Aku mendororong pegangan kayuhku ke depan. Perlahan
perahu yang kunaiki semakin bergerak ke tengah danau. Langit sore tampak
membara di atas kepalaku. Warnanya yang keemasan terpantul di air danau,
membuatku seolah-olah mendayung di atas lautan emas.
Dulu, sewaktu aku
masih 8 atau 9 tahun, aku pernah datang ke tempat ini bersama ibu. Pemandangan
sore itu sama persis dengan hari ini. Bagi diriku yang tinggal di kampung batik
dan sehari-hari hanya melihat kusamnya tanah dan debu serta menghirup bau lilin
batik, pemandangan hari itu adalah
sebuah keindahan tiada tara yang membuat hatiku berdebar-debar. Aku merasa
seperti berada di sebuah dunia yang begitu berbeda.
“Ibu, surgakah ini?” tanyaku padanya.
“Bukan, Nak. Ini bukan surga.”
“Tapi tempat ini begitu indah. Tidak ada yang seperti ini
di kampung kita.”
“Memang benar, tapi masih banyak tempat lain yang seindah
ini di berbagai tempat di bumi ini.”
Desaku
adalah sebuah desa tempat para pengrajin dan pedagang batik berkumpul.
Batik-batik yang dibuat di sana seratus persen buatan tangan. Ibuku sendiri
adalah salah seorang wanita pekerja yang tugasnya membuat pola batik dan menegaskan
pola-pola yang dia gambar. Dia juga bertugas untuk menutup bagian kain yang
tidak akan diwarnai sebelum menyerahkan pada bagian pencelupan.
Aku selalu berpikir untuk menjadi seperti orang-orang di
kampungku, tetapi ibu selalu melarang.
“Tidak, Nak. Ibu akan mengelarkanmu dari sini.”
“Tapi kenapa? Aku suka di sini.”
“Tidakkah kamu ingin melihat tempat seperti danau itu
lagi?”
Aku mengangguk.
“Kalau kamu terus berada di sini, kamu tidak akan dapat
menemukan tempat seperti itu.”
Aku terdiam.
Ibu bekerja siang-malam membanting tulang, mengumpulkan
uang sedikit demi sedikit. Ketika aku lulus dari SMA, ibu mengirimku ke sebuah
universitas di kota. Aku mengambil jurusan Ekonomi. Di saat yang sama, aku juga
mengenal dunia fotografi dari salah seorang temanku di kampus.
Aku langsung jatuh cinta pada fotografi ketika pertama
kali berkenalan dengannya. Lewat fotografi, keindahan-keindahan yang ada di
alam dapat kuabadikan. Butuh waktu 2 tahun berkerja dan menabung sebelum
akhirnya aku bisa membeli kamera bekas milik salah seorang kenalanku. Aku
kemudian memperdalam ilmuku di bidang itu dan setelah bertahun-tahun berkerja
keras, aku akhirnya dapat menyebut diriku seorang fotografer profesional dan
juga seorang sarjana.
Aku kemudian berkelana ke berbagai tempat untuk
mendapatkan gambar-gambar terindah, tapi tidak satu pun yang dapat menandingi
kemegahan danau sore itu. Aku teringat akan sore itu dan juga pada ibuku. Ya,
ibuku. Sudah berapa lama aku tidak bertemu dengannya?
Aku kemudian pulang kembali ke kampungku dan kudapati
tempat itu masih sama seperti dahulu. Masih tetap tanah yang sama, debu yang
sama. Hanya saja kini aku sadar betapa reotnya rumah-rumah di desa itu dan
betapa lelahnya orang-orang di sana. Tidak bisa kutangkap kehidupan pada mata
mereka.
“Karena itulah, aku menyuruhmu pergi dari sini,” kata
ibuku saat aku menceritakan pengamatanku padanya.
Ah, ibuku. Betapa aku sayang padanya. Dialah berkat dalam
hidupku. Aku mengambil selembar kain batik yang merupakan kain favoritnya. Aku
membuka ikatan pada kain itu dan mengambil sebuah guci kecil dari dalamnya.
Aku membuka tutup guci itu dan perlahan kutaburkan abu
dari dalamnya. Air mata turun dari kedua mataku.
0 comments :
Post a Comment