Nama gadis itu Marina. Wajahnya oval, rambutnya panjang terurai dan indah, matanya terlihat besar untuk ukuran orang Indonesia, dan dia memiliki hidung yang mancung. Kurasa dia peranakan campuran antara Indonesia dengan (menurut dugaanku) Belanda. Aku bertemu dengannya di awal tahun 90-an di kota Makassar, waktu itu namanya masih Ujung Pandang.
Waktu itu aku dikirim oleh kantor kami di Manado untuk mengikuti pelatihan di sana dan Marina juga adalah salah seorang peserta pelatihan.
“Hai, namaku. Marina.”
“A.. Aku Wilson.” kataku tergagap. Aku menjabat tangan gadis itu.
Marina adalah seorang gadis yang bersemangat. Wajahnya selalu terlihat ceria dan dia begitu bersemangat mengikuti rangkaian acara pelatihan yang diadakan di Ujung Pandang. Dia adalah gadis yang supel dan dengan cepat dapat berteman dengan seluruh anggota kelompok.
“Marina, kau mau pergi jalan-jalan?” kataku mencoba mengajaknya keluar.
Waktu itu adalah malam bebas, sehingga memungkinkan kami untuk keluar jalan-jalan, melepaskan rasa lelah atau penat setelah mengikuti pelatihan penuh selama beberapa hari.
“Boleh. Kemana?”
“Kita pergi makan pisang epe. Kau mau?”
Pisang epe adalah makanan khas daerah Ujung Pandang berupa pisang yang dibakar, dipipihkan, lalu disajikan dengan lelehan campuran gula merah dan durian. Aku sendiri tidak tahu rasanya karena belum pernah mencoba makanan itu, tapi kata salah seorang temanku yang berasal dari Ujung Pandang, makanan ini patut dicoba kalau kita datang ke kota ini.
“Boleh. Kau tahu tempatnya?”
“Aku sudah bertanya pada pegawai hotel. Dia sudah memberi tahu tempatnya. Tidak jauh dari sini kok.”
“Kalau begitu ayo kita pergi.”
Kami pun menyusuri jalanan kota Ujung Pandang. Malam itu terasa dingin.
“Bagaimana pelatihannya tadi?” kataku mencoba membuka percakapan.
“Membosankan.” jawabnya jujur. “Menurutmu?”
“Menurutku juga begitu. Aku mengantuk tadi ketika pembicaranya menerangkan.”
Marina tertawa. Tawanya begitu indah.
“Kau asli Manado?”
“Ya. Aku lahir di sana. Kau asli Palu?”
Dia menggeleng. “Tidak. Keluargaku asli Jakarta. Kami semua pindah ke Palu ketika aku masih 6 tahun.”
“Kau berapa bersaudara?” tanyaku.
“Dua. Aku yang bungsu. Kau?”
“Tiga. Aku yang paling tua.”
“Kalau begitu kurasa kita cocok.” katanya sambil tertawa.”Kau lebih sabar, sementara aku bisa bermanja-manja padamu.”
Hatiku berdebar mendengar kata-katanya. Wajahku terasa kaku karena aku menahan agar wajahku tidak memerah.
"Aku cuma bercanda. Tidak usah seserius itu.” katanya menyadari perubahan di wajahku.
“Ah, tidak. Eh, ini tempatnya.” kataku mencoba mengalihkan perhatiannya. Kami berdua lalu menghabiskan malam itu dengan menceritakan tentang diri masing-masing. Malam itu benar-benar indah bagiku.
Pagi itu aku bangun dengan perasaan berdebar-debar. Pendekatanku semalam dengan Marina berjalan sangat baik. Aku tidak sabar untuk bertemu lagi dengannya. Kurasa aku sudah jatuh cinta padanya.
Kulihat beberapa orang berlari di depanku dengan wajah panik. Aku mencoba bertanya pada seorang pria yang berlari di sebelahku. “Pak, ada apa?”
Wajah pria itu tampak panik. “Itu. Lift-nya jatuh. Kabelnya putus ketika sedang beroperasi.”
Tiba-tiba saja perasaan tidak enak menghinggapiku.
“Apa ada korban jiwa?”
“Iya. Dua orang pria dan seorang gadis bernama Marina tewas seketika. Loh, Dek? Hei!”
Aku tidak ingat apa yang terjadi setelahnya karena aku jatuh pingsan. Tapi sampai hari ini pun aku masih mengingatnya. Marina, aku terus ingat tentangmu yang selalu manis di dalam ingatanku.
-
Tentangmu Yang Selalu Manis
Sunday, January 22, 2012
Posted by Biondy at 8:34:00 PM | Labels: #15HariNgeblogFF |
0 comments :
Post a Comment