Pernikahan adalah satu hari yang dijalani oleh hampir semua wanita. Ada yang memasukinya dengan pemikiran kekanak-kanakan bahwa pernikahan adalah pintu menuju kebahagiaan selama-lamanya seperti akhir cerita dongeng anak-anak. Ada pula yang memasuki pernikahan karena “terpaksa”, entah karena faktor usia, paksaan orang tua, atau karena “kecelakaan”. Ada lagi jenis ketiga yang menikah karena memang telah merasa siap untuk masuk ke jenjang ini bersama dengan pria yang dicintainya. Lalu bagaimana dengan aku sendiri? Kenapa aku mau menjalani hari pernikahan itu?
Aku bertemu dengan Randy, calon suamiku, 6 tahun yang lalu di sebuah café. Waktu itu dia meminta pelayan untuk mengantarkan kue coklat ke mejaku, lalu mengajakku berkenalan sesudahnya. Aku masih ingat apa yang dikatakannya waktu itu.
“Kamu manis. Bolehkah aku berkenalan denganmu?” begitu katanya.
Aku masih ingat dengan jelas seluruh kejadian 6 tahun yang lalu itu seolah-olah baru saja terjadi kemarin. Sesudah perkenalan itu, kami bertemu di café itu beberapa kali sebelum akhirnya Randy “menembakku” 5 bulan setelah pertemuan pertama kami.
“Jelita, kamu sedang apa?”
Pintu kamarku terbuka dan Ibu masuk ke dalam kamar.
“Lagi tiduran aja.” jawabku
“Tegang menghadapi pernikahan kamu besok?” Ibu tersenyum menggoda.
“Tegang sedikit wajar kan. Memangnya Ibu tidak tegang waktu Ibu mau menikah dulu?”
Ibu berpindah dan duduk di sisi ranjang.
“Dulu Ibu juga tegang sedikit kok.” kata Ibu sambil menepuk kakiku. “Tapi semuanya berjalan baik-baik saja. Kamu enggak usah terlalu tegang, ok?”
Aku mengangguk.
“Ya sudah. Kamu tidur sana. Besok harus bangun pagi-pagi buat di-make up.” kata Ibu.
Aku lantas memeluk ibu sebelum dia bangkit berdiri.
Kurasakan setitik air mata jatuh ke bahuku. “Rasanya kamu itu masih Ibu timang dalam pelukan kemarin, tahu-tahu sekarang kamu sudah mau jadi istri orang.”
“Terima kasih yah, Bu. Sudah ngejagain Jelita dari kecil sampai sekarang.”
“Sudah, enggak usah pakai acara sentimentil begini. Kamu tidur deh. Jangan nangis lagi. Nanti mata kamu bengkak besok. Matamu jangan kamu kucek, nanti merah.”
Ibu lantas mengecup keningku, lalu meninggalkanku duduk sendiri di dalam kamar.
Besoknya aku bangun pagi-pagi sekali dan memulai ritual make up pengantin wanita. Rambutku dibenahi, kuku-kuku dibersihkan dan dipoles, wajahku diberi make up sehingga aku tampak lebih jelita daripada Jelita biasanya. Di tengah semua ritual itu, hatiku tetap merasa gelisah.
Setelah diriku selesai dirias, aku menunggu dengan perasaan gelisah.
“Jelita.” panggil Ibu mengejutkanku. “Sudah waktunya.”
Aku bangkit berdiri dan berjalan di belakang Ibu. Kami berdua masuk ke dalam ruangan tempat ijab kabul akan dilangsungkan. Di sana Randy telah menungguku dengan sebuah senyum lebar.
“Kau sudah siap?” bisiknya padaku.
Aku hanya mengangguk pelan.
Acara ijab kabul pun dimulai.
“Saya nikahkan engkau, Randy Wijaya bin Hendra Wijaya, dengan putri saya, Jelita binti Remi dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang tunai sejumlah Rp 1.550.000 dibayar tunai.”
“Saya terima nikahnya, Jelita binti Remi dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”
“Sah?”
“Sah!” jawab para saksi.
Aku tersenyum, lalu berpikir, aku bukanlah gadis yang berpikir bahwa pernikahan adalah akhir sebuah dongeng. Aku juga tidak menikah karena terpaksa. Kurasa aku menikah karena memang telah merasa siap untuk masuk ke jenjang ini bersama dengan pria yang kucintai.
p.s: Cerita ini merupakan lanjutan dari kisah "Kamu Manis, Kataku."
-
Sah!
Thursday, January 26, 2012
Posted by Biondy at 4:00:00 PM | Labels: #15HariNgeblogFF |
Eh? ini ff lanjutan dari cerita sebelumnya ya?
iya. ini lanjutan dari ff yang kukasih linknya :)