My rating: 2 of 5 stars
Judul: Garuda Riders
Penulis: A. R. Wirawan
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Halaman: 328 halaman
Terbitan: Januari 2013
Naradja, seorang anak petani, suatu hari mendapati bahwa dirinya mampu berbahasa Garuda. Marsekal Badawang yang mengetahui hal ini kemudian memutuskan untuk menariknya masuk di Akademi Angkatan Udara Kurmapati dan dimulailah hari-hari Naradja sebagai seorang prataruna di sana.
Naradja yang sering mengalami mimpi buruk kemudian bertemu seorang pria sakti yang mengatakan bahwa dirinya harus mengumpulkan delapan elemen dewa untuk menghindari masa depan mimpi yang dilihatnya. Bersama dengan kelompoknya di Angkatan Udara, Naradja pun melakukan perjalanan mengumpulkan delapan elemen tersebut.
Review
Hng... Inti trilogi ini sih gak sesederhana ringkasan saya di atas. Ringkasan di atas itu lebih meringkas isi buku ini dan bukan keseluruhan trilogi "The Adventures of Wanara". Kalau lingkup besarnya sih, masih ada lagi hubungannya dengan pembantaian ras Asura oleh kelompok Raksasaghna.
Buku ini dibuka dengan baik. Bab satunya keren. Saya suka banget dengan bab itu. Pertarungan yang disajikan bagus dan saya langsung suka dengan Katunara, si panglima Raksasaghna yang menggunakan ilmu sihir leak. Kapan coba pernah ada tokoh antagonis berilmu leak?
Sayangnya bab 1 itu merupakan bab paling menarik buku ini ._.
Bab-bab selanjutnya lebih banyak berisi tentang kehidupan keluarga Naradja, masa belajarnya di akademi, dan petualangan Naradja mengumpulkan delapan elemen.
Melihat blurb buku ini, awalnya saya mengira trilogi ini setipe dengan "Ther Melian". Perjalanan mengumpulkan sesuatu. Ternyata enggak. Kedelapan elemen itu semuanya berhasil terkumpul dalam 1 buku ini. Perjalanan mengumpulkan 8 elemen, semuanya disingkat dalam 1 buku setebal hanya 328 halaman. Apa insting pertamamu ketika mendengar hal ini?
Kalau tebakan Anda adalah petualangan yang enggak banget, I won't blame you. Menurut saya perjalanannya mereka memang enggak banget.
Saya sebenarnya sampai saat ini masih bingung dengan delapan elemen dewa ini. Mereka sebenarnya sepenting apa sih? Kalau di Ther Melian kan cukup jelas. Mereka cukup penting sampai dibangun kuilnya dan bahkan diletakkan penjaga. Bahkan relik di TM masih dijaga lagi dengan seorang guardian. Lah di sini? Kayak barang dibuang-buang. Ada penjaga? Ada. Ada ujian? Ada, tapi kacrut. Sorry kalau saya bilang ujiannya kacrut. Tapi mencari elemen dewa dalam kerang tanpa penjagaan? Membebaskan seorang dewi dari kutukan dengan barang yang dikasih begitu saja oleh makhluk yang tidak sengaja ditemui? Sigh.
Keluhan lain tentang buku ini ada di setting. Saya bingung setting dunia "Garuda Riders" ini sebenarnya kayak apa. Kalau melihat "blurb"-nya, saya langsung kepikir masa-masa kerajaan dulu-dulu gitu, atau minimal settingnya serupa lah. Tapi saya salah. Settingnya kayaknya agak lebih maju dari itu. Soalnya ada poster kemudian ada dibicarakan soal para peneliti yang meneliti soal kandungan karbohidrat, zat besi, dsb pada makanan garuda. Selain itu gelangnya mereka (namanya apaan yah, lupa) kayaknya termasuk canggih deh. Ada hologramnya segala. Di kepala saya, saya tidak pernah bisa menggambarkan setting yang pas. Semuanya terasa cair. Tidak pernah bisa terbangun menjadi satu bentuk yang padat.
Masih soal cair, satu lagi yang bentuknya cair adalah karakteristik. Khususnya karakteristik teman-teman kelompok Naradja yang ikut dalam perjalanan mengumpulkan elemen dewa. Selain Naradja dan Laksmi, saya kadang tidak bisa membedakan ketiganya. Karakteristik mereka kurang menonjol. Saya tidak pernah bisa merasa dekat atau punya suatu perasaan pada tiga orang lainnya (Lembu Kendil, Malore, dan Baning).
Saya juga merasa bangunan tokohnya terasa cair. Si Naradja ini tipe manusia-kera. Lalu ada lagi (sepertinya) gabungan manusia dan kura-kura, ada lagi setengah macan. Bahkan ada blasteran gajah dan ikan. Nggak masalah sih kalau banyak makhluk begini, hanya saja karakteristiknya tidak jelas. Semisal yang setengah kura-kura dan setengah macan. Dua-duanya ada di kelompok Naradja, tapi tingkah laku mereka tidak jauh berbeda. Akibatnya saya tidak ngerti juga mana yang mana. Bedanya paling yang setengah kura-kura bisa berenang. Tidak terasa perbedaan karakternya.
Bicara soal blasteran gajah-ikan di atas, tokoh ini yang benar-benar bikin saya ngakak gegulingan. Karena lucu? Bukan. Karena mempertegas kebingungan saya membayangkan dunia di "Garuda Riders" ini. Saya kan membayangkan masa yang lebih "dulu". Soalnya mereka bahkan memakai kata 'kisanak' untuk memanggil orang yang lebih tua. Kesannya jadi mirip dengan novel Gajah Mada-nya Langit Kresna Hariadi, tapi gajah-ikan satu ini gaul sekali. Kutipan favorit saya di buku ini datang dari yang bersangkutan di hal. 226
"Dari Ayodhya?" gumam Makara. "Terus aku harus bilang 'wow' gitu?"
Lalu dilanjutkan dengan...
"Duuuh, kasih tahu nggak ya? Kasih tahu nggak ya?"
Untung bukan ditulis, "Kasih tahu nggak eaaaahhh?? Mau tahu aja apa mau tahu banget?"
Bahasa yang digunakan di sini memang agak gaul. Di depan-depan malah ada bicara soal berpikiran positif.
"Positif, sayangku!" Anindya tampak geram, "Kita harus selalu berpikiran yang positif!" (hal. 26)
Saya benar-benar bingung membayangkan dunia di novel ini.
Soal typo sudah bagus. Saya cuma nemu satu pemenggalan kata yang salah. Di halaman 100 ada pemenggalan kata 'sampingn-ya' akibat batas margin. Harusnya 'samping-nya'. Kerja bagus untuk editor dan proof reader.
Secara keseluruhan saya memberi dua bintang untuk novel ini. Buku pertama ini memang kurang memuaskan untuk saya. Hanya saja saya kembali mengingat bab 1 dan sadar bahwa buku ini punya potensi untuk kembali menghadirkan pertarungan-pertarungan semacam di bab itu. Satu setengah bintang untuk novel ini, tambah setengah bintang lagi untuk nilai harapannya. Semoga ada lebih banyak pertarungan epik seperti di bab pembuka novel ini di buku-buku selanjutnya.
Buku ini untuk tantangan baca:
- 2013 New Authors Reading Challenge
View all my reviews
wkwkwkw emang kalo baca buku novelnya doang bingung,elu harus baca cerita ramayana biar agak paham,misalnya kenapa teknologinya maju padahal jaman kerajaan?.Itu kan udah 5000 tahun setelah ramayana waktu rama lawan rahwana itu loh ya jelas berkembang lah.Menurutku kalo bab selanjutnya setelah bab 1 cuma nyeritain Naradja itu malah bagus untuk perkembangan karakter kenapa elu malah ngomel.Novel ini lebih dulu daripada Attack on Titan tapi cerita mirip dan bisa saya bilang selevel seperti pembantaian keturunan rahwana mirip sama pembantaian subjek ymir,keturunan harus menanggung dosa leluhurnya.Bangga indonesia bisa bikin novel kayak gini,memang kau bisa bikin novel sebagus Garuda riders orang mah bikin jangan ngehujat doang bisanya
Belum lagi cerita yang dibawakan kompleks dan sangat seru untuk diikuti