Aku mengencangkan ikatan celemek di punggungku. Kurapikan
rambutku di cermin dan kuamati apakah penampilanku sudah oke saat itu. Setelah
yakin semuanya tampak rapi, aku segera turun ke lantai bawah.
Begitu lampu kunyalakan, deretan meja dan kursi yang
sengaja diletakkan terbalik di atas meja segera menyambutku. Aku menarik napas
panjang. Mari kita mulai, batinku.
Kutuangkan biji kopi ke dalam mesin pembuat kopi, lalu
setelah kutuangkan air ke dalamnya dan menyalakan mesin itu, aku lalu
menurunkan kursi-kursi dari atas meja.
Setelah beberapa saat bau kopi mulai menyeruak ke udara.
Aku menghirup keharuman itu dalam-dalam. Betapa aku menyukai apa yang kuhirup itu.
Bagiku aroma kopi adalah aroma kebebasan.
Dua tahun yang lalu, aku tidak pernah bisa membayangkan
diriku berada di tempat seperti ini. Tempat yang kumiliki sendiri dengan aroma
kopi yang tidak membuatku takut karena menandakan datangnya hari baru.
Datangnya satu hari lagi mimpi buruk.
Tanpa sadar tanganku menyentuh lengan kiriku. Ketika kuselusupkan
tanganku ke dalam lengan bajuku dan dapat kurasakan bekas jahitan di sana. Sebuah
kenang-kenangan dari masa lalu. Sebuah harga untuk kebebasan.
Aku masih ingat bagaimana Albert pulang malam itu dalam
keadaan mabuk. Dari tubuh pria yang enggan kusebut suamiku itu, aku dapat
mencium bau parfum perempuan. Itu bukan yang pertama kalinya aku mencium wangi
itu. Biasanya aku menahan diri untuk tidak menanyakanya karena aku takut akan apa
yang dapat dia perbuat, tapi hari itu aku sudah tidak tahan lagi. Semuanya
keluar begitu saja dari dalam hatiku.
“Lalu memangnya kenapa kalau aku ada main dengan wanita
lain!?” seru Albert berang. “Aku yang mencari uang untuk menghidupimu, kalau
sekali-sekali aku bersenang-senang di luar sana, kamu mau apa hah?”
“Tapi aku istrimu, Mas. Apa kamu sudah tidak menghargai
aku lagi? Sudah tidak menghargai rumah tangga ini lagi?”
Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Aku jatuh
bersimpuh di atas lantai saking kerasnya tamparan itu. Satu tendangan mendarat
di perutku, membuatku jatuh terlentang. Pria keparat itu lalu menginjak dadaku
kuat-kuat hingga aku memekik kesakitan.
“Heh, ingat, aku menikahimu bukan karena aku mau. Kalau
dulu ayah tidak mengancam akan menghapus bagian warisanku, aku tidak akan
menikahimu.”
Air mata mengalir di pipiku. Dadaku dipenuhi amarah dan
seluruh duniaku terasa begitu gelap. Aku sudah tidak tahan lagi. Hal berikutnya
yang kusadari, pria itu telah tergeletak di lantai dengan kepala berdarah dan
pecahan vas bunga di tanganku.
Napasku tersengal-sengal. Oh, Tuhan. Apa yang kulakukan?
Kuperiksa tubuh itu, tapi aku tidak merasakan detak jantungnya.
Aku tidak bersalah. Pria ini, dia mendapatkan apa yang
pantas baginya. Cepat-cepat aku pergi ke dapur dan mengambil sebilah pisau.
Kugenggamkan pisau itu di tangan Albert dan kutorehkan pisau itu kuat-kuat ke
tangan kiriku. Aku menjerit.
Pemeriksaan polisi akhirnya menyatakan bahwa aku membunuh
pria itu dalam usahaku membela diri. Dari uang peninggalan pria itu jugalah,
aku akhirnya dapat membuka café ini. Tempat yang menjadi surgaku saat ini.
Aku membuka pintu café dan kurasakan angin hangat
berhembus di pipiku. Salju sudah mulai mencair dan kehidupan kembali bangkit
dari dalam bumi. Aku bisa mendengar Maret bersenandung di telingaku.
0 comments :
Post a Comment