Kapitalisme Soviet? Sebuah Catatan Perjalanan by
Tjipta Lesmana
My rating:
4 of 5 stars
Judul: Kapitalisme Soviet? Sebuah Catatan Perjalanan
Penulis: Tjipta Lesmana
Penerbit: Erwin-Rika Press
Halaman: 277 halaman
Terbitan: November 1987
Catatan perjalanan Tjipta Lesmana dari majalah "Swasembada", Yop Pandie dari harian "Suara Karya", dan Isma Sawitri dari majalah "Tempo" selama 15 hari di Uni Soviet.
Saya memutuskan untuk meringkas apa yang terjadi pada tiap-tiap hari perjalanan tersebut.
Hari 1: Ketiga wartawan dari Indonesia sampai di Rusia dan disambut oleh Zakharov, perwakilan Rusia yang menemani mereka selama perjalanan. Sejak awal penulis sudah punya impresi yang buruk tentang Zakharov karena ybs punya masalah bau mulut.
Sejak awal penulis sudah mengeluhkan pelayanan di Rusia yang kurang baik. Salah satu buktinya adalah hotel tempat mereka tinggal yang memiliki perabotan yang berbeda antar kamar. Ada kamar yang mendapat minuman tapi tidak ada alat mandi, ada juga yang tidak dapat minum.
Hari pertama mereka bertemu dengan Khacathurov, Wakil Kepala kantor berita Novosti dan memperoleh "kuliah" tentang kemajuan Uni Soviet. Juga ada pertanyaan tentang mengapa volume transaksi Indonesia - Uni Soviet begitu rendah, yang oleh penulis dijawab bahwa hal ini mungkin terjadi karena pemerintah antipati pada negara yang bersifat sosialis (seperti Uni Soviet dan Cina) sebagai dampak dari peristiwa G-30S/PKI.
Ada analisa menarik dari penulis tentang kemungkinan propaganda dengan menyelipkan nama Tuhan. Khacathurov menggunakan frasa "God knows" saat menyebut bahwa Soviet tidak terlibat dalam pemberontakan G30S/PKI. Padahal Soviet terkenal akan keateisannya. Penggunaan frasa "God knows" pun jadi janggal.
Hari 1 berakhir dengan pertemuan dengan Ghaffar, Sekretaris I KBRI Moskow dan melihat pertunjukan balet.
Hari 2: Hari ke-2 diawali dengan terjadinya "teror". Isma, wartawati dari majalah Tempo, mendapat telepon dari seorang pria asing yang mengaku bernama Andrei dan memintanya untuk bertemu. Telepon di kamarnya kemudian diputus secara tiba-tiba entah oleh siapa. Saat memberitahukan hal itu pada Ghaffar, Ghaffar bereaksi, "Itu biasa di sini. Tidak usah dirisaukan."
Pada hari ke-2, ketiga wartawan berkunjung ke GKS, Komite Negara urusan Hubungan Ekonomi Luar Negeri. Mereka bertemu dengan Boris Koltsov, salah satu wakil kepala biro di GKS. Pembicaraan di sini berkisar pada rendahnya volume perdagangan Uni Soviet - Indonesia, kemajuan koperasi di Rusia, hingga kemungkinan alih teknologi yang akan dilakukan Uni Soviet jika Indonesia mau bekerja sama dalam hal ekonomi.
Pada akhir hari ini, ketiga wartawan, beserta Dubes RI dan Ghaffar, "menyetujui" bahwa mereka akan sedikit "melawan" dikte yang dilakukan Zhakarov dengan meminta pembatalan kunjungan ke badan pemerintahan lainnya pada hari ketiga dan diganti dengan acara jalan-jalan, serta perjalanan ke Kiev dengan menggunakan pesawat. Bukan menggunakan kereta seperti rencana semula.
Hari 3: Hari ini menjadi acara jalan-jalan bagi ketiga wartawan. Pada awal hari, penulis terkejut mendengar musik barat diputar di televisi pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh barat sudah mulai masuk ke Uni Soviet. Kemungkinan karena berjalannya program "Glasnost" (yang berarti "keterbukaan") yang dilakukan oleh pemerintah.
Pagi harinya, ketiga wartawan bertemu dengan Evgeny P. Bavrin, orang kedua di Kementerian Perdagangan Luar Negeri. Pembicaraan dengan Bavrin masih berputar di soal kemungkinan kerja sama Soviet - Indonesia dan pertanyaan soal rendahnya transaksi yang terjadi di antara kedua negara.
Siangnya, bersama Ghaffar, mereka makan di
satu-satunya restoran yang dikelola pihak swasta di Moskow. Namanya "Kropotskinkaya 36". Termasuk restoran mewah dan mahal.
Setelah makan siang, mereka pergi ke Kremlin, pusat pemerintahan Soviet yang terkenal akan keindahannya. Di sini penulis menceritakan tentang sejarah Kremlin, tentang Lapangan Merah, sera Museleum Lenin, museum tempat bapak revolusi Rusia yang posisinya hampir sama seperti tuhan bagi orang-orang Rusia. Di sini juga digambarkan tentang pertukaran tentara jaga di pintu gerbang musoleum. Dua orang tentara berdiri tegap tanpa boleh bergerak sedikit pun dan pergantiannya terjadi tiap 24 jam sekali.
Setelah puas jalan-jalan, ketiga wartawan berbelanja oleh-oleh. Penulis menuturkan soal kurang ramahnya penjaga toko di Rusia (yang mungkin disebabkan banyaknya
counter yang harus dilayani oleh satu penjaga sekaligus), juga tentang kurang baiknya barang buatan Rusia, seperti tisunya yang terlalu keras atau kameranya yang terlalu berat karena terbuat dari besi baja. Satu-satunya barang yang penulis puji hanyalah limosin buatan Rusia karena "kekar body-nya, disamping penuh wibawa." (hal. 55). Di sini juga saya akhirnya tahu bahwa 1 rubel=Rp 2.500 pada saat itu.
Hari ke-3 berakhir dengan perjalanan pesawat dari Moskow ke Kiev.
Hari 4: Hari 4 para wartawan berkunjung ke "Kiyevlyanka", sebuah pabrik garmen yang merupakan salah satu contoh kesuksesan Perestroika. Sebelum Peretroiska dilaksanakan, perusahaan-perusahaan Uni Soviet dimanja oleh pemerintahnya. Kerugian yang dialami perusahaan akan ditutupi oleh negara. Hal ini membuat perusahaan menjadi malas untuk berinovasi dan jalan di tempat.
Sesudah Perestroika dijalankan, perusahaan diwajibkan untuk menutup sendiri kerugiannya. Hal ini membuat para pengusaha harus bekerja keras agar tidak merugi. Hal ini mendorong hasil penjualan berbagai perusahaan. Salah satunya adalah Kiyevlyanka yang telah melakukan ekspor ke luar negeri, serta mampu menambah gaji pegawai sebesar 100 rubel lebih per bulannya.
Setelah dari pabrik garmen, para wartawan berkunjung ke sebuah surat kabar bernama "The Evening Kiev. Di sini diperlihatkan bagaimana Glasnost telah mengubah wajah surat kabar Uni Soviet.
Kalau sebelumnya surat kabar hanyalah corong pemerintah dalam melakukan propaganda, maka kini surat kabar sudah dapat berisi opini hingga kritik. Tidak melulu pidato atau peraturan pemerintah. Hal ini mengakibatkan naiknya oplah surat kabar dan juga gengsi wartwan di Soviet. Sebagai contoh, oplah The Evening Kiev sebelum Glasnost hanya 50.000 eksemplar. Setelah Glasnost berjalan, penjualannya mencapai 250.000 eksemplar lebih.
Hari 4 berakhir dengan menyaksikan pertunjukan tarian rakyat.
Hari 5: Pada hari ke-5 mereka pergi ke kantor APN dan berbincang dengan Vladimir Kolinko, wartawan yang meliput peristiwa Chernobyl 2 hari setelah ledakan terjadi. Selain bicara soal liputannya di Chernobyl, Kolinko juga menyayangkan propaganda Barat, khususnya Amerika, yang menjelek-jelekan Uni Soviet lewat media massanya. Padahal, menurut Kolinko, media Soviet tidak pernah menjelek-jelekan Amerika. Misalnya peristiwa
ledakan pesawat ulang-alik Challenger tidak digunakan media Soviet untuk menjatuhkan nama Amerika. Mereka hanya menulis fakta yang terjadi.
Hari 6: Hari 6 dibuka dengan adanya sedikit konflik dengan Zakharov. Zakharov memberitahu bahwa mereka akan terbang ke Dushambe pada pukul 14.00, padahal sebelumnya dikatakan bahwa mereka akan menggunakan penerbangan pagi. Zakharov beralasan bahwa penerbangan itu sudah diatur oleh pihak Moskow. Padahal sebelumnya dia berkata pada Isma bahwa penerbangan siang sengaja diambil untuk memberi Isma kesempatan berbelanja lagi. Hal ini membuat penulis mempertanyakan kejujuran Zakharov.
Sisa hari dilanjutkan dengan
sight seeing. Ditemani seorang pemandu wanita, ketiga wartawan pergi melihat museum Great Patriotic War, museum yang didirikan untuk memperingati kegigihan perlawanan Rusia terhadap serangan Nazi pada PD II.
Dari museum, mereka lanjut ke gereja St. Sofia Cathedral. Di sini selain mengagumi keindahan gereja tersebut, penulis juga mempertanyakan tentang kebebasan beragama di Soviet. Walau secara Undang-Undang tampak bahwa setiap individu berhak untuk beragama atau tidak beragama dan diperlakukan sama secara hukum, pada kenyataannya tatanan di Soviet cenderung mendukung rakyatnya untuk tidak beragama. Hal ini diperlihatkan dari fakta bahwa orang beragama tidak bisa menjadi anggota partai dan secara otomatis tidak bisa menduduki posisi tinggi dalam pemerintahan.
Hari 6 berakhir dengan menyusuri Sungai Dnieper dan melihat pertunjukan tari tradisional.
Hari 7: Percayakah Anda bila dikatakan bahwa buruh dan petani pun dapat dengan mudah membeli tiket pesawat di Rusia? Pada kenyataannya harga tiket pesawat di Rusia memang murah sekali. Harga PP Singapura-Moskow misalnya. Dengan Aeroflot, maskapai nasional Rusia, harganya hanya sekitar USD 600. Padahal dengan Singapore Airlines, harganya mencapai USD 2000! Bagaimana bisa?
Jawabannya adalah: subsidi. Subsidi di Rusia, pada masa itu, mencapai 73 miliar rubel (Rp 182,5 trilyun), atau 6 kali APBN Indonesia tahun 1987-1988. Itu pun baru sebagian dari jumlah APBN Rusia. Bisa dibayangkan bagaimana besar keinginan pemerintah Rusia untuk memberi ilusi kemakmuran ekonomi pada rakyatnya.
Selain kontemplasi penulis tentang subsidi di Rusia, dia juga sempat pergi ke St. Cyril Church, Babiy Yar yang terkenal sebagai tempat perpisahan para warga yang akan dieksekusi oleh tentara Jerman pada PD II, dan juga October Revolution Square.
Hari 7 ditutup dengan pendaratan di Dushanbe, Tajikstan.
Hari 8: Pada hari ke-8, penulis kembali mengeksplorasi tentang kebebasan beragama di Soviet dengan berkunjung ke Mesjid Movlana Yakubi Charhi, salah satu mesjid terbesar di Tajikstan (yang sayangnya tidak bisa saya temukan di Google. Entah kenapa).
Tajikstan memang berbeda dengan Rusia. Termasuk dalam lingkup yang sering disebut sebagai Asia Tengah, Tajikstan memang mempunyai sejarah Islam yang kuat. Hal ini terbukti dari banyaknya budaya Islam dan catatan sejarah tentang Islam di bagian Soviet yang ini.
Lalu bagaimana soal agama di tempat ini? Menurut Ali Beknazar, imam di mesjid yang penulis kunjungi, pemerintah "mendukung" perkembangan agama di sana. Buktinya pemerintah memberi material untuk pembangunan mesjid di tempat itu, walau pemeliharaannya kemudian harus diurus sendiri. Saat ditanya apakah ada tekanan dari pemerintah, sang imam menjawab bahwa tidak ada tekanan.
Hanya saja penulis mempunyai kecurigaannya sendiri. Uni Soviet terkenal akan kegarangannya pada umat beragama. Bahkan belum lama, pada waktu itu, pemerintah baru saja melakukan penekanan besar-besaran pada umat Kristen di desa Gruchevo, Ukraina. Selain itu, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, umat beragama juga dilarang menjadi anggota partai. Penulis bahkan menduga jangan-jangan semua jawaban itu telah dipersiapkan sebelumnya. Apalagi ada banyak pihak asing yang sering berkunjung ke tempat itu. Bisa jadi seluruhnya hanya skenario pencitraan pemerintah Soviet.
Hari 9: Di hari ke-9 para wartawan mengunjungi Bendungan Nurek yang merupakan bendungan tertinggi di dunia (pada 2013 berhasil dilewati oleh Bendungan Jinping-I di Cina). Bendungan itu terkenal karena teknik pembangunannya yang tidak menggunakan beton dan juga karena listrik yang dihasilkannya merupakan terbesar ke-2 di seluruh Uni Soviet.
Setelah dari Nurek, rombongan pergi ke kolkhos, yang merupakan bahasa Rusia untuk "pertanian kolektif". Di tempat itu mereka mengunjungi keluarga petani yang memimpin brigade pertanian di tempat itu. Di setiap kolkhos sendiri terdiri dari beberapa brigade (semacam tim).
Di kolkhos itu penulis mempertanyakan (dalam hati) kenapa WC di tempat itu begitu kotor, padahal pemilik tempat itu mengaku berpenghasilan 13 ribu rubel/tahun. Masa iya tidak mampu untuk membangun WC yang lebih baik?
Hari 9 berakhir dengan menyaksikan tari-tarian serta nyanyian.
Hari 10: Hari 10 dibuka dengan penerbangan "empat sekawan" dari Dushanbe ke Moskow. Di pesawat, penulis bertemu dengan seorang profesor asal Tajikstan dan berbincang dengannya.
Menurut pengakuan sang profesor, gaji seorang pengajar dan peneliti di Soviet lebih rendah daripada buruh. Seorang buruh dapat mengantongi 350 rubel/bulan, sedangkan seorang dosen hanya memperoleh 150 rubel/bulan dan seorang peneliti senior hanya digaji 200 rubel. Hal ini memang sejalan dengan pandangan negara sosialis yang menilai tinggi posisi buruh. Bagi kaum sosialis, buruh adalah tulang punggung negara.
Hanya saja lewat perestroika, keadaan mulai membaik bagi para cendekiawan. Selain kini memperoleh kebebasan untuk melakukan penelitian (sebelumnya mereka hanya boleh meneliti hal yang diperintahkan), pendapatan mereka juga mulai ditingkatkan pemerintah.
Di Moskow, mereka melakukan pertemuan dengan Nikolai I. Efimov, Wakil Pemimpin Redaksi "Izvestia", koran resmi pemerintah Uni Soviet. Di sini kembali mereka berbicara tentang pers Soviet yang sudah memperoleh kebebasannya, serta bagaimana pers di Soviet lepas dari pengaruh "press tycoon" (penyensoran berita tertentu karena ada pengaruh orang luar) seperti di Amerika. Walau begitu, tetap saja ada batasan yang tidak boleh dilanggar dalam menulis berita, seperti tidak boleh menulis berita yang mempropagandakan peperangan atau bersifat porno.
Hari 11: Hari 11 dimulai dengan kesulitan penulis dalam menukar uang. Di Soviet, peraturan pengawasan peredaran mata uang asingnya memang ketat sekali. Saat orang asing tiba di sana, mereka diharuskan mengisi "custom declaration" yang berisi berapa total uang yang dibawa dan dalam mata uang apa. Nantinya saat akan keluar dari Soviet, lembar yang sama harus diisi dengan jumlah uang yang tersisa dan rubel yang ada akan ditukar lagi ke valuta asing. Uang yang keluar harus dibuktikan dengan struk belanja.
Masalah timbul bagi penulis karena dia dan kedua rekannya tidak mengisi form itu. Saat sampai mereka dibawa ke ruang VIP dan semua prosedur imigrasi diurus oleh Zakharov. Orang Rusia sangat ketat dalam menjalankan peraturan. Kalau aturan bilang A, maka harus A. Tidak peduli apa alasannya, harus tetap A. Sayang di sini tidak dijelaskan bagaimana hasil akhir usaha tukar uang si penulis.
Hari 11 adalah hari "bebas". Sekali lagi mereka bertiga mengunjungi Lapangan Merah. Kali ini tanpa Zakharov. Mereka memang jadi lebih bebas, tapi bahasa kini yang jadi kendali.
Selain ke Lapangan Merah, mereka juga pergi berbelanja ke GUM, pusat perbelanjaan di samping Kremlin. Malamnya penulis dan Isma menyaksikan pertunjukan balet.
Hari 12: Lagi-lagi terjadi pertikaian dengan Zakharov. Kali ini yang bertikai bukanlah si penulis, tapi Isma. Bukan hanya sekali, tapi langsung dua kali Isma "berkelahi" dengan Zakharov pada hari itu.
Yang pertama soal tiket. Tiket penerbangan Isma ke Jepang, yang diurus oleh Zakharov, belum kunjung
fix. Padahal dia akan melanjutkan perjalanan ke Jepang setelah urusan di Soviet selesai.
Yang kedua, gara-gara pertanyaan Zakharov soal G30S/PKI.
"Berapa banyak orang komunis yang dibunuh waktu itu, tanya Zakharov dengan nada sinis." (hal. 181)
Kontan hal ini membuat Isma marah dan bertanya balik, berapa banyak juga rakyat Indonesia yang dibunuh secara keji oleh orang komunis sebelum terjadi G30S/PKI? Pembicaraan berkembang ke arah, lagi-lagi, kenapa Indonesia menjadikan G30S alasan untuk "menghambat" hubungan ekonomi dengan Soviet.
Menurut penulis, prinsip politik luar negeri Soviet adalah mensosialiskan dunia. Hal ini berdasarkan tafsir dari buku keluaran Soviet sendiri. Hal inilah yang membuat pemerintah berhati-hati dalam menjalin hubungan dengan Soviet.
Setelah perjalanan pesawat selama 1 jam, rombongan akhirnya tiba di Leningrad. Di sini mereka berkunjung ke Museum Hermitage, museum yang dibangun atas perintah Tzarina Catherine Agung. Hermitage terkenal karena sejumlah tiang utamanya dibangun dari batu
malakit. Selain itu, ada sekitar 3 juta karya seni dari berbagai negara di sini. Ada setidaknya 15.000 lukisan, termasuk karya pelukis besar seperti: Da Vinci, Raphael, Rembrandt, Renoir, dan Picasso.
Hari 13: Hari ini menjadi hari
city tour bagi ketiga wartawan. Mereka mengunjungi Katedral St. Isaac yang merupakan salah satu dari empat katedral terbesar di dunia, lalu ke St. Isaac Square, tempat patung Peter Agung diletakkan.
Malam harinya, seluruh kekesalan ketiga wartawan tumpah juga atas Zakharov. Kali ini gara-gara Zakharov memesankan tur domestik, yang penjelasan turnya dalam bahasa Rusia, bagi mereka mengelilingi sebuah kanal kecil. Ada 2 masalah. Satu, tentu saja mereka tidak mengerti sepatah kata pun yang keluar dari mulut pemandu. Zakharov memang "berbaik hati" mau menerjemahkan, tapi penulis menolak karena itu justru akan mengganggu penumpang yang lain. Dua, tadinya mereka meminta tur mengelilingi Sungai Neva, sungai yang terkenal di Leningrad, tapi entah kenapa Zakharov malah memberi mereka tur seperti itu.
Hari 14: Hari ini menjadi hari perpisahan dengan Isma. Wartawati Tempo itu meninggalkan Uni Soviet sehari lebih awal karena akan terbang ke Jepang. Hanya tiket tanggal 24 Agustus yang berhasil Zakharov peroleh untuk Isma.
Sebelum keberangkatan Isma, mereka masih sempat melakukan kunjungan ke balaikota dan bertemu dengan Valeri Radhenko, Wakil Kepala Komisi Perencanaan Kota. Penulis agak kecewa karena mereka hanya bertemu dengan orang yang posisinya agak "bawah". Dalam istilah penulis, "Buat apa ngomong dengan pejabat perencanaan kota?" (hal. 226).
Di balaikota mereka bicara soal
reshuffle besar-besaran dalam tubuh Dewan Kota Leningrad, perpajakan bagi badan usaha pribadi, serta subsidi pemerintah bagi wiraswastawan.
Setelah melepas Isma pada pukul 14.00, Yopi dan penulis mengunjungi Peterdrovets, istana musim panas yang dibangun oleh Peter Agung. Istana ini terkenal akan keaslian tamannya dan keberadaan sekitar 2.000 air mancur di istana itu.
Setelah berkunjung ke Peterdrovets, mereka kembali ke hotel dan bersiap untuk menghabiskan malam terakhir mereka di Soviet.
Hari 15: Sebelum berangkat kembali ke Indonesia, Yopi dan penulis melakukan wawancara dengan Igor Rogachev, salah satu Wakil Menteri Luar Negeri Uni Soviet.
Hal-hal yang dibicarakan antara lain: bagaimana peranan Soviet dalam masalah Kamboja (dalam masalah rezim Pol Pot dan Khmer Merah waktu itu), bagaimana peranan Mochtar Kusumaatmadja, Menteri Luar Negeri Indonesia waktu itu, dalam masalah Kamboja itu, serta usaha reformasi hubungan luar negeri Soviet-Cina.
Setelah wawancara dengan Rogachev selesai, kedua wartawan berkunjung ke Glaskosmos, semacam NASA-nya Soviet. Di sini ada disinggung sedikit soal kerja sama antariksa Soviet-Indonesia (yang pada waktu itu memang mulai ramai dibicarakan), serta kemungkinan pembiayaan peluncuran satelit Palapa 2R dengan bantuan Soviet.
Malamnya, pada pukul 20.40, kedua wartawan naik ke pesawat dan terbang meninggalkan Soviet sepuluh menit kemudian.
Selamat tinggal Moskow!
Engkau memberi kesan melankolik tapi sekaligus kesan mengerikan.
Melankolik, sehingga engkau memikat jutaan pelancong[...]. Tapi bagi saya, engkau juga mengerikan di samping sangat tidak ramah. Taman-taman hijau dengan bunga merah memang meneduhkan, tapi engkau membisu setiap kali kami ingin menanyakan sesuatu tentangmu. (hal. 261)
Secara keseluruhan
Saya suka dengan buku ini. Selain membahas soal turisme, budaya, serta kehidupan di Soviet, penulis juga menulis soal politik dalam dan luar negeri Soviet.
Saya juga suka gerutuan dan perkelahiannya dengan Zakharov yang, buat saya, lucu. Saya bahkan membayangkan perjalanan ini semacam
reality show dan ada adegan
shooting penulis, Isma, atau Yopi mengeluarkan unek-unek di sebuah ruangan.
Sayang ada banyak sekali
typo di buku ini. Selain itu penggunaan di+kata tempat di buku ini juga banyak yang disambung.
Kalau saja jumlah
typo-nya lebih sedikit, saya akan memberi bintang 5 untuk buku ini.
Buku ini untuk tantangan baca:
-
Membaca Sastra Indonesia 2013
-
Serapium Reading Challenge 2013
-
Nerdy Non-Fiction Reading Challenge 2013
View all my reviews