-
Ada Dia Di Matamu
Tuesday, January 17, 2012
Benar. Itu kau! Berjalan sambil menggandeng seorang wanita yang tertawa mendengarkan hal lucu apa pun yang baru saja keluar dari bibirmu. Kulihat kalian berdua begitu bahagia, berjalan tertawa-tawa sambil bergandengan tangan. Kukepalkan erat kedua tanganku, berusaha untuk menahan rasa kesal. Kupukul kuat-kuat pegangan besi pembatas itu dengan rasa marah yang berkecamuk di dalam hati. Orang-orang di sekitarku sampai kaget dan mencuri-curi lihat ke arahku, tapi aku tidak perduli.
Kuikuti kalian berdua turun dengan eskalator. Kujaga jarakku sejauh mungkin, sehingga keberadaanku tidak kalian sadari. Mereka berbelok ke salah satu sudut dan aku menunggu beberapa saat sebelum aku ikut berbelok di sudut itu. Kulihat kalian masuk ke salah satu toko dengan kebahagiaan terlukis di wajah wanita itu.
Aku mendekat ke sebuah stand roti yang berada di dekat toko yang baru saja kalian masuki dan berpura-pura memilih roti sambil mencuri lihat ke dalam toko itu. Ternyata yang kalian masuki adalah sebuah toko perhiasan. Kulihat kau memasangkan sebuah cincin di jari manis wanita itu, lalu mengalungkan sebuah kalung emas yang indah di lehernya, dan wanita itu pun sumringah. Wanita berambut panjang itu lalu mengecup pipimu.
Jalang! batinku. Menjauh darinya! Dia milikku!
Rasa marah di dalam hatiku memuncak. Aku berjalan ke arah toko itu, hendak mendamprat si jalang yang kini bergelayut mesra di lenganmu. Lengan priaku! Semeter, sisa semeter lagi dan aku akan bisa mendamprat si jalang itu. Menarik rambutnya hingga rontok semua dan menjadikannya pelajaran agar dia tidak pernah mendekatimu lagi.
Kemudian aku melihat ke dalam matamu, dan langkahku terhenti. Benar. Ada dia di matamu. Selama ini pun begitu kan? Selalu ada dia di matamu. Perlahan aku mundur dari tempatku berdiri.
Kalau saja, kalau saja aku punya hak untuk mendamprat wanita jalang itu. Tidak, bukan dia. Aku, akulah yang jalang. Selama ini kau bukanlah milikku. Tidak pernah milikku. Aku pun berjalan menjauh dari tempat itu.
Orang bilang bahwa kita tidak boleh menyesali apa pun dalam hidup kita, tapi aku tidak bisa begitu. Ada 2 hal yang kusesali di dalam hidupku. Yang pertama, aku bukanlah orang yang dilahirkan dari tulang rusukmu. Aku tidak dilahirkan untuk menjadi pasanganmu. Yang kedua, aku menyesal bahwa aku juga dilahirkan sebagai seorang pria. Sama seperti dirimu.
Posted by Biondy at 10:03:00 AM | Labels: #15HariNgeblogFF | 2 comments |
-
Jadilah Milikku, Mau?
Monday, January 16, 2012
Aku selalu melihat anak laki-laki itu melintas di depan toko pada waktu yang sama. Pukul 4 sore, setiap hari Senin-Jumat. Tidak pernah sekali pun dia absen lewat di depan tokoku. Dia selalu mengenakan sebuah kemeja lengan pendek dan celana panjang serta memanggul sebuah tas di punggungnya. Terkadang dia juga lewat di depan tokoku pada akhir pekan. Pada akhir pekan dia akan mengenakan pakaian yang lebih santai. Biasanya sebuah T-shirt dengan celana pendek dan sendal. Hanya sebatas itu saja yang kuketahui tentang dia. Aku tidak tahu siapa namanya, berapa umurnya, atau di mana tempat tinggalnya. Hubunganku dengannya hanyalah sebatas melihat dan dilihat lewat sebuah etalase toko yang transparan.
Dia tahu tentang keberadaanku. Sore itu dia berjalan di emperan pertokoan seperti biasanya. Dia berhenti sejenak di depan tokoku untuk mengikat tali sepatunya. Setelah selesai, dia menoleh ke dalam toko dan matanya bertemu dengan mataku. Tatapan kami beradu selama beberapa saat dan dia tersenyum padaku. Dalam waktu yang singkat itulah, dia telah menguasai pikiranku. Selalu berada di dalam benakku. Aku selalu ingin bertemu dengannya. Sejak itu pukul 4 sore selalu menjadi waktu yang kunanti-nantikan.
Sejak kontak mata yang terjadi di antara kami beberapa bulan yang lalu itu, hampir setiap hari dia berhenti di depan tokoku. Dia akan berhenti dan berdiri diam di depan toko, menatapku, lalu tersenyum. Ah, kenapa kau tersenyum padaku? Apakah senyum itu memang untukku? Ataukah aku terlalu Ge-eR sampai mengira senyuman itu kau berikan padaku, padahal sebenarnya bukan?
Beberapa kali aku mengundangmu masuk ke dalam toko, tapi kamu selalu hanya menjawabnya dengan sebuah senyuman manis, lalu berlalu. Hatiku selalu merasa kecewa. Kenapa kamu tidak mau masuk barang sebentar saja? Padahal aku ingin melihatmu lebih dekat. Menghilangkan etalase yang berada di antara kita berdua.
Hari ini sama seperti hari-hari sebelumnya. Dengan setia aku menunggumu lewat di depan toko. Jam kukuk di toko telah berbunyi 4 kali. Sebentar lagi kamu akan lewat. Aku menantikanmu dengan perasaan berdebar dan tidak sabar. Tidak sedetik pun kualihkan mataku dari jalanan di depan toko, menantikan bayanganmu.
Setengah jam telah berlalu. Kenapa kamu belum lewat juga? Ah, mungkin kamu ada urusan sehingga pulang sedikit lebih lambat. Kembali aku menunggumu sambil melamun, melihat hujan yang mulai turun. Satu jam, dua jam, bahkan tiga jam telah berlalu. Langit telah gelap dan lampu-lampu jalan telah dinyalakan. Tidak ada tanda-tanda kehadiranmu sama sekali. Ada apa? Kenapa hari ini kamu tidak lewat di depan toko? Aku menjadi gelisah ketika toko ditutup dan aku tidak melihatmu sama sekali hari ini.
Keesokan harinya aku kembali menunggumu dengan sabar. Berharap waktu berputar lebih cepat dan jam 4 segera datang. Tetapi hari ini pun kamu tidak lewat. Kenapa? Apa yang terjadi? Kamu baik-baik saja kan?
Satu minggu telah berlalu dan kau sama sekali tidak lewat. Aku menjadi sedih dan merasa putus asa. Mungkinkah aku tidak dapat bertemu denganmu lagi? Aku terkejut ketika pintu toko terbuka dan kulihat kamu berjalan masuk. Kamu berbicara sebentar dengan si kasir, lalu berjalan ke arahku.
“Jadilah milikku, mau?”
Aku menggonggong bahagia dan melompat ke dalam pelukanmu.Posted by Biondy at 5:26:00 PM | Labels: #15HariNgeblogFF | 2 comments |
-
Aku Maunya Kamu. Titik!
Sunday, January 15, 2012
Kalau ada yang melihat kondisi Sunny saat ini, maka sudah pasti dia akan diklaim gila. Rambutnya acak-acakan, wajahnya terlihat lusuh, dan sudah hampir setengah jam dia putar-putar mengelilingi kamarnya. Tapi Sunny tidak gila. Dia hanya sedang pusing memikirkan suatu persoalan saja.
Persoalannya sederhana saja. Ulang tahun Gita, kekasihnya, sudah semakin mendekat, dan kado yang diminta oleh Gita sebagai hadiah ulang tahunnya dirasa Sunny terlalu berat untuk dipenuhinya.
“Duh... Gita, Gita. Minta hadiah kok susah amat sih untuk kupenuhi.” keluh Sunny.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka dan Nando, sahabat Sunny, masuk tanpa permisi.
“Hey Bro. Kenapa lo? Mukanya kusut amat.”
“Duh, Nando, kamu ini bener-bener slonong boy deh. Masuk ke kamarku itu ketuk pintu dulu kek, main nyelonong masuk aja.”
“He he he. Sorry Bro. Kebiasaan.”
“Nyelonong masuk kamar orang kok dibiasain.” cibir Sunny.
“Udah deh. Daripada itu, lo kenapa sih? Mukanya kusut amat?”
“Aku lagi pusing nih. Mikirin kado yang diminta sama Gita. Mana ulang tahunnya besok lagi.”
“Huakakakakaka. Jadi soal itu?”
“Ye... Malah ketawa. Ini serius, tahu.”
“Iya, iya. Yah... Tinggal dikasih aja apa yang Gita minta. Beres kan?”
“Ngomong seenak udelmu. Kamu kira yang Gita minta gampang apa?”
Nando hanya tersenyum. “Kalau enggak coba kamu bicara lagi sama Gita. Siapa tahu dia berubah pikiran.”
“Hm... Rasanya gak mungkin sih. Tapi nanti aku coba lagi deh bicara sama dia.” kata Sunny murung.
“Nah, gitu dong Bro. Gak usah pakai acara galau kali.”
* * *
Keesokan harinya,
“Gak mau! Pokoknya aku gak mau kalau yang lain!”
Sunny hanya geleng-geleng kepala. Pacarnya yang satu ini memang keras kepala. Kalau sudah mau sesuatu, pasti dia tidak akan mau merubah pikirannya.
“Duh... Git, please lah. Minta yang lain aja. Jangan yang itu. Masa kamu tega sih sama aku?”
“Mas Sunny kan dulu bilang bakal kasih Gita apa aja yang Gita minta. Sekarang malah bilang kalau Mas enggak bisa. Mas Sunny enggak sayang sama Gita! Mas Sunny gak bener-bener cinta sama Gita!”
Sunny kelabakan. “Duh, bukan gitu. Aku sayang sama kamu Git. Aku cinta sama kamu. Suer deh. Tapi kadonya jangan yang itu dong. Please... Aku kasih punya orang lain aja gimana?”
“Gak mau! Aku maunya kamu! Titik! Kalau enggak lebih baik kita putus!”
Sunny menundukkan kepalanya. Dia tidak mau putus dari Gita. Kalau sudah begini, tidak ada jalan lain. “Ya deh. Aku kasih punyaku.”
“Bener, Mas?” tanya Gita riang. “Kalau gitu mana?”
Sunny mencopot sebelah kakinya dan memberikannya kepada Gita.
“Aduh, Mas Sunny. Makasih banyak. Gita sekarang yakin kalau Mas tuh beneran sayang sama Gita.” kata Gita lalu mengecup pipi Sunny. Kaki Sunny dipeluknya erat-erat.
Sunny kembali menggeleng-gelengkan kepalanya.
Duh, bisa-bisa heboh gara-gara ada pocong berkaki 1. Memang susah pacaran sama kuntilanak ababil!Posted by Biondy at 2:31:00 PM | Labels: #15HariNgeblogFF | 4 comments |
-
Kamu Manis, Kataku
Saturday, January 14, 2012
Pertama kali aku melihat gadis itu adalah pada hari Senin tanggal 9 Januari yang lalu. Dia sedang duduk di sudut café tempatku biasa nongkrong. Gadis itu memiliki rambut panjang yang dibiarkannya tergerai begitu saja, wajahnya oval, dan hidungnya mancung. Dia mengenakan sebuah T-shirt putih yang dipadukannya dengan celana jeans berwarna washed blue.
Gadis itu duduk di sana selama 30 menit. Selama 30 menit itu jugalah aku berusaha mengumpulkan keberanianku untuk menyapanya, tetapi keberanianku tidak pernah berhasil terkumpul. Aku hanya dapat memandanginya keluar dari pintu café dengan perasaan marah pada diriku sendiri.
Keesokan harinya aku kembali pada waktu yang sama, berharap gadis itu akan kembali duduk di sudut yang sama. Sayang, setelah lama kutunggu, gadis itu tidak pernah muncul. Aku pulang dan menyalahkan diriku sendiri. Kenapa aku tidak berusaha mengajaknya berkenalan waktu itu? Kini, belum tentu aku bisa bertemu lagi dengannya.
Aku tidak putus harapan. Aku kembali ke café itu hari berikutnya dan hari berikutnya lagi. Terus begitu selama 5 hari berturut-turut sebelum akhirnya aku dapat melihatnya lagi.
Dia masuk dan membuat bel pintu café berbunyi. Dia berjalan melewati mejaku dan memilih untuk duduk di sudut yang sama tempat pertama kali aku melihatnya. Hari ini dia terlihat begitu cantik dengan kaus garis-garis dan celana ¾ berwarna merah.
“Mas, aku pesan cheese cake dan teh herbalnya 1 ya.”
Ah, begitu merdu suaranya.
Ayo Randy. Kamu bisa. Ajak dia bicara. Cukup katakan “Hai, kamu manis. Bolehkah aku berkenalan denganmu?”
Kuseruput teh hijauku, berusaha menenangkan diri. Kulihat pelayan membawa pesanan gadis itu dan dia tersenyum berterima kasih. Senyumnya begitu menawan.
Ayo Randy. Satu kalimat, satu kalimat saja.
Kupanggil pelayan yang tadi melayani gadis itu dan kubisikkan permintaanku padanya. Dia mengangguk dan segera pergi untuk melakukan permintaanku.
Gadis itu menoleh ke arahku ketika pelayan membawakan chocolate cake pesananku, lalu memberitahukan bahwa akulah yang mengirimkan kue itu padanya. Gadis itu tersenyum padaku.
Dengan seluruh keberanianku, yang akhirnya berhasil kukumpulkan juga, aku berjalan ke mejanya.
Ayo Randy, katakan. Katakan sekarang.
Aku berdiri di samping mejanya dengan perasaan deg-degan dan mulai membuka mulutku.
“Kamu manis,” kataku. “Bolehkah aku berkenalan denganmu?”
Gadis itu tersenyum, dan aku menanti jawaban yang akan keluar dari bibirnya.
Posted by Biondy at 6:23:00 PM | Labels: #15HariNgeblogFF | 4 comments |
-
Dag Dig Dug
Friday, January 13, 2012
Saskia menyeka peluh yang berada di keningnya lalu menoleh ke jam dinding besar yang berada di atas lemari es.
Sudah pukul 5.
Dia kembali mengaduk isi panci yang ada di hadapannya. Masakannya harus selesai sebelum suaminya sampai di rumah. Mas Tri, suaminya, tidak suka kalau makanan belum siap ketika dia sampai di rumah dan kalau sampai makanan belum terhidang, wah jangan tanya. Bisa-bisa tubuh Saskia lebam-lebam dan darah mengalir dari bibirnya. Pernah Saskia minta cerai dari suaminya, tapi dia malah dipukul dan disekap di rumah selama 3 hari. Sejak itu dia tidak berani lagi untuk membicarakan perceraian.
Dag! Dig! Dug!
Saskia menoleh ke kanan, kiri, lalu ke belakangnya, memastikan tidak ada yang melihatnya. Suatu hal yang tidak perlu sebenarnya karena dia saat ini sendirian di rumah dan dapurnya berada di tempat yang tidak mungkin dapat dilihat oleh orang dari luar rumah. Dia berjalan menuju lemari paling ujung kiri, membuka lemari yang berada di atas kepalanya, lalu berjinjit menggapai-gapaikan tangannya ke bagian terdalam lemari itu. Sebuah botol kaca ditariknya keluar dari dalam lemari itu. Dia memegang botol kaca itu dengan tangan gemetaran.
Tangannya tidak dapat berhenti gemetar. Kembali dia celingukan untuk memastikan tidak ada orang yang melihatnya memegang benda itu. Saskia tahu persis apa isi botol kaca itu dan apa yang dapat diperbuat isinya. Isinya adalah potasium sianida dan dapat digunakannya untuk membunuh suaminya.
Tuangkan saja isinya ke dalam sup itu Saskia, dan kau akan bebas. Bebas!
Tapi dia suamiku.
Apa orang yang sering memukul dan menyiksamu pantas kau sebut suamimu?
Tapi ini dosa.
Dosa? Dosa apa? Yang kau lakukan hanyalah merebut kembali kebebasanmu. Para pejuang Indonesia juga dulu membunuh para penjajah untuk memperoleh kebebasan negeri ini. Sama saja kan.
Tapi ini berarti aku menghilangkan sebuah nyawa.
Setiap hari ada ribuan bahkan jutaan nyawa yang hilang, Saskia. Kalau bertambah satu apalah artinya?
Jadi aku harus membunuhnya?
Bunuh! Bunuh dia Saskia!
Baiklah. Aku akan membunuhnya.
Tutup botol itu Saskia putar hingga terbuka. Dengan langkah bergetar didekatinya panci berisi sup ayam yang sedang dimasaknya. Semeter lagi. Semeter lagi menuju kebebasanku. Dituangkannya seluruh isi botol itu lalu diaduknya sup itu perlahan. Sebuah senyum terulas di wajahnya.
Kriinnggg!!
Saskia mengangkat telepon itu.
“Halo, selamat sore.”
“Sas, ini Mas Tri. Hari ini aku tidak pulang ke rumah yah. Tiba-tiba aku harus pergi ke Bandung karena pabrik di sana ada masalah. Aku baru pulang 3 hari lagi. Kamu jaga diri baik-baik yah.”
Klik. Telepon diputus.
Saskia menutup telepon. Dia termangu.
Kau boleh bebas hari ini Triharjo Sunajaya. Tapi 3 hari lagi, 3 hari lagi kau pasti akan mati!Posted by Biondy at 9:56:00 PM | Labels: #15HariNgeblogFF | 2 comments |
-
Halo, Siapa Namamu?
Thursday, January 12, 2012
“Halo, siapa namamu?”Suara itu mengejutkanku. Aku menoleh ke sumber suara itu dan kulihat seorang anak laki-laki seumuranku tengah menatapku lekat-lekat dari pagar rumahnya. Aku tersenyum padanya dan membalas. “Namaku Nita Suprapto. Siapa namamu?”“Aku Andi Kusmana. Kamu penghuni baru rumah ini?”Aku mengangguk. Anak itu keluar dari pekarangan rumahnya dan berlari ke arahku.“Dan dia? Siapa namanya?” tanyanya menunjuk boneka beruang dalam dekapanku.“Neni. Namanya Neni.”“Halo Nita dan Neni. Senang berkenalan dengan kalian. Kalian mau pergi bermain di lapangan dekat sini?”Aku mengangguk dan segera berlari mengikutinya.18 Juli 2003“Halo, siapa namamu?”Suara berat itu membuyarkan lamunanku. Aku mendongak dan melihat sebuah wajah yang rasanya begitu aku kenal. “Andi? Kamu Andi kan?”Pria itu tersenyum dan duduk di kursi di depanku.“Syukurlah. Kamu ternyata masih ingat padaku, Nit.”Aku tersipu. Bagaimana mungkin aku bisa lupa padanya?“Sudah berapa lama kita tidak bertemu? Sepuluh tahun?” tanya Andi.“Tahun ini 12 tahun.”“Dua belas tahun!? Begitu cepat waktu berlalu. Bagaimana kabarmu dan Neni?”Ah, dia masih ingat pada Neni rupanya. “Aku baik. Neni sudah lama terbawa arus sungai di pedalaman Kalimantan.”Andi mengangguk. “Aku tidak pernah lupa padamu selama 12 tahun ini. Padahal aku mengenalmu hanya selama 7 bulan sebelum kamu pindah ikut Ayahmu ke Kalimantan.”Aku rasakan darah mengalir ke wajahku. Tujuh bulan yang penuh kebahagiaan19 Oktober 2008Kurasakan ranjang yang empuk beradu dengan punggungku. Aku tertawa bahagia. Hari ini adalah hari yang paling bahagia dalam hidupku. Aku tersenyum pada pria yang baru saja melemparkan diriku ke atas ranjang.“Halo, siapa namamu?” tanyanya.“Namaku Nita. Nita Kusmana.”Andi memberikan sebuah ciuman panjang yang hangat di bibirku dan mulai membelai rambutku. Malam ini adalah malam terindah dalam hidupku.11 April 2011“Dorong! Dorong terus, Bu!”“Fuh! Fuh! Ini sudah kudorong Dok. Nghhhh...”“Tarik nafas lalu dorong lagi Bu. Sedikit lagi. Ya, ya.”Oeeekkk!!!Ah, bunyi itu. Bunyi tangisan yang begitu indah. Musik terindah yang pernah kudengar.“Selamat, Bu. Bayinya laki-laki.”“Kemarikan bayinya, Dok. Aku ingin menggendongnya.”Kuterima bayi mungil itu dalam dekapanku. Betapa kecilnya. Betapa manis dan mempesonanya.“Terima kasih Nit. Kamu sudah berjuang keras.”Sebuah kecupan mendarat di keningku. Kupandangi Andi dan kulihat sinar kebahagiaan dalam matanya.“Halo anak manis, siapa namamu?”“Halo Ayah. Namaku Vincent Kusmana.”Dia tersenyum padaku dan kembali mengecup keningku, lalu kening anak kami.13 April 2070“Halo, siapa namamu?”Aku tersenyum pada lelaki yang duduk di atas kursi roda itu.“Namaku Nita Kusmana. Siapa namamu?”“Hai Nita. Aku Andi Kusmana. Kamu penghuni baru rumah ini?”Perlahan kurasakan air mata mengalir di pipiku. Kudekap kepala pria itu. Pria tampan yang telah mengarungi waktu bersamaku. Mengisi tawa dan tangisku.“Bukan. Aku bukan penghuni baru di rumah ini.”Dia tersenyum padaku dan satu per satu kenangan mulai berhamburan di dalam ingatanku.Posted by Biondy at 9:58:00 PM | Labels: #15HariNgeblogFF | 2 comments |
-
Review: Ciuman Di Bawah Hujan - Lan Fang
Wednesday, December 28, 2011
Ciuman Di Bawah Hujan by Lan Fang
My rating: 2 of 5 stars
Ketika saya menutup novel "Ciuman Di Bawah Hujan" ini, timbul satu pertanyaan di benak saya. "Apakah Lan Fang sudah tidak berniat untuk menulis novel ini ketika dia menyelesaikannya?"
Bagian awal novel ini memperkenalkan kita pada Fung Lin, seorang wartawati keturunan Chinese, yang sedang meliput diskusi kumpulan cerpen para TKW Indonesia. Di sana dia bertemu dengan Ari, si politisi bermata matahari yang tidak pernah mampu menangkap asap. Dari sinilah hubungan mereka berdua mulai terbentuk.
Di bagian awal cerita, pembaca dibuat "mencium" aroma percintaan antara Fung Lin dan Ari. Tetapi hal ini tidak pernah terjadi. Hubungan antara Fung dan Ari terasa mengambang. Bukan percintaan, mungkin lebih ke arah TTM. Tapi tiba-tiba hubungan itu menghilang begitu saja dan fokus pada tokoh Ari tiba-tiba berpindah ke Rafi, politisi berkaki angin yang terjebak basah gerimis dan tiba-tiba saja tumbuh benih percintaan antara Rafi, yang menyalip peranan Ari sebagai tokoh utama pria, dengan Fung Lin. Ari? Uh... Entahlah. Dia tiba-tiba saja menghilang.
Menjelang akhir cerita, Fung tiba-tiba saja berhenti dari pekerjaannya sebagai wartawati freelance dan melamar sebagai kasir di sebuah depot. Ketika bekerja di depot inilah, Fung tiba-tiba saja diserang oleh segerombolan tikus (benar-benar tikus. Bukan tikus-tikusan). Di saat diserang inilah, Ari untuk pertama kalinya menolak permohonan Fung dan sebagai gantinya, Rafi lah yang datang dan menyelamatkan Fung dari serangan para tikus.
Setelah serangan itu, Fung dipaksa untuk beristirahat di rumah dan Rafi memberinya komputer dan sepasang hamster untuk menemani hari-hari Fung Lin.
Setelah lewat beberapa waktu, sepasang hamster itu tiba-tiba melahirkan 44 anak hamster (ya, 44 saudara-saudara!!) dan tiba-tiba saja Fung bertindak gila dengan pergi ke kebun binatang dan mengumpankan kedua hamster dewasa peliharaannya kepada harimau. Setelah mengumpankan kedua hamsternya, Fung menceritakan hal ini ada Rafi tanpa rasa bersalah dan setelah beberapa percakapan singkat yang (seharusnya) menyentuh hati, Rafi tiba-tiba saja memilih untuk mundur dari dunia politik dan menjadi orang biasa.
Ada terlalu banyak tiba-tiba di dalam novel ini, serta ending yang menggantung. Ada banyak pertanyaan di benak saya. Bagaimana jadinya hubungan antara Ari dan Fung? Bagaimana hubungan Fung dan Anto sampai putus total? Bagaimana Fung dan Lie Ming putus? Akhir ceritanya terasa terburu-buru, seolah-olah ada sesuatu yang memaksa novel ini untuk tiba-tiba berakhir.
View all my reviewsPosted by Biondy at 10:36:00 PM | Labels: Membaca , Novel , Review , Review Buku | 0 comments |