-
Review Novel: Anak Semua Bangsa (Tetralogi Buru #2) - Pramoedya Ananta Toer
Saturday, August 11, 2012
Anak Semua Bangsa by Pramoedya Ananta Toer
My rating: 5 of 5 stars
"Anak Semua Bangsa" melanjutkan kisah Minke, pribumi lulusan sekolah H.B.S. Seorang pribumi terpelajar dengan pendidikan Eropa pada masa penjajahan Belanda. Setelah istrinya, Annelies, diputuskan untuk dipulangkan ke Nederland oleh pengadilan, Minke mengalami banyak hal bertubi-tubi.
Dalam buku ke-2 seri Tetralogi Buru ini diperlihatkan bagaimana Minke yang semula mengagungkan Eropa pelan-pelan belajar mengenai kepentingan bangsanya sendiri. Uniknya, yang menyadarkan Minke akan hal ini justru dua orang asing sahabatnya. Kommer, seorang jurnalis Belanda, dan Marais, seorang pelukis asal Perancis.
Kommer jugalah yang menyadarkan Minke pentingnya menulis dalam bahasa Melayu, bukannya Belanda, untuk lebih membukakan mata para pribumi. "Bahkan tanpa mempelajari bahasa sendiri pun orang takkan mengenal bangsanya sendiri," (hal 106) adalah peringatan Kommer atas ketidaktahuan dan perasaan minder Minke akan bahasa Melayu.
Saya rasa pemilihan judul "Anak Semua Bangsa" dimaksudkan Pramoedya untuk menunjukkan bagaimana Minke yang semula berpikiran sempit dan mengagungkan suatu bahasa dan kebudayaan tertentu, pelan-pelan membuka pikiran, mata, telinganya, membuka dirinya akan pengetahuan dan kebudayaan lain. Dalam buku ini Minke belajar dari seorang Cina, Perancis, Belanda, dan dari penduduk pribumi sendiri.
Dia sadar akan arti pendidikan lewat pembicaraannya dengan Khouw Ah Soe. "Dengan ilmu pengetahuan modern, binatang buas akan menjadi lebih buas, dan manusia keji akan semakin keji. Tapi jangan dilupakan, dengan ilmu pengetahuan modern binatang-binatang yang sebuas-buasnya juga bisa ditundukkan." (hal 80)
Dia belajar mengenai pemberontakan Filipina atas Spanyol dan harapan akan persamaan antara penduduk pribumi dengan bangsa Eropa lewat Ter Haar, seorang jurnalis dan liberalis Belanda. Dia belajar mengenai kepentingan bangsa dan nasionalitas serta sempitnya pandangan yang dia miliki lewat Kommer dan Marais.
Kommer berkata, "Lihat, Tuan, keturunan tidak banyak berarti. Kesetiaan pada negeri dan bangsa ini, Tuan. Ini negeri dan bangsaku; bukan Eropa. Yang Belanda hanyalah namaku." (hal. 105) memberikan pandangan yang menarik akan arti nasionalitas.
Nyai Ontosoroh sendiri masih sama tangguhnya seperti di "Bumi Manusia". Setelah kehilangan suami, kedua anaknya, dan akan kehilangan harta bendanya, Nyai tetap menunjukkan bagaimana dia tegar dan tetap melawan dalam kapasitasnya. Hal ini ditunjukkan dalam bab akhir ketika dia melawan Ir. Melemma yang datang ke kediaman mereka. Di bagian ini diperlihatkan secara piawai bagaimana si Nyai mempergunakan apa yang dia miliki, walau minim, untuk melawan seseorang yang memiliki kuasa seperti Ir. Mellema.
Buku yang sangat menarik. Jauh lebih menarik daripada buku pertama. Kalau di "Bumi Manusia" lebih banyak berfokus ada soal hubungan Minke dan Annelies, maka di "Anak Semua Bangsa" ini diperlihatkan perubahan sosok Minke menjadi tokoh yang lebih dewasa.
View all my reviewsPosted by Biondy at 5:49:00 PM | Labels: Buku , Membaca , Novel , Review , Review Buku |
Udah lama pengen baca Tetralogi Buru tapi maunya minjem aja nggak mau beli dan belom dapet pinjeman sampe sekarang. ahahahah...
Hahaha... Coba cari di perpustakaan sekolah/kampus deh. Atau di perpustakaan daerah kalau ada. Beli juga gak apa-apa loh. Gak rugi uangnya :D