My rating: 2 of 5 stars
Judul: Pertanyaan Kepada Kenangan
Penulis: Faisal Oddang
Penerbit: Gagas Media
Halaman: 200 halaman
Terbitan: Januari 2016
Dapatkan "Pertanyaan Kepada Kenangan" di BukaBuku
Di Makassar, dan barangkali di tempat kau sekarang membaca kisah ini; kenangan sering kali datang bukan pada waktu dan tempat yang tepat.
Rinailah Rindu, perempuan Jawa itu memandang Pantai Losari sekali lagi. Mengenang rencana pernikahannya yang karam tiga tahun silam.
Namun, bukan kehilangan itu yang ia sesali, melainkan mengapa dia kembali? Tanya itulah yang menuntut jawaban pada kisah yang seharusnya telah usai.
Kehilangan telah membuat Rinai mengerti bahwa manusia tidak pernah memiliki apa pun, bahkan perasaannya sendiri. Ia bersetuju dengan keadaan, bahwa Wanua, laki-laki Bugis itulah harapan baru baginya. Lamba, bangsawan Toraja yang pernah mematahkan hatinya, hanya perlu berakhir sebagai kenangan.
Sayangnya, terkadang hati dan ingatan tak selalu sejalan.
Rinai tak ingin terluka lagi, tetapi kali ini, apakah takdir akan berbaik hati pada cinta juga kebahagiaannya?
Review
"Pertanyaan Kepada Kenangan" bercerita tentang Rinailah Rindu, seorang wanita yang pernah berpacaran serius dengan Lamba Dondi, seorang pria Toraja yang memegang teguh adatnya. Hubungan mereka sayangnya tidak dapat melangkah lebih jauh sebelum Lamba melaksanakan upacara rambu solo untuk memperingati kematian ayahnya. Biaya rambu solo yang besar membuat Lamba membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengumpulkan uang demi upacara itu.
Di sisi lain ada pula Wanua Maraja, sahabat Lamba dan Rinai yang menyimpan perasaan pada gadis itu. Tidak ingin kehilangan Rinai sekali lagi, Wanua memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya, tapi sanggupkah Rinai menerima Wanua, atau dia justru akan kembali pada Lamba yang kini telah mapan secara ekonomi dan sanggup melanjutkan hubungan mereka yang tertunda dulu?
Si Rinai ini... benar-benar tipe orang yang paling menjengkelkan untuk di-PDKT-in. Pokoknya sial banget kalau suka sama orang seperti ini. Bayangkan, si Wanua sudah bilang dari awal cerita kalau dia itu suka sama Rinai dan bahkan minta Rinai jadi kekasihnya (di halaman 9), tapi Rinai kemudian seolah amnesia dan dalam hati bertanya, "Wanua mencintaiku? Dia selalu bercerita ke Tenri atas perasaannya?" (hal. 125). Lah? Itu yang Wanua bilang di awal kamu anggap apa coba?
Wanua juga sebenarnya minta dijitak banget, sih. Masa di awal bilangnya "I will wait for you there like a stone" (hal. 10), tapi baru dengar berita yang belum tentu benar saja, dan tanpa dikonfirmasi dulu, dia langsung menyerah untuk mengejar Rinai. Wartawan harusnya kan cover both sides. Jangan baru dengar secubit sudah main ditelan saja.
Lamba juga salah satu yang bikin geregetan. Jadi, si Lamba ini memulai usaha warung kopi/kafe. Tujuannya adalah untuk mengumpulkan uang untuk rambu solo ayahnya. Nah, dia kemudian menyembunyikan hal ini dari Rinai. Untuk apa? Kalau dia bilang dari awal, mereka bisa jadi masih bersama. Si Lamba bisa beri tahu Rinai rencana ke depannya bagaimana, prospek kafenya seperti apa, dan kira-kira butuh berapa lama agar seluruh dana terkumpul, acara dilaksanakan, dan mereka bisa menikah. Dia bisa tanya apa si Rinai mau menunggu atau tidak? Toh si Rinai ini tidak kebelet kawin.
Jadi, pesan moral buku ini adalah: malu bertanya, cinta melayang.
Untuk latarnya, okelah. Soal Toraja dan Makassarnya dapat banget. Cuma saya susah untuk masuk ke logatnya Wanua. Mungkin karena dia tidak memasukkan partikel seperti mi, ki, ji, dll dalam percakapannya, tapi susunan katanya terasa Makassar banget.
Secara keseluruhan, latar ceritanya sudah baik. Penggambaran Toraja dan adatnya sudah kena banget. Cuma saya rada jengkel baca cerita cintanya. Semacam minta ditabok semua karakternya.
Kenangan selalu saja datang pada tempat dan waktu yang salah, tetapi kita sama sekali tidak boleh menyalahkannya, menyalahkan waktu, dan menyalahkan diri sendiri, kita hanya perlu mengalahkannya.
View all my reviews
Hahaha, membaca review buku ini, saya ikutan gemas. Saya kira penulis menampilkan karakter pria yang feminim. Sebab, biasanya pria yang dewasa tidak semenjengkelkan itu.. Tapi masih penasaran sih pengen baca bukunya juga.
suka reviewnya
Review yang ringan dibaca. Mengajak orang untuk membaca.