“Sampai kapan kau akan menunggunya?”
“Selamanya,” katanya lalu tertawa canggung. “Aku punya
seluruh waktu di dunia ini.”
Aku hanya menggelengkan kepalaku. “Tidak baik kalau
begini terus. Pergilah.”
“Aku tidak bisa,” katanya tenang. “Aku ingin bertemu lagi
dengannya. Kalau aku pergi mungkin dia akan datang dan aku akan melewatkannya.”
Aku menghela napas panjang. “Baiklah. Terserah kau. Aku
ke sekolah dulu kalau begitu.”
“Ok. Belajar yang rajin,” katanya lalu melambai padaku.
Aku membalas lambaiannya dan segera pergi ke sekolah.
Aku pertama kali melihatnya di sana 3 bulan yang lalu. Dia
selalu ada di sana, di perempatan itu. Duduk dengan tatapan mata awas,
mengamati setiap orang yang lewat. Dia menunggu seseorang untuk lewat. Menunggu
satu pertemuan kembali.
“Apa kau yakin dia akan lewat di sini?” tanyaku.
“Yakin. Di tempat inilah kami pertama kali bertemu. Aku
menabraknya di tikungan ini. Barang-barangnya jatuh berantakan dan dia
marah-marah.”
Dia tertawa sebentar lalu melanjutkan, “Terdengar seperti
naskah film murahan? Tidak, itu sungguh terjadi. Setelah itu aku meminta maaf
dan menawarinya makan siang. Dia setuju dan dari sana kami mulai berhubungan.”
“Lalu,
bagaimana hubungan terakhir kalian?”
Dia menatap kosong ke depan. “Dia menghilang. Sehari
sebelum pernikahan kami. Hilang begitu saja. Tanpa pesan. Tanpa petunjuk.”
Aku mengalihkan tatapanku darinya. Aku merasa iba, tapi
jujur tidak tahu harus bagaimana.
“Kau akan terus menunggu?”
“Ya. Toh aku punya seluruh waktu di dunia ini. Bukankah
ini waktunya kau bersekolah? Pergilah.”
Aku melirik jam tanganku. Dia benar. Aku pun berpisah
darinya.
Minggu berikutnya aku terkejut ketika dia tidak lagi
duduk di perempatan.
“Dia sudah pergi?”
“Oh, Lisa. Ya, dia sudah pergi.”
“Sudah bertemu orang yang dia tunggu?”
“Belum. Hanya saja sudah waktunya bagi dia untuk memasuki
tahap selanjutnya. Kau tahu apa maksudku kan?”
Aku mengangguk.
“Yeah, aku pergi dulu. Masih ada 212 roh yang harus
kutangani hari ini. Kalian manusia, kenapa sih begitu tidak rela untuk mati?”
Aku mengangkat bahu. “Mungkin karena kami memang bukan
dirancang untuk mati.”
“Hahaha… Ya, salah kalian sendiri sampai bisa mati
seperti sekarang. Ok, aku pergi dulu kalau begitu.”
“Ya, selamat bertugas, Malaikat Frans. Semoga harimu
menyenangkan.”
salam sukses gan, bagi2 motivasi .,
nikmatilah hidupmu agar kamu tidak merasa bosan dalam setiap keadaan.,.
ditunggu kunjungan baliknya gan .,.
kerennnn... jadi yang nunggu itu sudah mati yah?
bagus banget..