Jejak Langkah by
Pramoedya Ananta Toer
My rating:
5 of 5 stars
Judul: Jejak Langkah
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantera
Halaman: 724 halaman
Terbitan: 2007 (pertama terbit 1985)
"Jejak Langkah" adalah buku ketiga dari kuartet Buru yang Pramoedya ciptakan selama pengasingannya di Pulau Buru.
Novel ketiga ini menceritakan bagaimana Minke yang telah melakukan observasi dan yang telah tumbuh perasaan nasionalismenya (di buku 1 dan 2), perlahan mulai mengatur perlawanan terhadap cengkraman Belanda.
Pernah dengar pepatah 'di belakang pria yang hebat terdapat seorang wanita yang hebat'? Dalam kasus Minke, ada banyak wanita hebat. Salah satu hal yang paling menonjol dari kuartet Buru adalah peranan wanita pada kesadaran Minke akan nasionalisme. Ada 5 wanita yang memicu kesadaran Minke dalam membentuk organisasi yang memulai kebangkitan penduduk pribumi.
Yang pertama adalah Nyai Ontosoroh yang mulai menyadarkan Minke bahwa penduduk pribumi pun sebenarnya memiliki kemampuan yang sama dengan pihak Belanda. Hal ini terbukti dari kemampuan Nyai mengurus perusahaan suaminya, seorang pengusaha Belanda yang kurang mampu mengurus perusahaannya, sehingga berkembang dengan baik. Nyai Ontosoroh jugalah yang pertama membangkitkan semangat Minke untuk terus menulis.
Yang kedua adalah Annelies, istri pertama Minke, anak dari Nyai Ontosoroh. Perceraian paksanya yang berakhir dengan kematian Annelies membuka mata Minke akan ketidakadilan yang dialami penduduk pribumi. Minke yang meruapakan anak bupati yang selalu merasakan fasilitas yang baik, akhirnya mulai sadar akan kondisi Hindia Belanda yang sebenarnya.
Yang ketiga adalah Ang San Mei. Ang San Mei adalah tunangan dari sahabat Minke, Khouw Ah Soe. Khouw Ah Soe yang telah meninggal menitipkan surat pada Minke untuk disampaikan pada gadis itu. Sejak pertemuan pertamanya dengan Ang, Minke sudah jatuh hati padanya. Bukan hanya karena kecantikannya, tapi juga karena kecerdasan gadis itu.
Lewat Ang inilah untuk pertama kalinya Minke mulai awas tentang 'organisasi'. Ang yang tergabung dalam sebuah organisasi pemuda Tionghoa memberi Minke sebuah titik awal untuk memulai organisasi pribumi. Hal ini tumbuh semakin kuat setelah dia menghadiri kuliah umum seorang dokter Jawa yang menyadarkan Minke betapa tertinggalnya penduduk pribumi dari penduduk Tionghoa dan Arab di Hindia. Kedua bangsa itu telah memulai organisasinya sendiri untuk meningkatkan kualitas hidup golongannya, sementara penduduk pribumi belum ada yang berani untuk mencetuskannya.
Yang keempat adalah ibu Minke sendiri. Seorang wanita Jawa tulen yang bahkan berani melawan suaminya, yang merupakan hal yang sangat berani mengingat kondisi patriarkal pada zaman itu, untuk bertemu dengan anaknya. Rasa cintanya pada sang anak membuatnya mampu memberi restu pada Minke untuk mempersunting Ang San Mei, sekaligus menguatkan hati Minke untuk menjadi 'dalang yang benar'.
"Tapi ada kekuatan besar penelan kebajikan tapi enggan terbagi." (Minke)
"Guru-guru nenek-moyangmu juga sudah tahu itu, Nak. Mereka menamainya buto. [...] Dan mereka tidak pernah menang melawan para satria nenek-moyangmu."
"Sekarang ini mereka terus-menerus menang."
"Itu di tangan yang salah."
"Bunda, sahaya akan jadi dalang yang tidak salah itu." (hal. 85)
Yang kelima adalah Prinses van Kasiruta, istri ketiga Minke. Prinses membantu Minke menjalankan 'Medan', koran pribumi pertama yang Minke dirikan. Berbeda dengan kedua istri pertamanya, Prinses adalah sosok wanita yang lebih keras secara fisik. Dia bahkan berani membalas dendam pada orang-orang yang telah mengeroyok Minke, karena tidak suka pada pemberitaan di 'Medan', dengan cara menembak orang tersebut.
Usaha pertama Minke dalam mendirikan organisasi tidak berjalan mulus. Organisasi perdananya, 'Syarikat Priyayi', terpaksa mati suri karena kasus penyalahgunaan uang oleh pengurusnya.
Minke tidak berlama-lama dalam kekecewaannya. Dia segera bangkit lagi dan mendirikan koran 'Medan Priyayi' yang menjadi koran pribumi pertama. Dengan bantuan Nyai Ontosoroh, yang kini telah menikah dengan Marais dan pindah ke Perancis, Minke memperoleh bantuan tenaga hukum untuk korannya.
Kedatangan Hendrik Frischboten, tenaga hukum yang dikirimkan oleh Nyai Ontosoroh, dan istrinya Mir, yang merupakan sahabat lama Minke, memulai babak baru dalam hidup Minke.
Dengan bantuan Hendrik, 'Medan' menjadi tempat penyuluhan masalah hukum oleh penduduk pribumi dan berhasil menjadi salah satu koran dengan oplah terbesar.
Selain mengurus 'Medan', Minke juga mengurus berdirinya suatu organisasi baru yang menggantikan 'Syarikat Priyayi'. Kali ini Minke mendirikan 'Syarikat Dagang Islamiah'. Belajar dari kesalahannya dulu, Minke tidak mau organisasinya terdiri hanya dari para priyayi yang bersikap pasif. Selain itu Minke yang sadar akan pentingnya perdagangan bagi ekonomi suatu bangsa, memutuskan untuk membentuk sebuah syarikat dagang.
Idenya ini sendiri sebenarnya ditentang oleh Douwager, seorang jurnalis Belanda yang menggiatkan kesadaran akan arti nasionalisme. Douwager mengkritik penggunaan kata 'Islamiah' karena menurutnya hal itu merujuk pada eksklusivitas agama tertentu. Walau begitu, Minke tetap pada pendiriannya karena dia punya pertimbangan lain.
"Tapi nasionalisme tak bisa berlandaskan agama. Agama itu universal, buat setiap orang. Nasionalisme untuk bangsa sendiri, garis terhadap bangsa-bangsa lain." (Douwager)
"Landasan itu tidak bisa jadi dengan sendirinya. Semua yang serbacita digalangkan landasannya dulu. Apa salahnya jika begitu banyak orang yang setuju? Kan itu juga pendidikan ke arah demokrasi? [...]" (Minke)
"Tetapi bukankah Tuan masih tetap sependapat denganku, bahwa pikiranku tidak keliru?"
"Tetap, Tuan, hanya waktunya belum tepat." (hal. 539-540)
Dalam perjalanannya Minke mengalami banyak tantangan. Oplah 'Medan' yang mulai turun karena kemunculan koran 'Sin Po', kehadiran orang-orang yang membenci dan bahkan melukainya, perpecahan dalam tubuh SDI, bahkan hingga rasa ragunya karena dia tidak kunjung punya anak.
Satu hal yang menarik di buku ini adalah pergulatan Minke di luar koran dan organisasinya. Pergulatannya akan hubungan gelapnya, kalau tidak mau dibilang perzinahannya, dengan Mir Frischboten.
Mir yang juga merupakan sahabat lama Minke ternyata tidak bahagia dengan pernikahannya. Suaminya, Hendrik, memiliki masalah seksual yang membuat mereka tidak bisa dikaruniai anak. Hal ini membuat Mir 'memaksa' Minke untuk menjalin hubungan dengannya.
Hal ini menarik, karena menunjukkan suatu kelemahan Minke yang membuatnya tampak manusiawi. Tentunya Minke salah dalam hal ini, apalagi mengingat dia sudah menikah dengan Prinses saat itu, tapi tetap memberikan sentuhan tersendiri pada cerita.
Lalu bagimana Minke akan mengatasi semua tantangan yang dia hadapi? Bagaimana dengan hubungan gelapnya bersama Mir? Semua jawabannya bisa diperoleh dalam novel Jejak Langkah ini.
Jadi, secara keseluruhan...
Saya benar-benar suka novel ini. Jumlah halamannya memang jauh lebih tebal daripada Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa, tapi saya sangat menikmatinya. Membaca buku setebal ini sama sekali tidak membuat saya capek. Justru saya ingin terus membacanya dan ketika harus berhenti untuk istirahat atau kegiatan lain, saya merasa harus berpisah dengan seorang kerabat yang begitu dekat dan tidak sabar menantikan perjumpaan berikutnya. Terdengar lebay? Percayalah, memang tepat seperti itulah yang saya rasakan.
Sayangnya masih ada typo bersebaran di buku ini. Semisal kata 'tuna-tuan' di hal. 39, typo 'perkawa' di hal. 374, dan typo 'kelom-pok' di hal. 395. Masih ada beberapa lagi sih, hanya saja tidak saya catat.
Siapa sebenarnya Minke?
Minke adalah tokoh yang berdasarkan seseorang pada dunia nyata. Minke yang dalam tulisannya dikenal dengan inisial TAS merujuk pada Tirto Adhi Soerjo, Bapak Pers Nasional (dikukuhkan oleh pemerintah pada 1973) dan seorang Pahlawan Nasional berdasarkan Keppres RI no 85/TK/2006.
Kesamaan antara tokoh Minke dan Tirto Adhi Soerjo bisa dilihat dari koran dan organisasi yang mereka dirikan. Sama seperti Minke, TAS juga mendirikan koran bernama Medan Prijaji pada 1907 dan organisasi Sarekat Dagang Islamiyah di Batavia pada tahun 1909.
Halaman depan Medan Prijaji, 2 April 1910
Buku ini untuk tantangan baca:
-
2013 Membaca Sastra Indonesia
-
2013 Read Big Reading Challenge
-
2013 Serapium Reading Challenge
-
2013 Indonesian Romance Reading Challenge
-
2013 Finishing the Series Reading Challenge
View all my reviews