Rss Feed
  1. Isinga: Roman PapuaIsinga: Roman Papua by Dorothea Rosa Herliany
    My rating: 4 of 5 stars

    Judul: Isinga: Roman Papua
    Penulis: Dorothea Rosa Herliany
    Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
    Halaman: 218 halaman
    Terbitan: Januari 2015

    Selang beberapa hari, Malom datang. Ia minta Irewa pulang. Mama Kame dan Bapa Labobar tak bisa mencegah. Malom adalah suami yang sah. Orangtua Malom sudah membeli Irewa dengan sejumlah babi-babi sebagai mas kawin. Selain itu, Irewa juga seorang yonime, juru damai dua pihak yang bermusuhan. Irewa harus mau untuk kembali ke Hobone. Kembali ke kehidupan sehari-harinya yang berat. Mau atau tidak, ia harus menjalaninya. Tak ada pilihan.

    Kehamilan demi kehamilan, keguguran demi keguguran tidak mengurangi niat Malom untuk terus punya anak. Malom berpikir itu sudah menjadi tugasnya sebagai laki-laki. Tugas yang diminta masyarakat. Suami harus mengawini istri agar menghasilkan anak. Perempuan adalah makhluk yang mendatangkan kesuburan. Anak laki-laki berguna untuk menuntut pengakuan akan tanah dan simbol penerus keturunan. Makin banyak anak laki-laki, makin berharga dan bermartabat. Tanah luas dan keturunan banyak. Anak laki-laki juga berguna agar prajurit mati ada yang menggantikan. Anak perempuan bernilai ekonomi. Perempuan berguna untuk mendapatkan mas kawin dan harta adat (babi).

    Review

    "Isinga: Roman Papua" bercerita tentang Meage, seorang anak dari Aitubu, salah satu suku di Papua, serta Irewa, seorang gadis Aitubu yang merupakan calon istri Meage. Karena suatu peristiwa, Irewa akhirnya harus berpisah dengan Meage dan menikahi pria dari suku lain sebagai lambang perdamaian antar suku.

    Sesuai judulnya, "Isinga" ini memang merupakan sebuah kisah roman. Bukan dalam artian bahwa ini adalah sebuah novel percintaan, tapi lebih ke arah "karangan prosa yang melukiskan perbuatan pelakunya menurut watak dan isi jiwa masing-masing" (menurut KBBI).


    Ceritanya sendiri mengambil jangka waktu puluhan tahun. Bukan hanya bercerita tentang kehidupan Meage dan Irewa, tapi juga tentang modernisasi di Papua. Bagaimana kehidupan masyarakat Aitubu, yang tadinya sangat tradisional dengan cawat, hidup berburu, dan segala adat istiadatnya, terpaksa harus tunduk pada kehidupan modern dan pemerintah, yang kadang terjadi sebagai akibat dari kekerasan dan kegagalan pendekatan sosial.

    Suatu hari perkampungan itu didatangi orang dari pemerintah. Pemerintah menganggap tata cara kehidupan mereka semua terlalu sederhana. Cara hidup, peralatan yang dipakai untuk hidup, dan cara berpakaian. Pemerintah berpikir, mereka harus lebih maju dari itu. Harus ada sesuatu yang diubah. Pemerintah meminta orang Rao mengganti koteka dengan pakaian, yakni celana pendek. Orang Rao takut menuruti hal itu karena tidak sesuai dengan agama asli mereka. Juga bertentangan dengan kebiasaan yang sudah ada selama ini. Pemerintah memaksa. Akhirnya mereka memakai celana pendek, tapi dengan cara sebagaimana kalau mereka memakai koteka. Dipakai terus-menerus tak pernah ganti. Sabun mereka tak kenal. Iklim di Papua sering ekstrem. Curah hujan tinggi. Akhirnya mereka terkena penyakit kulit. Ada yang benar-benar terganggu dan tak terobati. (hal. 102)


    Hal ini membuat Orang Rao kembali memakai koteka, tapi saat orang pemerintah mengetahui hal ini, mereka marah dan menganggap Orang Rao melanggar hukum dan memberikan hukuman bagi Orang Rao.

    Tidak hanya masalah pakaian. Masalah pemaksaan pembebasan lahan oleh pemerintah demi program transmigrasi dan paksaan untuk memilih salah satu partai pada pemilu juga menjadi salah satu hal yang sempat dibahas buku ini.

    Masalah modernisasi di Papua ini memang kompleks. Di satu sisi, membawa berbagai masalah baru, tapi di sisi lain, mungkin seperti yang Umar Junus katakan tentang modernisasi di buku Dari Peristiwa ke Imajinasi:

    Indonesia adalah bagian dari dunia modern. Dan setiap orang yang ingin menikmati sesuatu yang berhubungan dengan Indonesia, mesti juga menjadikan dirinya sebagian dari dunia modern. [...] yang belum lagi dapat menjadikan dirinya bagian dari dunia modern ternyata tidak dapat menikmati kekayaan yang disediakan oleh buminya sendiri, yang merupakan bagian dari bumi Indonesia. (hal. 69)


    Walau Umar Junus sedang membahas tentang Suku Dayak dan pandangan Korrie Layun Rampan, tapi saya rasa kutipan di atas bisa diterapkan pada suku mana pun di Indonesia.

    Walau masuknya hal-hal baru di Papua membawa banyak masalah, salah satunya adalah pelacuran dan meluasnya penyebaran penyakit menular seksual di sana, modernisasi juga membawa suatu harapan dan pembaruan hidup. Dalam kasus ini, Irewa-lah yang paling menonjol dalam merasakannya.

    Irewa, awalnya hanya seorang wanita yang bertugas untuk mengurus ladang dan menyediakan makanan bagi keluarganya, serta menghasilkan keturunan bagi suaminya.

    Tak dimengerti oleh masyarakat Megafu bahwa jarak kelahiran yang rapat, kematian demi kematian bayi, lalu kehamilan berikutnya, bisa membahayakan kesehatan perempuan dan anak yang dilahirkan kemudian. (hal. 91)


    Lama-lama Irewa jadi marah pada dirinya sendiri. [...]. Laki-laki itu datang tiap hari walau aku ludahi. Ia katakan ia mencintai aku. Kini aku selalu dipukulinya. Aku selalu harus mengerjakan semuanya. Aku telah menjadi budaknya. (hal. 140)


    Tapi dengan masuknya arus modernisasi, dia bisa memiliki sebuah tujuan dan fokus baru dalam hidupnya. Bukan hanya itu, dia bahkan bisa membantu para wanita di sekitarnya lewat sebuah lembaga yang memberdayakan Irewa.

    Satu hal yang saya kurang suka dari novel ini adalah cara berceritanya yang lebih mengandalkan 'tell'. Saya paham kenapa penulisnya memilih cara ini. Alur waktu yang panjang dan ruang lingkup pembahasan yang luas akan membuat novel ini menjadi sangat tebal. Tapi, sejujurnya saya tidak keberatan untuk membaca "Isinga" ini kalau pun dia tebalnya lebih dari 500 halaman. Ceritanya menarik, materinya kuat, dan penulisnya mampu menghadirkan dilema yang bagus. Saya rasa penulisnya melakukan riset yang banak untuk menulis novel ini.

    Secara keseluruhan, membaca "Isinga" ini membuat saya sadar akan betapa ribetnya arus modernisasi di Papua. Bukan saja karena perubahan kehidupannya yang sangat drastis, tapi juga berbagai masalah sosial yang ada sebagai pertentangan antara kebudayaan yang sudah ada sejak lama, dengan budaya baru yang masuk.

    Sebagai penutup, saya akan memberi kutipan tentang surat yang diterima seorang ibu saat mengajukan keberatannya akan pohon-pohon sagu, yang menjadi sumber makanan utamanya, ditebang dengan semena-mena. Saat mengajukan keberatannya itu, jawaban yang dia terima dari orang pemerintah adalah:

    "Kalau mama-mama Papua ingin berpisah, tulis saja surat ke Paman Sam agar dicarikan tempat di bulan. Kami butuh tanah Papua. Bukan orangnya. (hal.164)"


    Buku ini untuk tantangan baca:
    - 2015 New Authors Reading Challenge


    View all my reviews


  2. 0 comments :

    Post a Comment