Rss Feed

  1. The Master of GoThe Master of Go by Yasunari Kawabata
    My rating: 5 of 5 stars

    "The Master of Go" bercerita tentang seorang Master di bidang igo yang memainkan game terakhirnya melawan seorang penantang muda yang merupakan produk dari zaman baru.

    Honinbo Shusai (sang "Master of Go") berhadapan dengan Kitani Minoru (dalam cerita nama Kitani dirubah menjadi Otake) dalam 1 babak terakhir sebelum sang Master pensiun.

    Dalam pertandingan kali ini, Otake meminta penggunaan peraturan baru yang mengharuskan pemain menyegel langkah terakhir sebelum maju ke babak selanjutnya. Hal ini merupakan perubahan dari peraturan lama yang memungkinkan sang Master untuk menghentikan permainan dan mempelajari langkahnya terlebih dahulu. Permintaan Otake ini menjadi titik awal dari era lama vs. era baru yang menjadi inti cerita dari novel ini.

    Yasunari Kawabata membawa kita dalam pertandingan nyata pada tahun 1938 dengan mencampurkan elemen fiksi di dalamnya. Membuat novel ini menjadi sebuah novel semi-fiksional yang menarik. Kita bisa melihat bagaimana perjuangan sang Master melawan penyakit dan usia renta serta pertarungan rumit melawan si penantang mudanya. Sementara si penantang sendiri berusaha untuk melawan rasa tegang serta frustasinya menghadapi otoritas dan tradisi era lama.

    Satu hal utama yang saya suka dari novel ini adalah penggambaran yang digunakan Yasunari Kawabata untuk menggambarkan kondisi lingkungan atau karakternya.

    Misalkan tentang kondisi alam saat pertarungan berlangsung:
    "The squall soon passed. A mist trailed over the mountain, and the sky brightened from the direction of Odawara, down the river. The sun struck the rise beyond the valley, locusts shrille, the glass doors at the veranda were opened again. Four black puppies were sporting on the lawn as Otake played black 73. Once more the sky was lightly clouded over." (halaman 87)

    atau tentang pemain:
    "His hands on his knees, the Master gazed at the opening komoku. Under the gaudy camera lights his mouth was so tightly closed that his lips protruded, and the rest of us seemed to left his world."

    "...and always, when he sat before the go board, he seemed to exud a quite fragrance that cooled and cleaned the air around him."(halaman 35).

    Kekurangan untuk buku ini ada di faktor terjemahan istilahnya. Misalnya beberapa istilah igo yang membuat saya bingung, seperti "dead end" atau "swim". Berhubung saya lebih terbiasa menggunakan istilah Jepangnya, membaca terjemahan Inggrisnya membuat saya bingung.

    Secara keseluruhan, buku ini menarik untuk dibaca baik oleh orang yang mengerti cara bermain igo, maupun yang tidak. Deskripsi yang digunakan sangat baik dan Yasunari Kawabata berhasil menggambarkan intensitas suatu pertandingan penting yang merupakan titik awal moderenisasi dunia igo.


    View all my reviews

  2. 0 comments :

    Post a Comment