Rss Feed
  1. Selembar Kain Batik

    Thursday, October 18, 2012


    Aku mendororong pegangan kayuhku ke depan. Perlahan perahu yang kunaiki semakin bergerak ke tengah danau. Langit sore tampak membara di atas kepalaku. Warnanya yang keemasan terpantul di air danau, membuatku seolah-olah mendayung di atas lautan emas.
               
    Dulu, sewaktu aku masih 8 atau 9 tahun, aku pernah datang ke tempat ini bersama ibu. Pemandangan sore itu sama persis dengan hari ini. Bagi diriku yang tinggal di kampung batik dan sehari-hari hanya melihat kusamnya tanah dan debu serta menghirup bau lilin batik,  pemandangan hari itu adalah sebuah keindahan tiada tara yang membuat hatiku berdebar-debar. Aku merasa seperti berada di sebuah dunia yang begitu berbeda.
                
    “Ibu, surgakah ini?” tanyaku padanya.
               
    “Bukan, Nak. Ini bukan surga.”
                
    “Tapi tempat ini begitu indah. Tidak ada yang seperti ini di kampung kita.”
                
    “Memang benar, tapi masih banyak tempat lain yang seindah ini di berbagai tempat di bumi ini.”
                
    Desaku adalah sebuah desa tempat para pengrajin dan pedagang batik berkumpul. Batik-batik yang dibuat di sana seratus persen buatan tangan. Ibuku sendiri adalah salah seorang wanita pekerja yang tugasnya membuat pola batik dan menegaskan pola-pola yang dia gambar. Dia juga bertugas untuk menutup bagian kain yang tidak akan diwarnai sebelum menyerahkan pada bagian pencelupan.
               
    Aku selalu berpikir untuk menjadi seperti orang-orang di kampungku, tetapi ibu selalu melarang.
                
    “Tidak, Nak. Ibu akan mengelarkanmu dari sini.”
               
    “Tapi kenapa? Aku suka di sini.”
                
    “Tidakkah kamu ingin melihat tempat seperti danau itu lagi?”
                
    Aku mengangguk.
                
    “Kalau kamu terus berada di sini, kamu tidak akan dapat menemukan tempat seperti itu.”
               
    Aku terdiam.
                
    Ibu bekerja siang-malam membanting tulang, mengumpulkan uang sedikit demi sedikit. Ketika aku lulus dari SMA, ibu mengirimku ke sebuah universitas di kota. Aku mengambil jurusan Ekonomi. Di saat yang sama, aku juga mengenal dunia fotografi dari salah seorang temanku di kampus.
               
    Aku langsung jatuh cinta pada fotografi ketika pertama kali berkenalan dengannya. Lewat fotografi, keindahan-keindahan yang ada di alam dapat kuabadikan. Butuh waktu 2 tahun berkerja dan menabung sebelum akhirnya aku bisa membeli kamera bekas milik salah seorang kenalanku. Aku kemudian memperdalam ilmuku di bidang itu dan setelah bertahun-tahun berkerja keras, aku akhirnya dapat menyebut diriku seorang fotografer profesional dan juga seorang sarjana.
                
    Aku kemudian berkelana ke berbagai tempat untuk mendapatkan gambar-gambar terindah, tapi tidak satu pun yang dapat menandingi kemegahan danau sore itu. Aku teringat akan sore itu dan juga pada ibuku. Ya, ibuku. Sudah berapa lama aku tidak bertemu dengannya?
                
    Aku kemudian pulang kembali ke kampungku dan kudapati tempat itu masih sama seperti dahulu. Masih tetap tanah yang sama, debu yang sama. Hanya saja kini aku sadar betapa reotnya rumah-rumah di desa itu dan betapa lelahnya orang-orang di sana. Tidak bisa kutangkap kehidupan pada mata mereka.
                
    “Karena itulah, aku menyuruhmu pergi dari sini,” kata ibuku saat aku menceritakan pengamatanku padanya.
                
    Ah, ibuku. Betapa aku sayang padanya. Dialah berkat dalam hidupku. Aku mengambil selembar kain batik yang merupakan kain favoritnya. Aku membuka ikatan pada kain itu dan mengambil sebuah guci kecil dari dalamnya.
                
    Aku membuka tutup guci itu dan perlahan kutaburkan abu dari dalamnya. Air mata turun dari kedua mataku.


  2. 0 comments :

    Post a Comment