My rating: 2 of 5 stars
Judul: Memori
Penulis: Windry Ramadhina
Penerbit: Gagas Media
Halaman: 312 halaman
Terbitan: Mei 2012
Cinta itu egois, sayangku. Dia tak akan mau berbagi.
Dan seringnya, cinta bisa berubah jadi sesuatu yang jahat. Menyuruhmu berdusta, berkhianat, melepas hal terbaik dalam hidupmu. Kau tidak tahu sebesar apa taruhan yang sedang kau pasang atas nama cinta. Kau tidak tahu kebahagiaan siapa saja yang sedang berada di ujung tanduk saat ini.
Kau buta dan tuli karena cinta. Kau pikir kau bisa dibuatnya bahagia selamanya. Harusnya kau ingat, tak pernah ada yang abadi di dunia—cinta juga tidak. Sebelum kau berhasil mencegah, semua yang kau miliki terlepas dari genggaman.
Kau pun terpuruk sendiri, menangisi cinta yang akhirnya memutuskan pergi.
Review
Ternyata sampai akhir saya tidak bisa peduli pada tokoh-tokohnya.
"Memori" bercerita tentang Mahoni, seorang wanita yang bekerja sebagai arsitek di Virginia. Kematian ayahnya membuat Mahoni harus kembali pulang ke Indonesia. Awalnya dia hanya akan pergi selama beberapa hari, tapi suatu hal membuatnya harus tinggal lebih lama dari itu.
Saat sedang berusaha untuk menyesuaikan diri dengan ritme hidupnya yang baru, Mahoni bertemu kembali dengan Simon, teman masa kuliah yang memiliki tempat khusus di hatinya. Pria itu mengajak Mahoni untuk bergabung dengan studio arsiteknya, MOSS.
Pertemuan mereka kali ini membawa Mahoni untuk menghadapi masa lalunya sekali lagi, bukan hanya dengan Simon, tapi juga dengan adik tiri yang dia benci dan ibunya yang membuatnya jengah.
Ini buku ketiga karya Windry Rmadhina yang saya baca. Sebelumnya saya sudah baca Interlude (review) serta "Metropolis" (review), dan buat saya, kedua novel itu lebih bagus dari "Memori" ini.
Masalah terbesar saya dengan novel ini adalah: saya tidak peduli dengan karakter-karakternya. Apakah saya peduli pada Mahoni, sang architect snob yang susah kompromi, hanya mau mendesain demi idealismneya, sulit menyesuaikan diri dengan klien (tidak heran kalau bukan dia yang dipromosikan di kantor Virginia-nya), dan sepertinya punya bagasi emosi yang berat banget, tapi semacam tidak dieksplorasi dengan dalam? Tidak.
Apa saya peduli dengan Sigi, sang adik tiri yang dibenci Mahoni, baru saja kehilangan kedua orang tuanya, tidak bisa melakukan pekerjaan rumah seperti membuat teh dengan benar, sepertinya depresi pasca meninggalnya kedua orang tuanya, tapi tiba-tiba saja sudah melalui seluruh tahapan kesedihannya, serta tidak dieksplorasi dengan dalam? Tidak.
Apa saya peduli pada Mae, sang ibu ratu drama yang hobi mengasihani diri sendiri, digambarkan secara satu dimensi, dan tidak dieksplorasi dengan dalam? Tidak.
Ini masih ada Sofia dan Simon sebenarnya, tapi jawaban saya sama: tidak. Saya tidak peduli pada mereka.
Hal yang menarik dari "Memori" ini adalah seluruh pembahasannya tentang dunia arsitektur. Mulai dari berbagai jenis desain, pembahasan singkat tentang pekerjaan lapangan dunia arsitektur, sejarah arsitek, serta berbagai tokoh dan bangunan terkenal dalam dunia arsitek. Walau jujur, saya merasa terpecah mengenai hal ini.
Seluruh pembahasan yang ada sangat deskriptif dan memberi pengetahuan baru. Tapi di sisi lain, juga memakan ruang yang sebenarnya bisa dipakai untuk pengembangan karakter dan plot, atau menambahkan emosi ke dalam cerita. Juga kadang ada penjelasan yang sifatnya tidak penting-penting amat, seperti:
"Itu ganti permen mint. Merokok tidak baik untukmu."
"Ya, oke. Tapi, Ricola?" Simon mencibir.
"Makan Ricola tidak akan membuatmu jadi gay, Simon," balasku.
Biar kujelaskan secara singkat. Ricola punya pabrik di Brunstatt, Prancis. Bangunan itu didesain oleh Jacques Herzog dan, menurut rumor yang sesungguhnya tidak bisa dipertanggungjawabkan, arsitek terkenal dari Swiss itu adalah gay. (hal. 281)
Di antara tumpukan trivia di novel ini, masalah orientasi seksual seorang arsitek terkenal adalah hal paling tidak penting yang saya baca.
Untuk ceritanya, sesuai arti dua bintang di Goodreads. It was ok. Drama domestiknya tidak terlalu terasa emosinya. Perkembangan hubungan antara Mahoni dengan Sigi juga terasa datar. Setelah peristiwa di stasiun, tidak ada lagi yang menarik di antara mereka. Perkembangan antara Simon dan Mahoni juga terasa biasa saja buat saya, tapi saya cukup suka dengan adu mulut di antara mereka.
Secara keseluruhan, membaca "Memori" ini membuat saya berpikir bahwa Windry Ramadhina adalah arsitek yang kompeten, tapi sebagai novelis, hal ini baru dibuktikan lewat novelnya yang lain.
View all my reviews
jadi penasaran sama isi di novel memori itu :))
@salaminzaghi: kalau mau baca ebooknya, bisa cari di play store. gagas media ada jual di sana. :D