Rss Feed
  1. Mengemis Kamis

    Sunday, October 21, 2012


    Aku melihat cowok itu untuk pertama kalinya pada hari Kamis dua minggu yang lalu. Yang dapat kuingat hanyalah matanya yang berwarna baby blue, rambutnya yang keemasan, dan juga senyumnya yang menawan.
                
    “Aku mengantarkan majalah minggu ini,” katanya saat itu.
               
    Melihat wajahnya aku bahkan lupa kalau dia sedang bicara padaku.
               
    “Eh, Miss?”
               
    “Oh, ya. Maaf. Eh, majalah ya? Itu pasti punya Mom. Biar kuterima.”
               
    Dia menyerahkan majalah itu padaku dan menyentuh ujung lidah topinya dan berkata, “Terima kasih. Terus berlangganan majalah kami ya. Minggu depan akan ada edisi khusus tentang Paris Fashion Week.”
              
    Aku mengangguk tanpa mampu berkata apa-apa. Lidahku terasa begitu kelu.
                
    Sejak hari itulah aku selalu memimpikannya. Pikiranku selalu tidak tenang. Aku ingin bertemu lagi dengannya, tapi bagaimana caranya?
                
    Aku coba menelepon agen distributor majalah itu dan menanyakan siapa yang biasanya mengantarkan majalah di daerah ini.
                
    “Maaf, tapi kalau boleh tahu untuk urusan apa yah?” kata orang yang mengangkat telepon.
                
    “Ada barang milik orang itu yang terjatuh. Aku ingin mengembalikannya,” kataku berbohong.
                
    “Untuk majalah ‘Glam Up’? Yang mengantar di daerah itu namanya Paul Smith.”
                
    Oh, kumohon. Kenapa namanya kampungan sekali? Pasti akan susah menemukan Paul Smith yang tepat di Google.
                
    “Maaf, bolehkah aku tahu alamatnya? Aku ingin mengembalikan sapu tangannya yang terjatuh.”
                
    Cowok muda sekarang masih bawa sapu tangan gak sih?
                
    “Maaf, Miss. Kami tidak bisa memberi tahu data pribadi karyawan kami. Kalau memang ingin mengembalikannya, bisa dibawa ke kantor kami. Kami akan memberikannya langsung pada orangnya.”
                
    Wanita di ujung sambungan itu lalu memberikan alamat agen distributor itu. Aku berterima kasih, lalu menutup teleponnya. Ah, selain namanya, aku tidak bisa mendapatkan informasi lainnya. Dan benar saja dugaanku. Mengetikkan ‘Paul Smith’ di Google menghasilkan 307 juta hasil pencarian.
                
    Dengan semua kesulitan mendapatkan informasi, aku hanya bisa berharap Kamis segera datang. Aku berdoa dan berdoa agar hari-hari segera berlalu dan Kamis segera tiba.
                
    Hari-hari berlalu dengan lambat bagiku. Betapa bahagianya hatiku ketika Rabu tiba. Malamnya aku segera tidur dengan harapan Kamis tiba begitu aku bangun.
                
    Keesokan harinya aku bangun dan menunggu si cowok pengantar majalah datang. Aku menunggunya seharian, tapi dia sama sekali tidak menunjukkan batang hidungnya hari itu.
                
    “Mom, pengantar majalah ‘Glam Up’ tidak datang yah hari ini?” aku membuat suaraku senatural mungkin, berusaha untuk tidak memancing kecurigaan Mom.
                
    “Sudah kok. Kamu mau baca majalahnya? Ada di kamar tuh.”
               
    Bohong. Aku sudah menanti seharian.
               
    “Tapi, aku dari tadi duduk di depan dan tidak ada orang yang datang.”
                
    “Dia sudah datang kemarin kok,” kata Mom. Dia mulai memandangku dengan curiga. “Sini bentar deh.”
               
    Aku berjalan ke arah Mom dan duduk di sampingnya. Mom meraba bagian belakang leherku dan menyentuh suatu bagian di sana hingga terdengar bunyi ‘klik’ yang keras. Setelah itu segalanya menjadi hitam bagiku.
                
    * * *

    “Pagi, Sweety. Mau pie apel?” tanya Mom.
               
    “Mau. Ngomong-ngomong, ini hari apa Mom?”
                
    “Sabtu. Kenapa sayang?”
               
    “Gak apa-apa kok.”
                
    Aneh, rasanya di dalam diriku ada suatu perasaan gelisah. Dalam kepalaku aku merasa terus memohon agar Kamis segera tiba. Suatu perasaan putus asa, seolah-olah aku mengemis datangnya Kamis. Entah kenapa.

  2. 0 comments :

    Post a Comment