My rating: 2 of 5 stars
Judul: Kita & Rindu yang Tak Terjawab
Penulis: Dian Purnomo
Penerbit: Gagas Media
Halaman: 279 halaman
Terbitan: Juni 2015
"Kita & Rindu yang Tak Terjawab" bercerita tentang Naiza, seorang gadis 20-an yang berdarah Batak dan sedang menghadapi suatu "masalah" yang cukup banyak diangkat menjadi tema novel belakangan ini: dipaksa untuk segera menikah.
Masalahnya bukan hanya di soal menikahnya. Orang tua Naiza juga ingin dia menikahi seorang pria Batak, sesuai adat yang berlaku. Padahal Naiza sudah punya seseorang yang dia suka, tetangga sekaligus sahabatnya sejak kecil. Hanya saja karena pria itu bukan seorang pria Batak, Naiza yakin dia tidak akan mendapat restu.
Naiza kemudian dipertemukan dengan Sidney, calon suami pilihan orang tuanya. Naiza pun semakin terjepit di antara dua pilihan: memenuhi keinginan orang tuanya, atau memilih pilihannya sendiri.
Review
Saya jujur mengakui kalau saya susah untuk simpatik dengan si Naiza. Ya, saya tahu kalau dia mewek-mewek karena tidak mau menikahi Sidney. Tahu juga kalau dia cinta mati sama Tantra, sampai sama sekali tidak mau membuka hati untuk orang lain.
Lalu kemudian dia nggak ngapa-ngapain, nggak berusaha sama sekali untuk dirinya sendiri. Ini yang bikin saya susah simpatik ke dia. Naizanya pasif aja, tidak mencoba untuk mengomunikasikan hal ini ke orang tuanya. Bahkan saat ada papan besar yang menunjuk ke Sidney yang bertuliskan, "Aku punya rahasia besar, loh. Rahasia yang mungkin membuatmu tidak perlu menikahiku, atau minimal mengulur waktu.", si Naiza nggak ngapa-ngapain. Nggak berusaha untuk mencari tahu lebih lanjut. Ya ampun.
Sebenarnya buku ini punya materi yang bagus. Bukan cuma bicara soal adat pernikahan Batak, tapi ada kemungkinan untuk mempertanyakan tentang suatu adat itu sendiri. Apakah memang masih relevan dengan saat ini? Apa manfaatnya?
Menikah itu bukan tentang ingin atau tidak ingin, niat atau nggak niat. Di dalam keluarga Batak, kita ini rata-rata menikah karena kewajiban meneruskan keturunan, meneruskan marga, menjaga adat. Padahal, sama sekali tidak kulihat ada urgensinya di mataku untuk meneruskan sebuah marga. Kenapa harus diteruskan? Apa untungnya buat umat manusia kalau Sinaga bertahan sampai seribu lapis anak pinak berikutnya? -Sidney (hal. 88-89)
Setahuku, adat dan budaya adalah kebiasaan yang indah yang tidak diciptakan untuk menyengsarakan pelakunya. Kalau adat membuat hatiku jadi patah, rasanya aku memilih untuk tidak menjunjungnya sama sekali. Call me tak tahu adat, tapi aku bisa menjunjung adatku dengan cara yang berbeda. -Naiza (hal. 197)
Sayangnya, baik Sidney maupun Naiza berhenti di pertanyaan-pertanyaan itu. Mereka tidak berusaha untuk lebih aktif. Mereka tetap saja membiarkan diri terkungkung oleh adat itu.
"Trust me, ini juga nggak gampang buat aku, Naiza. Tapi, kita bukan orang-orang yang dibesarkan sendiri. Kita berdua dibesarkan oleh adat. Kita diharapkan untuk mengikutinya. Jadi, mari mempermudah diri kita dengan mengikutinya." (hal. 192)
Dan Naiza, kalau bukan tantenya yang tidak sengaja tahu tentang rahasia Sidney, mungkin dia sudah akan menikah dengan cowok itu.
Secara keseluruhan, "Kita & Rindu yang Tak Terjawab" ini punya materi yang menarik tentang kebudayaan. Sayangnya, tokoh-tokohnya terlalu pasif untukku. Naiza, Sidney, dan Tantra masih menjadi kapal yang membiarkan dirinya terombang-ambing oleh adat dan budaya, tanpa berusaha menurunkan jangkarnya dan memberi perlawanan.
Buku ini saya rekomendasikan untuk orang-orang yang ingin tahu lebih banyak soal budaya pernikahan Batak, serta yang mungkin pernah mengalami kondisi yang sama dengan Naiza.
p. s: kalau seri Indonesiana ini ada lagi, jangan tema "nggak bisa nikah karena adat" lagi, dong. Atau minimal dengan pembahasan sudut pandang yang beda. Sudah ada 2 dari 3 buku, nih. Dengan eksplorasi dan penyelesaian yang mirip pula.
Buku ini untuk tantangan baca:
-2015 New Authors Reading Challenge
- 2015 Lucky No. 15 Reading Challenge
View all my reviews