My rating: 2 of 5 stars
Judul: Scarlet Preludium
Penulis: Silvia Arnie
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Halaman: 296 halaman
Terbitan: Maret 2014
Bisa dibeli di: Buku Beruang. Obral: Rp 30.000. Baru: Rp 44.200
Scarlet mencintai musiknya, walau tampaknya tak semua orang mengerti permainannya yang terlalu rumit. Tak apa, ia tidak butuh apresiasi ataupun tepuk tangan.
Bertemu Devon karena insiden yang tidak menyenangkan, membuat Scarlet memusuhi pria itu. Apalagi dengan sifat playboy dan sikap Devon yang suka seenaknya. Tapi, di balik sifat yang saling bertolak belakang, Scarlet dan Devon sama-sama menyimpan luka yang dalam.
Scarlet akhirnya luluh atas kegigihan Devon untuk berbaikan dan bersahabat, bahkan perlahan ia terbuai kehangatan dan ketulusan pria itu. Sayangnya kenyataan pahit harus Scarlet hadapi, yang membutnya berpikir... mungkin ia memang tak pantas bahagia.
Review. Mengandung spoiler.
Tertarik untuk baca novel ini karena saya suka dengan karyanya Silvia Arnie yang terdahulu, A Life.
Secara plot, saya suka. Bercerita tentang Scarlet, seorang wanita muda yang mengalami depresi karena sesuatu yang dia alami di masa lalu. Dia merasa hidupnya stuck, pekerjaannya tanpa masa depan, dan dia tidak punya pacar. Tambah sial lagi karena mobil yang dia miliki dirusak oleh seorang gadis karena si gadis mengira itu adalah mobil mantan pacarnya.
Di sinilah dia bertemu Devon, si pria mantan pacar gadis perusak mobilnya. Devon ini ternyata penyanyi dari grup duo yang diundang untuk mengisi acara di lounge tempat Scarlet bekerja. Kebaikan hati Devon membuat Scarlet suka padanya, tapi tidak diduga ternyata Devon malah berpacaran dengan Aira, teman sekaligus bos Scarlet di lounge.
Saya sih suka ya dengan plot dan karakternya, hanya saja saya kurang suka dengan banyaknya bahasa Inggris di novel ini. Bahasa Inggrisnya bukan cuma 1-2 kata yang terselip pula, tapi bisa mencapai beberapa kalimat (biasanya dalam percakapan).
Hal lain yang saya kurang suka adalah barang bermerek yang nyelip di tengah-tengah cerita. Jadi pas di awal, ada cerita Devon beli tas Prada seharga 40 juta. Ini bikin saya mikir, masa iya penyanyi lounge bisa punya pendapatan sebesar itu? Apalagi si Devon ini tidak (atau belum?) diceritakan sebagai orang kaya.
Terus hal lain yang bikin bingung adalah waktu Devon dan Scarlet berkelahi di bagian akhir, saat Devon mengetahui satu rahasia Scarlet. Di situ saya merasa, WTH just happened?
Habis, si Devon terlihat tidak punya dasar untuk mengarah ke situ, tiba-tiba dia meledak. Jadinya saya agak-agak bingung gitu.
Secara keseluruhan, Scarlet Preludium adalah sebuah novel yang baik. Hanya saja tidak semembekas A Life buat saya sih. Saran saya sih bahasa Inggrisnya lebih baik dikurangi. Soalnya percakapan dalam bahasa Inggrisnya toh tidak terlihat keren atau menggunakan kata-kata yang indah, jadi untuk apa?
View all my reviews
0 comments :
Post a Comment