My rating: 5 of 5 stars
Judul: The Joy Luck Club
Penulis: Amy Tan
Penerbit: Vintage
Halaman: 287 halaman
Terbitan: Juni 1991
In 1949 four Chinese women-drawn together by the shadow of their past-begin meeting in San Francisco to play mah jong, invest in stocks, eat dim sum, and "say" stories. They call their gathering the Joy Luck Club.
Nearly 40 years later, one of the members had died, and her daughter has come to take her place, only to learn of her mother's lifelong wish-and the tragic way in which it has come true. The revelation of this secret unleashes an urgent need among the women to reach back and remember...
Review
'The Joy Luck Club' bercerita tentang dua generasi keluarga Tionghoa yang tinggal di Amerika. Perang, bencana, dan keinginan untuk memperoleh hidup yang lebih baik membawa Suyuan, An-mei, Lindo, dan Ying-ying meninggalkan tanah para leluhurnya. Di sana, mereka menikah dan memiliki anak-anak. Amy Tan menelusuri masalah perbedaan generasi, gap budaya, serta rumitnya hubungan yang terjadi di antara para ibu dan anak gadisnya.
Rasanya tidak ada seorang anak pun yang mengenal orang tuanya dengan baik. Mungkin itulah yang ingin Amy Tan sampaikan lewat novel ini. 'The Joy Luck Club' terbagi atas empat bagian. Bagian pertama menceritakan tentang 'Joy Luck Club', sebuah klub mahyong yang dibentuk oleh Suyuan Woo di masa perang. Klub itu terdiri dari empat orang wanita yang bergiliran menjamu para tamu di rumah masing-masing. Mereka akan makan dan kemudian bermain mahyong dengan uang taruhan. Suyuan melakukan itu bukan karena dia tidak punya hati atau rasa takut pada perang.
"It's not that we had no heart or eyes for pain. We were all afraid. We all had our miseries. But to despair was to wish back for something already lost. Or to prolong what was already unbearable. [...]
"So we decided to hold parties and pretend each week had become the new year. [...]. And each week, we could hope to be lucky. That hope was our only joy. And that's how we came to call our little parties Joy Luck." (hal. 24-25)
Klub itu terus berlanjut bahkan puluhan tahun setelahnya. Setelah Suyuan meninggal, June Woo, anaknya, yang menggantikan posisinya untuk menghadiri pertemuan. Di acara pertamanya, June diberi tahu bahwa ternyata dia memiliki saudari kembar yang ibunya tinggalkan di Shanghai. Dengan dorongan ketiga sahabat ibunya, June akan pergi untuk menemui saudari yang telah ibunya cari selama ini.
Bagian pertama ini juga bercerita tentang masa lalu ketiga sahabat Suyuan. Bagaimana kehidupan mereka saat masih berada di Tiongkok (yang penuh rahasia dan rasanya tidak pernah diketahui oleh para anak), hingga bagaimana mereka keluar dari negeri itu.
Bagian kedua bercerita tentang kehidupan para anak. Bagaimana mereka menghadapi berbagai permasalahan "modern", seperti perceraian, rasa cemas berlebih, inferioritas, dan masalah profesional.
Bagian ketiga adalah refleksi hubungan antar anak kepada ibu, sementara bagian keempat adalah refleksi hubungan ibu kepada anak.
Pola ceritanya memang mengambil berbagai potongan kisah yang baru bisa dipahami setelah membaca keempat bagiannya. Cara ini menarik, tapi kadang juga membingungkan. Saya harus membalik beberapa kali ke bagian depan untuk mengingat kembali siapa yang mana, serta ini anaknya siapa.
Secara keseluruhan, buku ini berhasil menggambarkan kompleksitas hubungan ibu dan anak gadisnya, serta berbagai masalah antar generasi dan budaya bagi orang Tionghoa yang beremigrasi.
When my daughter looks at me, she sees a small old lady. That is because she sees only with her outside eyes. She has no chuming, no inside knowing of things. If she had a chuming, she would see a tiger lady. And she would have careful fear. - Ying-ying St. Clair (hal. 248)
View all my reviews
0 comments :
Post a Comment