-
Review Non Fiksi: Sastra, Perempuan, Seks - Katrin Bandel
Monday, July 27, 2015
Sastra, Perempuan, Seks by Katrin Bandel
My rating: 3 of 5 stars
Judul: Sastra, Perempuan, Seks
Penulis: Katrin Bandel
Penerbit: Jalasutra
Halaman: 166 halaman
Terbitan: 2006
Dalam dunia sastra Indonesia saat ini "perempuan" dan "seks" merupakan dua isu yang sangat penting "perempuan" terutama dalam arti "pengarang perempuan" dan "seks" sebagai tema karya sastra yang sedang ngetren. Begitu banyak pengarang perempuan baru bermunculan dalam beberapa tahun terakhir ini dan tidak sedikit dari mereka mendapat sambutan yang luar biasa, baik dari segi respons media, penghargaan sastra, maupun jumlah buku yang terjual. Benarkah karya mereka demikian hebat sehingga pantas dihebohkan serupa itu? Berbagai klaim muncul seputar para "pengarang perempuan baru" itu : tulisan mereka hebat, menciptakan gaya penulisan baru, mereka mendobrak tabu, terutama seputar seks dan hal itu sering dipahami sebagai semacam pembebasan perempuan bahkan sebagai feminisme.
Katrin Bandel dalam buku ini berusaha mempertanyakan klaim-klaim tersebut. Menurutnya kehebohan seputar beberapa penulis perempuan (bukan "perempuan" penulis), yang secara popular disebut sebagai "sastrawangi" itu, sangat berlebihan.
Review
Buku ini adalah kumpulan esai tentang sastra yang ditulis oleh Katrin Bandel, seorang pemerhati sastra Indonesia yang berasal dari Jerman. Katrin Bandel menyelesaikan doktor dalam sastra Indonesia di Universitas Hamburg, Jerman, dengan topik "Pengobatan dan Ilmu Gaib dalam Prosa Modern Indonesia".
Walau judul buku ini "Sastra, Perempuan, Seks", tapi buku ini tidak melulu membahas tentang hubungan ketiganya. Di dalam kumpulan esai ini, terdapat beberapa pembahasan lain, seperti "Dukun dan Dokter dalam Sastra Indonesia", pembahasan tentang sastra pascakolonial, hingga "Religiusitas dalam Novel Tiga Pengarang Perempuan Indonesia". Hal ini sendiri diakui oleh penulis. Menurutnya, pemilihan judul buku ini bukanlah rangkuman isi buku, tapi dia merasa "Sastra, Perempuan, Seks" cukup mewakili apa yang ingin dia bahas, yaitu 'politik sastra Indonesia yang penuh sensasi dan ketidakadilan' (hal. xx).
Ada tiga nama penulis yang sangat menonjol pembahasannya di buku ini. Ayu Utami, Eka Kurniawan, dan Djenar Maesa Ayu. Ketiganya menonjol dalam hal pembelaan/kritik atas karya sang penulis oleh Katrin Bandel.
Dalam buku ini, Katrin Bandel mempertahankan karya Eka Kurniawan, 'Cantik Itu Luka', yang menurutnya telah diperlakukan secara tidak adil oleh Maman S. Mahayana dalam esai Maman di 'Media Indonesia'. Dalam esainya, selain memberikan pemikirannya akan novel 'Cantik Itu Luka, Katrin juga mempertanyakan tentang apa itu 'fakta historis', serta apakah seharusnya sejarah itu hanya 'versi resminya' saja yang boleh diikuti, bahkan dalam karya fiksi sekalipun?
Btw, saya kena spoiler novelnya. Padahal belum baca 'Cantik Itu Luka' :v.
Dalam pandangannya akan novel 'Saman' dan 'Larung' karya Ayu Utami, serta 'Nayla' dari Djenar Maesa Ayu, Katrin justru mempertanyakan pujian-pujian yang diberikan kepada novel-novel itu dan kedua penulisnya. Katrin mempertanyakan status buku-buku itu sebagai karya feminis, serta beberapa logika cerita yang ada di dalamnya. Pembahasannya cukup menarik dan disertai dengan argumen-argumen yang juga menarik. Menurutnya, kritik terhadap falosentrisme (pemikiran bahwa maskulinitas adalah sumber kekuatan dan otoritas) yang dihadirkan Ayu Utami hanya terjadi di permukaan. 'Di level yang lain, novel Ayu justru sangat falosentris' (hal. 117).
Pada novel 'Nayla', Katrin mengkritik beberapa logika serta absennya kedalaman emosi dalam cerita Djenar Maesa Ayu. Katrin merasa bahwa kekurangan dalam 'Nayla' disebabkan oleh dua hal. Pertama, 'kecenderungan untuk merayakan "sukses"-nya sendiri sebagai pengarang'. Kedua, 'kecenderungan untuk menulis dengan gaya yang potensial dinilai "baru", "canggih", dan "inovatif" oleh pengamat.' (hal. 163). Katrin merasa bahwa pujian yang berlebihan justru akan menghancurkan sebuah potensi yang menjanjikan.
Sayangnya, dengan semua kritik akan karya penulis perempuan yang diajukan, Katrin justru tidak memberikan beberapa buku karya penulis perempuan, baik dari Indonesia maupun dari luar, yang dirasa bisa mewakili 'perempuan menulis tentang perempuan'. Ada beberapa buku yang memang dituliskan secara positif, seperti 'Tujuh Musim Setahun'-nya Clara Ng, atau bahkan novel teenlit 'Nothing But Love' karya Laire Siwi Mentari, tapi pembahasannya tidak begitu mendalam dan tidak mendapat ruang sebesar novel-novel Eka, Ayu, dan Djenar. Hal ini membuat saya bertanya-tanya, apakah memang belum ada penulis wanita Indonesia yang mampu menulis tema 'menulis tentang perempuan' dengan baik? Saya rasa pasti ada.
Tapi, walau memperoleh kritik berat dari Katrin, mungkin ada benarnya apa yang ditulis oleh St. Sunardi, Ketua Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, dalam prakata. 'Ketika penulis mengkritik suatu karya dengan sangat kreatif dan kadang berapi-api, menurut hemat saya, hal itu justru menunjukkan keberhasilan apa yang dikritik. Apa yang dikritik benar-benar writerly, mendorong penulis untuk menulis.' (hal. xiii).
Well, mengingat esai-esai di buku ini ditulis pada tahun 2001-2005, saya jadi penasaran bagaimana Katrin Bandel melihat politik sastra Indonesia saat ini. Lalu bagaimana pula tanggapannya akan karya-karya baru dari Ayu Utami, Djenar, Eka Kurniawan, hingga nama-nama lain yang disebutkan di buku ini?
Buku ini untuk tantangan baca:
- 2015 New Authors Reading Challenge
View all my reviewsPosted by Biondy at 7:55:00 AM | Labels: 2015 New Authors Reading Challenge , Jalasutra , Katrin Bandel , Membaca , Review , Review Buku |
0 comments :
Post a Comment