Rss Feed
  1. Jika Aku MilikmuJika Aku Milikmu by Bernard Batubara
    My rating: 1 of 5 stars

    Judul: Jika Aku Milikmu
    Penulis: Bernard Batubara
    Penerbit: Gagas Media
    Halaman: 265 halaman
    Terbitan: September 2015

    Bisakah cinta tumbuh tanpa keragu-raguan?

    *

    [Sarif]
    Bila suatu ketika cinta datang dan menghampirimu,
    mampukah kau menerima ketidaksempurnaan yang dibawa oleh cinta?

    [Nur]
    Berapa lama yang dibutuhkan untuk mengubah keragu-raguan menjadi cinta?
    Mungkin tidak selama waktu yang diperlukan untuk memupuk luka.

    [Mei]
    Di dalam setiap alunan melodi rindu, ada satu nada yang berbeda.
    Seperti perasaan ganjil tentang cinta yang tidak semestinya—yang saat ini kurasa.

    **
    Jika suatu hari nanti, tiba waktunya kau untuk mencintai,
    bisakah kau memberikan cinta kepada seseorang yang tidak sempurna?

    Review

    Nggak bisa suka sama buku ini. Saya sudah mencoba, oke.

    "Jika Aku Milikmu" bercerita tentang Sarif Tizaruddin, seorang pemuda yang kembali pulang ke Pontianak atas permintaan ayahnya. Sang ayah, yang sedang menjadi calon wali kota Pontianak, mengadakan pameran buku dan meminta Sarif untuk mengurusnya.

    Dalam pulangnya kali ini, Sarif bertemu kembali dengan Nur, seorang gadis yang pernah disukainya, tapi dia tinggalkan karena mengejar pendidikan. Di Pontianak jugalah, dia bertemu dengan Mei, mantan teman kampus sekaligus saingannya dalam hal menulis, yang dijodohkan dengannya.

    Bagi Sarif, Nur adalah cinta lama yang ingin dia gapai kembali. Sementara Mei adalah seorang gadis yang mampu membuatnya penasaran dan bersemangat.

    Ini novel gelombang dua dari seri "Love Cycle" Gagas Media. Saya tidak tahu kenapa judul dan konsep kovernya tampak berubah dari dua judul yang sebelumnya terbit. Pas pertama muncul, sebelum lihat logo "Love Cycle, saya malah ragu kalau ini novel dari seri yang sama.

    Untuk saya, buku ini terasa kurang matang. Ya plotnya, ya karakter, dialog, sampai ke pesan yang ingin disampaikan. Saya rasa penyebabnya adalah terlalu banyaknya unsur yang ingin penulisnya masak secara bersamaan.

    Saya akan mulai dari hal yang bikin saya agak ilfil. Dialog, khususnya percakapan antara Sarif dan Nur yang kadang terasa... bodoh? Seperti:

    "Aku cuma mau tanya, kamu masih suka pedas, tidak?"

    Butuh dua hingga tiga detik keheningan bagi Sarif untuk mencerna pertanyaan Nur.

    "Kalau pedas itu artinya kamu, berarti iya, aku masih suka pedas."

    "Apa kamu pernah keracunan?" tanya Nur.

    "Belum. Tapi, aku tidak keberatan kalau kamu mau meracuniku."

    Nur tertawa. "Aku harap aku bisa meracunimu. Tapi, aku tidak punya kemampuan membuat racun. Aku cuma bisa bikin bubur pedas. Kamu mau?" (hal. 85)


    Yang dilanjutkan dengan:

    "Dari mana kamu belajar membuat racun seenak ini, Nur?"

    [...]

    "Ibuku. Dia pandai sekali membuat racun."

    "Ibumu pembunuh profesional, kalau begitu."

    "Tentu saja. Lalu, ia menurunkan bakatnya itu kepadaku."

    "Aku rela mati, Nur, di tanganmu."

    "Ya, kalau kamu suka, aku akan membunuhmu setiap hari." (hal. 88)


    Terus ada yang ini, waktu mereka membicarakan tentang pembangunan Rumah Radakng:

    "Di Jakarta, Nur, uang sebanyak itu akan habis untuk membangun tempat hiburan," kata Sarif. "Dan jika kukatakan tempat hiburan, yang kumaksud adalah tempat-tempat yang hanya menghabiskan uangmu tanpa manfaat apa pun."

    "Mal?" tanya Nur.

    "Tidak harus mal. Iblis bisa mengambil wujud apa pun."

    Nur tertawa. "Bagaimana bisa mal menjadi iblis?"

    "Segala hal yang membuatmu terlena adalah iblis." Sarif menoleh kepada Nur. "Termasuk kamu juga. Kalau kamu membuatku terlena, kamu adalah iblis. Tapi, aku tidak masalah kalau dirasuki iblis seperti kamu." (hal. 115)


    Sarif... kamu mabok, ya?

    Saya paham kalau orang dilanda asmara, kadang terjadi percakapan yang mengawang-ngawang dan bisa terdengar bodoh. Mungkin bicara tentang mengambilkan bintang untuk pacar (jangan lakukan, karena akan mengganggu bumi), atau seperti yang Sarif bilang: "abang rela mati untukmu.".

    Tapi, entahlah. Menghubungkan bubur dengan racun, lalu jadi pendakwah KW? Kalau jadi Nur, saya mungkin bakal pikir-pikir lagi soal jadian dengan Sarif setelah kena tiga pembicaraan macam gitu.

    Lalu untuk plot. Terlalu banyak yang berusaha dijalankan. Mulai dari soal Sarif yang ingin menulis novel yang akan diikutsertakan di sebuah penghargaan sastra nasional, lokalitas yang tampak tidak semenarik metropolitan, hubungan Sarif dengan Nur, pembalakan liar, soal Mei yang suka sama Sarif, cita-cita, sampai ke masalah konflik antar keluarga.

    Terlalu banyak sampai akhirnya ada yang tidak selesai.

    Untuk ceritanya, it's ok. Saya kurang begitu suka dengan drama antar keluarganya yang terasa dilemparkan begitu saja dan tidak begitu kuat di dalam cerita.

    Untuk karakternya, tidak ada yang betul-betul saya suka. Sarif, saya merasa dia ini seperti "Sajak Seonggok Jagung"-nya Rendra. Mungkin lihat review yang ini saja biar paham apa maksudnya. Buat saya, sebenarnya akan lebih menarik kalau dia kemudian menulis soal pembalakan liar untuk novelnya. Itu akan lebih memberi warna pada karakternya, sekaligus bisa menjadi plot yang menarik untuk novel ini sendiri.

    Karakter lain yang patut dipertanyakan adalah ibunya Nur. Awalnya dia yakin kalau kematian suaminya bukanlah kecelakaan. Tapi, di akhir, dia tiba-tiba bilang kalau dia salah dan kematian suaminya, sekaligus ayah Nur, adalah murni kecelakaan. Kenapa? Apa yang membuatnya berubah haluan seperti itu? Kalau hanya karena apa yang Nur lakukan, saya susah untuk paham. Rasanya bukan alasan yang cukup kuat.

    Lalu, ada beberapa selip kecil dalam cerita, seperti:

    Ketika itu adalah hari Senin di bulan Februari, empat tahun lalu. Udara begitu kering dan langit biru tanpa awan. Nuraini Abubakar berusia tujuh belas tahun, tepat tujuh belas tahun, tidak kurang dan tidak lebih. Langit di kota Pontianak tampak kelabu, namun tidak wajah Nur. (hal. 74)


    Jadi, langitnya waktu itu biru tanpa awan atau kelabu?

    Lalu yang ini, bagian ketika Nur dan Mei bicara tentang pembalakan liar:

    "Kamu tidak keberatan ayahmu bermain kayu?"

    "Semua orang mencuri, Nur. Hanya berbeda cara dan objeknya."

    "Aku tidak setuju," kata Nur. "Aku tidak mencuri apa-apa dari siapa-siapa."

    Mei tersenyum. "Kamu mencuri hati Sarif dari dirinya." (hal. 231)


    Saya tidak suka susunannya. Kenapa? Di bagian awal, Mei dan Nur bicara tentang pencurian kayu. Sesuatu yang sifatnya nyata. Kayunya ada, bisa disentuh, dan memang dicuri.

    Di bagian kedua, mereka membicarakan sesuatu yang sifatnya metafora. Kalau Nur mencuri hati Sarif, pastinya bukan livernya Sarif yang Nur ambil. Kecuali, kalau si Nur ini ternyata pemanen organ tubuh manusia (yang mungkin akan membuat novel ini jadi lebih menarik sebenarnya), tapi justru itulah kesan yang saya tangkap, karena mereka membicarakan sesuatu yang sifatnya harfiah lebih dulu.

    Lagian, ya, orang lagi serius bicara soal pencurian kayu, tiba-tiba pindah ke soal "mencuri hati". Beda keleus.

    Secara keseluruhan, saya kurang suka dengan novel ini. Tidak ada karakter yang menarik, percakapannya kadang bikin ilfil, ceritanya terasa biasa saja, dan ada plot yang tidak selesai. Saya mungkin akan lebih suka dengan novel ini kalau Nur memanen organ dalam ada rasa keadilan yang lebih kuat terhadap masalah pembalakan liar.

    Buku ini untuk tantangan baca:
    - 2015 Young Adult Reading Challenge
    - 2015 New Authors Reading Challenge

    View all my reviews

  2. 1 comments :

    1. KUTIPAN said...

      Udah berapa kali baca ini novel, dan masih tetap nyaman dibaca. kata - katanya bikin sakit, hehe

    Post a Comment