Aku
melihat cowok itu untuk pertama kalinya pada hari Kamis dua minggu yang lalu.
Yang dapat kuingat hanyalah matanya yang berwarna baby blue, rambutnya yang
keemasan, dan juga senyumnya yang menawan.
“Aku
mengantarkan majalah minggu ini,” katanya saat itu.
Melihat
wajahnya aku bahkan lupa kalau dia sedang bicara padaku.
“Eh,
Miss?”
“Oh,
ya. Maaf. Eh, majalah ya? Itu pasti punya Mom. Biar kuterima.”
Dia
menyerahkan majalah itu padaku dan menyentuh ujung lidah topinya dan berkata, “Terima
kasih. Terus berlangganan majalah kami ya. Minggu depan akan ada edisi khusus
tentang Paris Fashion Week.”
Aku
mengangguk tanpa mampu berkata apa-apa. Lidahku terasa begitu kelu.
Sejak
hari itulah aku selalu memimpikannya. Pikiranku selalu tidak tenang. Aku ingin
bertemu lagi dengannya, tapi bagaimana caranya?
Aku
coba menelepon agen distributor majalah itu dan menanyakan siapa yang biasanya
mengantarkan majalah di daerah ini.
“Maaf,
tapi kalau boleh tahu untuk urusan apa yah?” kata orang yang mengangkat telepon.
“Ada
barang milik orang itu yang terjatuh. Aku ingin mengembalikannya,” kataku
berbohong.
“Untuk
majalah ‘Glam Up’? Yang mengantar di daerah itu namanya Paul Smith.”
Oh,
kumohon. Kenapa namanya kampungan sekali? Pasti akan susah menemukan Paul Smith
yang tepat di Google.
“Maaf,
bolehkah aku tahu alamatnya? Aku ingin mengembalikan sapu tangannya yang terjatuh.”
Cowok
muda sekarang masih bawa sapu tangan gak sih?
“Maaf,
Miss. Kami tidak bisa memberi tahu data pribadi karyawan kami. Kalau memang
ingin mengembalikannya, bisa dibawa ke kantor kami. Kami akan memberikannya
langsung pada orangnya.”
Wanita
di ujung sambungan itu lalu memberikan alamat agen distributor itu. Aku
berterima kasih, lalu menutup teleponnya. Ah, selain namanya, aku tidak bisa
mendapatkan informasi lainnya. Dan benar saja dugaanku. Mengetikkan ‘Paul Smith’
di Google menghasilkan 307 juta hasil pencarian.
Dengan
semua kesulitan mendapatkan informasi, aku hanya bisa berharap Kamis segera
datang. Aku berdoa dan berdoa agar hari-hari segera berlalu dan Kamis segera
tiba.
Hari-hari
berlalu dengan lambat bagiku. Betapa bahagianya hatiku ketika Rabu tiba.
Malamnya aku segera tidur dengan harapan Kamis tiba begitu aku bangun.
Keesokan
harinya aku bangun dan menunggu si cowok pengantar majalah datang. Aku
menunggunya seharian, tapi dia sama sekali tidak menunjukkan batang hidungnya
hari itu.
“Mom,
pengantar majalah ‘Glam Up’ tidak datang yah hari ini?” aku membuat suaraku
senatural mungkin, berusaha untuk tidak memancing kecurigaan Mom.
“Sudah
kok. Kamu mau baca majalahnya? Ada di kamar tuh.”
Bohong.
Aku sudah menanti seharian.
“Tapi,
aku dari tadi duduk di depan dan tidak ada orang yang datang.”
“Dia
sudah datang kemarin kok,” kata Mom. Dia mulai memandangku dengan curiga. “Sini
bentar deh.”
Aku berjalan ke arah Mom dan duduk di sampingnya. Mom
meraba bagian belakang leherku dan menyentuh suatu bagian di sana hingga
terdengar bunyi ‘klik’ yang keras. Setelah itu segalanya menjadi hitam bagiku.
* * *
“Pagi,
Sweety. Mau pie apel?” tanya Mom.
“Mau.
Ngomong-ngomong, ini hari apa Mom?”
“Sabtu.
Kenapa sayang?”
“Gak
apa-apa kok.”
Aneh,
rasanya di dalam diriku ada suatu perasaan gelisah. Dalam kepalaku aku merasa
terus memohon agar Kamis segera tiba. Suatu perasaan putus asa, seolah-olah aku
mengemis datangnya Kamis. Entah kenapa.
0 comments :
Post a Comment