dan keluarganya Simon yang terus mendukungnya.
Secara keseluruhan, saya suka dengan para karakter, pengolahan masalah orientasi seksualnya, serta tingkat kemanisan novel ini. Sayangnya, saya merasa ceritanya lambat dan kurang menarik minat pribadi.
Lalu ada jeda itu. Kami masih saling berpandangan. Dan ada sesuatu di perutku yang terasa seperti lilitan yang dtarik kuat-kuat.
"Rupanya kau," kataku.
"Aku tahu aku terlmbat," katanya. (hal. 283)
Let's meet on social media:
Instagram | Twitter | Youtube
View all my reviews
Saya juga sangat penasaran dengan novel yang satu ini. Di luar dari penilaian kurang dari kamu, saya malah tertantang untuk mencari tahu apa keunikan dari novel ini. Semoga saya segera bakal punya novelnya. hehe
@adin dilla: semoga segera kesampaian :D
Boleh tau belinya dimana?