My rating: 4 of 5 stars
Judul: The Sound of the Mountain
Penulis: Yasunari Kawabata
Penerbit: Tuttle Publishing
Halaman: 289 halaman
Terbitan: Juni 1971 (pertama terbit 1949)
By day Ogata Shingo is troubled by small failures of memory. At night he hears a distant rumble from the nearby mountain, a sound he associates with death. In between are the relationships that were once the foundation of Shingo's life: with his disappointing wife, his philandering son, and his daughter-in-law Kikuko, who instills in him both pity and uneasy stirrings of sexual desire. Out of this translucent web of attachments - and the tiny shifts of loyalty and affection that threaten to sever it irreparably - Kawabata creates a novel that is at once serenely observed and enormously affecting.
Review
"The Sound of the Mountain" bercerita tentang Ogata Shingo, seorang pria 62 tahun yang tinggal bersama istrinya, anak lelakinya yang suka "jajan" di luar, menantunya yang sabar, anak gadisnya yang akan segera bercerai, serta cucunya.
Shingo tidak hanya berjuang menghadapi dinamika keluarganya. Dia juga berjuang melawan ingatannya yang perlahan mulai kacau (kemungkinan karena dementia). Di malam hari, saat keluarganya sudah tertidur, terkadang Shingo bisa mendengarkan suara gunung yang berada tidak jauh dari rumahnya. Suara yang mengingatkan dia akan kematian.
Sama seperti novel-novel Kawabata yang sebelumnya kubaca, novel ini juga tergolong lambat dalam plot. Ceritanya lebih banyak pada keseharian Shingo, serta observasi Kawabata tentang kehidupan seorang pria tua. Tapi, untungnya, berbeda dengan "The Old Capital" yang baru-baru ini kubaca, ada lebih banyak peristiwa yang membuat saya tergelitik dengan buku ini. Ada beberapa twist dalam cerita yang sukses membuat saya membelalakkan mata.
Selain itu, novel ini juga memiliki banyak momen komedik. Misalnya percakapan antara Shingo dan istrinya ini. Ingat bahwa percakapan ini terjadi setelah mereka membahas tentang bunuh diri.
Shingo unbuttoned his shirt and put his hand to his chest.
"Is your heart pounding?"
"No, the nipple itches. It's hard and itches."
"Like a teen-age girl."
Shingo rubbed his nipple with his forefinger. (hal. 145)
Yeah. Komedik, kan.
Salah satu bagian lain yang saya suka adalah pembicaraan-pembicaraan yang terjadi saat makan malam. Ada banyak hal menarik yang mereka bicarakan pada saat itu. Misalkan saat Shuichi, anak laki-laki Shingo, bilang bahwa dia sedang berpikir tentang hidup ayahnya dan pertanyaan apakah ayahnya memiliki kehidupan yang sukses atau tidak. Respon Shingo adalah:
"An ordinary, mediocre life that's come as far as it has, and now it runs into good food at New Year's. Lots of people have died, you know."
"True." (Shuichi)
"But whether or not a parent is a success would seem to do with whether or not his children's marriage are successfull. There I haven't done too well." (Shingo) (hal. 100)
Tapi, si Shuichi ini emang agak ngeselin, sih. Apalagi pas mereka bicara di bagian akhir novel. Entah itu efek dari perang, atau karena anaknya memang gitu.
Secara keseluruhan, ini salah satu novel favoritku dari Yasunari Kawabata. Ceritanya menarik dan membaca tentang kehidupan seorang pria tua membuat saya jadi banyak mikir. Hidup itu sampai akhir pun banyak cobaannya, ya.
Buku ini untuk tantangan baca:
- 2015 Lucky No. 15 Reading Challenge
View all my reviews
Wah karakter utamanya bapak-bapak tua ya, jarang-jarang ada novel yang menggunakan karakter demikian untuk novel lokal. Ini belum diterjemahkan ke bahasa indonesia ya?
Wah, soal terjemahannya saya kurang tahu ya. Mungkin belum? Untuk Kawabata, saya baru lihat terjemahannya Snow Country, Thousand Cranes, sama Beauty and Sadness.
Kalau novel Indonesia yang tokoh utamanya sudah lanjut usia, saya pernah baca Home dari Ifa Avianty. Bisa lihat reviewnya di http://kireinasekai.blogspot.com/2014/11/review-novel-home-saling-menjauh-tapi.html ^^