My rating: 1 of 5 stars
Judul: Foodcourt Corner
Penulis: Yessica E. Daryanto, Euis Shakilaraya
Penerbit: Elex Media Komputindo
Halaman: 260 halaman
Terbitan: Oktober 2014
Kamu sering ke foodcourt? Nongkrong, makan, atau, ketemu sama orang? Pokoknya menjadikan foodcourt corner sebagai tempat pelepas penat, bahagia, galau, sampai mencari inspirasi deh. Sama kayak Kaliya, cewek bermanik cokelat, bergaya feminin, namun jago sekali taekwondo. Dia doyan banget ke foodcourt daripada ke restoran mahal lain. Hobinya ini yang mempertemukan Kaliya dengan Teraza, cowok keren mirip Andrew Russel Garfield. Walaupun ayahnya saudagar gimnasium tempat fitness, Teraza hobi banget masak. Strawberry cheese cake-nya aja bisa bikin deal bisnis ayahnya. Pertemuan di foodcourt corner yang unik, aneh, dan mengungkap banyak rahasia itu terjadi.
Lalu, mereka jatuh cinta? Kata siapa! Kaliya dan Teraza malah saling benci dan menertawakan! Foodcourt Corner hanya sebuah tempat yang sering kita dengar dan tahu sebagai tempat makan.
Berbagai jenis restoran dan berbagai jenis makanan ada di sana. Sesuatu yang biasa, ya? Namun, jika jeli, mungkin banyak hal yang dapat kamu temukan di sana.
Review
Untuk garis besar ceritanya, bisa coba baca blurb novel ini saja. Intinya adalah kisah antara Kaliya dan Teraza, dua remaja pecinta foodcourt.
Saya sebenarnya sudah ada firasat kalau saya akan kurang suka novel ini sejak ada paragraf:
Selain cantik dan bertubuh ideal, Kaliya dianugerahi otak yang sangat encer oleh Tuhan. Itu yang membuat tak hanya satu atau dua orang cewek tidak menyukai Kaliya. Bahkan hampir seluruh cewek yang ada di sekolah Tunas Bangsa memiliki rasa iri yang sangat besar pada Kaliya. (hal. 33)
Oh, no.
Apalagi setelah itu muncullah tokoh jahat yang tujuan hidupnya hanya satu: menyengsarakan hidup tokoh utama, serangkaian cowok yang suka padanya (yang setidaknya satu di antaranya terlihat punya kekurangan), hingga tumpukan drama kehidupan yang tidak diolah dengan baik. Waduh, saya sudah mau menyerah di awal, tapi akhirnya memutuskan untuk baca terus karena mau lihat perkembangannya.
Masalah terbesar dari tokoh Mary Sue/Gary Stu adalah ruang berkembangnya yang nyaris tidak ada. Lah hidupnya sudah sempurna. Mau berkembang seperti apa lagi? Itu yang saya rasakan dari tokoh Kaliya ini. Kaliya di awal tidak ada bedanya dengan di akhir. Masih tetap si sempurna yang dipuja-puji. Bahkan orang-orang yang membencinya akhirnya berbalik menyukainya (lewat suatu momen yang sukar untuk saya percaya). Teman yang kemudian tidak suka padanya juga harus menerima suatu musibah. Tujuannya? Supaya si temannya itu bisa sadar akan "kesalahannya" dan berbaikan dengan si tokoh utama.
Tokoh utama prianya bagaimana? Sebelas-dua belaslah. Dia malah lebih terlupakan dibandingkan si Kaliya.
Konfliknya terlalu banyak dengan berbagai tokoh pendukung drama yang sering muncul tiba-tiba. Tanpa tedeng aling-aling, suatu tokoh bisa dimunculkan untuk menciptakan suatu drama. Lalu setelah dramanya selesai, mereka bagaimana? Dibuang, dong. Mereka tidak diciptakan untuk berkembang kok.
Secara keseluruhan, saya kurang suka dengan novel ini. Tokohnya membosankan dengan konflik bertubi-tubi yang tidak diolah dengan baik.
View all my reviews
0 comments :
Post a Comment