-
Review Novel: Perempuan-Perempuan Tersayang - Okke Sepatumerah
Friday, August 21, 2015
Perempuan-Perempuan Tersayang by Okke Sepatumerah
My rating: 3 of 5 stars
Judul: Perempuan-Perempuan Tersayang
Penulis: Okke Sepatumerah
Penerbit: Gagas Media
Halaman: 276 halaman
Terbitan: Mei 2015
Pernahkah kau mendengar kisah dari Kota SoE, kota kelahiranku?
Ya, tadinya aku pun berpikir sama denganmu, tak ada yang menarik dari kota yang berjarak lebih dari seratus kilometer dari Kupang, ibu kota Nusa Tenggara Timur itu.
Maka, aku meninggalkannya.
Dan, di ruas Ibu Kota, aku menemukan cinta.
Menegakkan mimpiku hampir sempurna.
Namun, hidup tak selalu memihak pada mimpi yang sempurna, bukan?
Mau tak mau, aku harus kembali ke SoE.
Aku pulang, meninggalkan cinta dan harapan akan masa depan.
Pernahkah kau mendengar kisah dari Kota SoE, kota kelahiranku?
Tadinya, aku pun berpikir sama denganmu, tak ada yang istimewa darinya.
Namun, ternyata aku lupa akan indahnya barisan bugenvil yang mekar serentak di tepi-tepi jalannya.
Aku lupa sempat kutitipkan cinta malu-malu di sana.
Lalu, maukah kau menelusuri bersamaku kelok jalannya yang berbatu-batu?
Menikmati siur dingin udaranya sambil kita perbincangkan lagi cinta yang sering kau lupa.
Mungkin kau sama denganku, cinta yang sebenarnya justru kau temukan saat kau pikir kau sedang kehilangan.
Jadi, dengarlah kisah dari Tana Timor ini.
Review
"Perempuan-Perempuan Tersayang" bercerita tentang Fransina, gadis Timor yang terpaksa pulang ke SoE, Timor Tengah Selatan, NTT, karena sebuah masalah keluarga. Terpaksa meninggalkan pacarnya serta berbagai kesempatan kerja di Jakarta, Fransina pulang dengan hati uring-uringan, serta menyalahkan adiknya yang dia anggap sebagai penyebab masalah.
Di SoE inilah, di kampung halamannya, Fransina mengevaluasi kembali dirinya, serta mempertanyakan apa yang selama ini dia anggap penting. Di SoE jugalah dia bertemu seorang pria yang mampu membuat hatinya berdebar-debar, yang mampu membuatnya meragukan perasaannya pada pacarnya di Jakarta yang kini mulai berubah.
Ini buku kedua dari seri Indonesiana yang kubaca. Sebelumnya sudah baca Di Bawah Langit yang Sama (review di sini).
Kalau boleh jujur, antara "Di Bawah Langit yang Sama" dengan "Perempuan-Perempuan Tersayang" ini butuh untuk saling transfer kelebihan masing-masing. Dari segi cerita/plot, saya lebih suka novel ini. Tapi, dari segi cara bercerita, saya lebih suka "Di Bawah Langit yang Sama".
Cara narasinya terlalu mengandalkan 'tell', khususnya di bagian awal. Ada banyak bagian yang saya rasa akan lebih baik kalau ditunjukkan pada pembaca. Hal-hal seperti keadaan mental Fransina, kehidupan sehari-hari yang membosankan, hingga keadaan kota SoE yang katanya tidak ada harapan bekerja untuk Fransina (yang sesuai keahliannya di bidang entah periklanan, bahasa, atau ilmu komunikasi. Tidak disebutkan dengan spesifik), pasti bisa lebih menarik kalau ditunjukkan dengan lebih detail.
Untuk ceritanya, saya cukup suka. Penyelesaiannya juga bagus, walau saya masih bingung dengan Fransina dengan Fritz yang tiba-tiba jadi gantung gitu. Kalau bisa, sih, ada lebih banyak adegan yang menunjukkan perkembangan dalam keluarganya Fransina.
Btw, melihat Fransina di novel ini, saya jadi kepikiran salah satu puisinya Rendra. Saya kutipkan di sini:
Sajak Seonggok Jagung
Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda
yang kurang sekolahan.
Memandang jagung itu,
sang pemuda melihat ladang;
ia melihat petani;
ia melihat panen;
dan suatu hari subuh,
para wanita dengan gendongan
pergi ke pasar ………..
Dan ia juga melihat
suatu pagi hari
di dekat sumur
gadis-gadis bercanda
sambil menumbuk jagung
menjadi maisena.
Sedang di dalam dapur
tungku-tungku menyala.
Di dalam udara murni
tercium kuwe jagung
Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda.
Ia siap menggarap jagung
Ia melihat kemungkinan
otak dan tangan
siap bekerja
Tetapi ini :
Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda tamat SLA
Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.
Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.
Ia memandang jagung itu
dan ia melihat dirinya terlunta-lunta .
Ia melihat dirinya ditendang dari diskotik.
Ia melihat sepasang sepatu kenes di balik etalase.
Ia melihat saingannya naik sepeda motor.
Ia melihat nomor-nomor lotre.
Ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal.
Seonggok jagung di kamar
tidak menyangkut pada akal,
tidak akan menolongnya.
Seonggok jagung di kamar
tak akan menolong seorang pemuda
yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
dan tidak dari kehidupan.
Yang tidak terlatih dalam metode,
dan hanya penuh hafalan kesimpulan,
yang hanya terlatih sebagai pemakai,
tetapi kurang latihan bebas berkarya.
Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.
Aku bertanya :
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
di tengah kenyataan persoalannya ?
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya ?
Apakah gunanya seseorang
belajat filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,
atau apa saja,
bila pada akhirnya,
ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata :
“ Di sini aku merasa asing dan sepi !”
Saya merasa Fransina seperti layang-layang ibukota yang pulang ke daerahnya dengan kikuk, lalu berkata, “Di sini aku merasa asing dan sepi!”.
Secara keseluruhan, tiga bintang. Buku ini saya rekomendasikan untuk penyuka konflik keluarga, serta yang penasaran dengan kehidupan di SoE.
Buku ini untuk tantangan baca:
- 2015 New Authors Reading Challenge
- 2015 Lucky No 15 Reading Challenge
View all my reviewsPosted by Biondy at 11:26:00 AM | Labels: 2015 Lucky No. 15 , 2015 New Authors Reading Challenge , GagasMedia , Indonesiana , Membaca , Novel , Okke Sepatumerah , Review , Review Buku |
susahnya menemukan novel yg memaparkan detail suatu daerah dan itu kali kesusahan penulis mengajak pembacanya agar ikut membayangkan.. novel ini pun berarti blm sepenuhnya memenuhi keberhasilan mengajak pembaca berimajinasi