My rating: 1 of 5 stars
Judul: Hibiscus
Penulis: Agnes Arina
Penerbit: Bentang Pustaka
Halaman: 252 halaman
Terbitan: September 2013
Bali gempar. Pierre Villeneuve, wisatawan asal Perancis, ditemukan tewas terbunuh di sebuah kamar hotel mewah. Tangannya menggenggam bunga sepatu dan tak ada yang bisa memecahkan arti dari bunga itu.
Bagaskara, seorang detektif yang menyamar menjadi pemandu wisata, adalah pemandu yang mengantar Pierre dan keluarganya keliling Bali pada hari naas itu. Bagas gusar. Rasa keadilannya terpancing.
Review
Novel yang mengecewakan untuk saya. Belakangan saya banyak melihat novel thriller yang ditulis oleh penulis Indonesia, makanya saya pengin coba baca dan pilihan saya jatuh pada buku ini. Prolognya terdengar menarik dan juga karena saya pengin baca novel detektif lokal di luar karya S. Mara Gd dan V. Lestari.
Cuma sampai akhir, saya tidak menemukan sesuatu yang saya suka dari buku ini. Karakternya tidak menarik. Bagas, yang harusnya jadi tokoh utama, malah terasa seperti sampingan. Dia tidak terlalu mendapat sorotan karena POV-nya terlalu sibuk berpindah ke karakter lain. Selain itu, dia juga tidak punya 'sesuatu' yang khusus, selain rasa takutnya pada kucing, yang membuatnya memorable. Jujur saya tidak bisa melihat dia sebagai tokoh detektif dari sebuah serial.
Tokoh-tokoh tersangka dan saksinya juga terasa datar buat saya. Winih, side-kick-nya si Bagas, mungkin yang agak mendingan. Dia banyak menyamar keliling-keliling membuntuti tersangka, jadi ada lebih banyak aksi di dia.
Untuk karakternya, saya rasa terlalu banyak. Apalagi semakin ke belakang mereka semakin mirip. Kadang bikin bingung ini siapa yang mana.
Untuk ceritanya sendiri, yah, saya tidak melihat hibiscus sebagai sesuatu yang benar-benar penting di sini. Memang ada peranannya, tapi bukan sesuatu yang benar-benar utama. Kesimpulan akhir kasusnya kurang menggigit. Tidak ada bab kesimpulan khas novel detektif di sini, jadi pembaca harus menghubungkan sendiri semua benang merah yang ada.
Untuk gaya narasi, saya kurang sreg sama banyaknya pengandaian di sini. Seperti:
Banyak pengunjung makan enak, minum bir, merokok, bercakap-cakap, dan tertawa-tawa seperti merayakan kemenangan perang (hal. 22)
Malam itu angin bertiup kencang. Tanaman puring dan kamboja terus meronta seperti balita rewel pada malam hari. Bunganya berjatuhan bagai air mata. (hal. 46)
Butiran pasir mengerumuni sepatu mereka bagai gula halus pada donat. (hal. 202)
dan favorit saya:
Wajah cantik Anne pucat. Dadanya sesak seperti seorang Yahudi diburu Nazi. (hal. 33)
Kesimpulannya, saya tidak suka novel ini. Mungkin saya akan mencoba novel thriller Indonesia lain yang lebih banyak mendapat respon positifnya dulu untuk mengembalikan semangat saya membaca buku sejenis.
Buku ini untuk tantangan baca:
- 2013 New Authors Reading Challenge
View all my reviews
0 comments :
Post a Comment