My rating: 2 of 5 stars
Judul: The Little Paris Bookshop - Toko Buku Kecil di Paris
Penulis: Nina George
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Halaman: 440 halaman
Terbitan; Februari 2017
Monsieur Perdu menyebut dirinya apoteker literatur. Dari toko buku apungnya di Sungai Seine, ia meresepkan novel-novel untuk membantu meringankan beban hidup. Sepertinya, satu-satunya orang yang tak mampu ia sembuhkan hanya dirinya sendiri; ia masih dihantui patah hati setelah kekasih hatinya pergi, meninggalkan surat yang tak pernah dibukanya.
Akhirnya Perdu tergoda untuk membaca surat tersebut, lalu ia angkat sauh dan berangkat ke Prancis Selatan demi berdamai dengan kehilangannya. Bersama pengarang yang sedang mengalami kebuntuan menulis serta chef Italia yang sedang gundah dirundung cinta, Perdu berlayar sembari membagi-bagikan kebijaksanaannya, membuktikan bahwa buku dapat memulihkan jiwa manusia.
Review
The Little Paris Bookshop bercerita tentang Jean Perdu, pria paruh baya yang juga dikenal sebagai seorang apoteker literatur. Dari kapalnya yang merangkap toko buku, dia menjual bacaan yang "dibutuhkan" oleh para calon pembelinya.
Suatu hari Monsieur Perdu menemukan kembali surat dari Manon, kekasihnya yang dulu memutuskan untuk meninggalkan pria itu. Atas dorongan Catherine, tetangga Perdu, pria itu akhirnya membaca surat yang teronggok selama puluhan tahun itu. Surat itu akhirnya mendorong Perdu untuk berlayar ke Prancis dan berdamai dengan masa lalunya.
Saya betul-betul ingin menyukai buku ini lebih dari yang saya rasakan saat selesai, tapi sayangnya hanya bisa mentok di dua bintang saja.
Saya tidak keberatan dengan tokoh utamanya yang pesimis dan sedikit egois. Tipe yang mungkin tidak bisa disukai banyak orang. Saya keberatan dengan ceritanya yang rasanya "ke mana-mana" dan punya banyak filler. Membaca perjalanan M. Perdu bersama Max Jordan dan Cuneo (ini dibacanya Suneo atau Kuneo, sih?), saya tidak henti-hentinya menanyakan ceritanya ini mau dibawa ke mana. Akhirnya, banyak bagian yang saya lewatkan karena kurang tertarik.
Bagaimana bisa semua ... terus berjalan?
Betapa takutnya dia pada kematian-dan kehidupan. Pada hari-hari tanpa Manon yang membentang di hadapan. (hal. 160)
Premisnya tentang apoteker literatur sangat menarik dan menjadi alasan saya membaca novel ini. Sayangnya, premis ini tidak terlalu menonjol di dalam cerita. Selain beberapa adegan yang menunjukkan pekerjaannya M. Perdu, premis ini juga dipakai dalam pencarian sang tokoh utama akan identitas asli Sanary, penulis novel Southern Lights, novel yang menjadi obat bagi M. Perdu. Bagian pencariannya ini, sayangnya, kurang terasa menyatu dengan keseluruhan cerita. Juga kurang begitu menarik. Di satu bagian, pencarian ini rasanya terlupakan, lalu tiba-tiba dimulai kembali, kemudian sampai pada jawabannya.
Saya paling geregetan dengan satu bagian di novel ini. Ini termasuk bocoran cerita, jadi lewati saja kalau kamu benci spoiler. Saat Jordan menemukan sebuah berita tentang kematian Manon terselip di salah satu bukunya Proust. Jadi, si M. Perdu sebenarnya sudah tahu kalau mantan pacarnya itu sudah meninggal. Saya bingung bagian ini sebenarnya untuk apa. Menunjukkan kerapuhan si tokoh utama? Wishful thinking-nya? Buat saya, bagian ini tidak tersampaikan dan hanya sukses membuat bola mata saya bergulir.
Secara keseluruhan, buku ini cuma oke saja buat saya. Ceritanya oke. Tokohnya oke. Berbagai referensi bukunya juga oke. Tapi, yah itu, berhenti di sekadar oke saja.
Saran Sophie untuk masalah hubungan adalah perkabungan satu bulan untuk setiap tahun kebersamaan pasangan, dan dua bulan untuk setiap tahun pertemanan bila pertemanan terjadi. Dan bagi mereka yang meninggalkan kita selamanya-orang mati-"seumur hidup, karena cinta untuk orang tersayang yang pergi meninggalkan kita akan ada selamanya. Kita merindukan mereka sampai akhir hayat." (hal. 163-164)
Let's meet on social media:
Instagram | Twitter | Youtube
View all my reviews
0 comments :
Post a Comment